Sabtu, 28 Juli 2012

S.A.R.U.: Seks. Adalah. Rahasia. Umum.

Movie Review
SHAME (2011)

“Pertarungan Batin antara Manisnya Kenikmatan Dosa dan Rasa Bersalah yang Menghantui”



B
ukan barang baru. Seks mungkin tema yang tak pernah ada habisnya untuk dibahas dari waktu ke waktu. Tapi saya dan anda juga sama-sama tau bahwa seks pula tema yang ditabukan, dianggap sesuatu yang sepatutnya dikemas dalam label merah menyala bertuliskan “SARU” (baca: shame). Mungkin untuk alasan yang terakhir itu pulalah akhirnya para juri terpilih Oscar (AMPAS, red.) kemarin mendiskualifikasi film yang notabene menjadi salah satu rilisan terkuat taun lalu dari ajang penominasian. Dasar pertimbangan yang cukup masuk akal sebetulnya: Oscar bukan ajang penghargaan film porno. It’s universal. It’s for everybody. People from all over the world watch it. Bayangkan kerasnya teguran surat protes yang bakal mereka terima seandainya dengan monggo kerso mengijinkan film sevulgar ini muncul di daftar kandidat dan dipertontonkan ke hadapan publik dari kawasan benua berhaluan konservatif dan agamis yang kian khawatir akan ekspansi budaya sekuler yang makin menjadikan budaya lokal dan kaidah agama menjadi kaum terpinggirkan, tak ayal predikat “mesum” atau “amoralis” pun akan berpotensi menghancurkan reputasi “bersih” Oscar yang telah susah payah dibangun selama 84 taun.

Didera kontroversi, Shame menanggung beban berat ketika diluncurkan dengan license tag kuning bertanda seru dari MPAA: NC-17 (No One 17 and Under Admitted). Lebih buruk dari “sekedar” disegel dengan label “R” (Restricted). Itu bukti bahwa film ini sangat jelas bukan konsumsi mereka yang belum dikategorikan sebagai “dewasa”. Sensual. Erotis. Liar. Cabul. Atau terserah apa sajalah hinaan/pujian yang dapat orang lontarkan terhadap film ini – tapi Steve McQueen tidak peduli.  Dia dengan semangat idealisnya terus maju dan berjuang meloloskan karya pentingnya ini dengan cara apapun juga. Tanpa ambil pusing dengan keputusan ketat MPAA dan kekolotan Oscar, McQueen mempersembahkan kepada anda sebuah film yang akan membuat jantung berdenyut kencang, nafas terengah-engah, tapi yang paling buruk: emosi teraduk-aduk tak karuan.

Apa yang lebih buruk dari menjadi seorang sex addict? Sepertinya tidak ada. Michael Fassbender yang memiliki ketampanan khas British gentleman itu[1] (dia terliat jauh lebih tua dari umurnya yang sebenarnya) memastikan bahwa terperangkap dalam lingkaran perbudakan seks yang tak terkendali adalah state of nature terburuk yang dapat terjadi pada manusia. Anda mungkin terliat baik-baik saja di luar, tapi di dalam anda tergerogoti oleh manisnya racun pengemulsi kesadaran untuk dapat memilih antara yang baik dan yang buruk. Sebagai Brandon Sullivan, Fassbender mengajak anda masuk ke dalam kisah yang mengetengahkan seks bukan sebagai sebuah cerita syur yang mengasyikkan, tetapi sebuah kekuatan mistis yang menyeret dan menenggelamkan ke dalam lautan kehampaan tak bertepi. Di titik ini, anda akan dapat menyimpulkan bahwa McQueen berhasil menyajikan ketelanjangan manusia bukan sebagai pornografi, melainkan sebentuk raga tanpa jiwa.

Tapi di sini Brandon tak sendiri, datanglah Sissy (Carey Mulligan) adik perempuannya yang manis tapi lancang, suka mencuri-curi tau dengan apa yang dikerjakannya – termasuk area-area yang terbilang sensitif dan pribadi. Pun tak ubahnya seperti Brandon, dia memiliki masalah dengan dirinya sendiri. Cukup satu momen erotika antara dia dan atasan abangnya sudah menjadi bukti kuat bahwa gadis itu juga kerap terlibat dalam “hubungan-hubungan” didasari atas desakan nafsu yang sama sekali tidak bisa dikatakan sebagai “hubungan-hubungan” yang dilandasi oleh cinta. Beralih dari pelukan satu cinta semalam ke cinta semalam lain telah menyebabkan jiwa gadis ini rusak. Di kota megapolitan sebesar New York, one night stand secara sosiologis barangkali telah menjadi kewajaran sebagai rupa-rupa “sosialisasi” bagi mereka usia 17 tahun ke atas yang dinyatakan aktif secara seksual di tengah kemajemukan individu yang secara kolektif kemudian membentuk komunitas/masyarakat yang dibangun di atas pondasi hubungan inter-personal yang diukur tidak hanya secara “kuantitas” tapi juga “kualitas”. Tapi melalui studi karakter terhadap Brandon dan Sissy yang dibeberkan di sini, komplikasi asmara sesaat tanpa ikatan itu agaknya – dalam jangka panjang – akan menimbulkan pengaruh psikologis buruk: memperkeruh batas kewenangan yang jelas antara “kesenangan” dan “kebahagiaan”. Kita tak bisa lagi membedakan apakah seks itu sebatas urusan “kesenangan” atau lebih dalam berorientasi pada “kebahagiaan”. Secara rasional anda mungkin mengerti perbedaan maknawiah antara keduanya, tapi tidak ketika hal tersebut dibuktikan secara empiris. Memang, ini adalah sebuah demokrasi, tidak semua orang harus sependapat dan ada begitu banyak pendekatan yang patut diujikan terlebih dahulu berkenaan dengan teori-teori seputar seks tapi secara lisan dan jujur: apa “standar seks yang baku” menurut anda? Mengakui seks sebagai “kewajiban alam” atau seks sebagai “pilihan sadar”? Definisikan ulang arti “kesenangan” dan “kebahagiaan” sebelum anda berani mencampuradukkannya dengan embel-embel semenggoda, sebombastis, semahal S-E-K-S.

Jangan salah sangka, retorika sinis ini tidaklah sesederhana itu – tidak dengan mudah dapat “dijawab” hanya dalam waktu sehari saja. Wanti-wanti saya ingatkan, selama proses perenungan panjang ini, mungkin anda akan merasakan kegersangan yang sama seperti penderitaan seksual yang digambarkan begitu dahsyat dalam film ini. Namun, syukurlah, ternyata anda dan saya tidak sendiri. Kesengsaraan ini juga telah menghajar sang pejantan kita sepanjang film bergulir. Melalui informasi yang disajiikan dalam bentuk potongan-potongan gambar cantik oleh McQueen – sebagai karakter yang mewakili bagaimana normalnya situasi seorang pria lajang dewasa yang keseharian wajarnya menumpuk konsumsi nutrisi dalam tubuh membentuk hormon yang terus berproduksi tanpa kendali kemudian menuntut pelepasan hingga pada akhirnya yang terjadi adalah kelaparan, kerakusan seksual dari seonggok utuh daging dan tulang fana yang hidup namun perlahan-lahan terenggut visi hakikinya sebagai representasi agung mahluk berdaya pikir akan makna dan harapan hidupnya – Brandon berupaya keras “menemukan kebahagiaan” (baca: ketersiksaan) lewat sebuah cara yang mungkin akan anda definisikan sebagai… saru (kesasar + keliru).

Tak pelak, film memang sebuah media universal yang mampu menghubungkan emosi dan pemahaman penonton dari belahan bumi manapun – tapi saran saya, luangkanlah waktu khusus dan tontonlah film ini sendiri, maka film ini akan terasa begitu personal, lambat-laun “mengganggu”, lantas menampar keras kesadaran kita akan rahasia tergelap manusia yang kerap disembunyikan, disangkal, ditutup-tutupi: seksualitas. Membedah fungsi kelamin sebagai organ reproduksi, McQueen secara efektif menggunakan Shame sebagai pisau bermata dua – tak hanya mengajukan pertanyaan getir bagaimana seks menjadi sebuah dorongan psikis yang secara sadar diingini tetapi juga kebutuhan biologis sebagaimana digariskan oleh hukum alam yang mau tak mau diikuti – begitu dalam menusuk, merasuk, kemudian menyeruak dan mengobrak-abrik emosi yang terperangkap dalam sebentuk “kegilaan” (baca: kegelisahan) sukma akan pelampiasan badani di hadapan sebuah suara kecil yang jujur namun sanggup meruntuhkan benteng keangkuhan jiwa yang disebut nurani. Namun, jangan harapkan pesan moral yang memvonis blak-blakan di sini. Tidak. Tidak ada pembicaraan tentang salah atau benar. Dosa atau suci. Sama sekali tidak ada. Persepsi kolot one-dimensional yang mentah-mentah menghakimi semacam itu dengan tegas dihindari McQueen. Tapi apakah film ini lantas “bablas” tanpa rem? Jelas tidak. Shame jelas-jelas film yang kejam – gambaran yang nyaris mendekati fakta tentang ketidaknyamanan yang dirasakan ketika seks berubah fungsi dari perayaan libido yang indah menjadi teror kecanduan akut: porsi seks yang korup memukul pertahanan batin, merontokkan akal sehat, menciptakan horor rasa bersalah berkepanjangan. Terombang-ambing oleh kemarahan dan keputusasaan – dihantui petualangan seks yang liar, masturbasi, sex live-streaming, sekardus besar koleksi pernak-pernik porno –Brandon pada klimaksnya “meledak” dengan rasa muak yang teramat sangat pada diri sendiri. Lalu, tidakkah dengan begini, akhirnya McQueen berhasil mengubah persepsi kita bahwa seks tenyata bisa berubah menjadi sebuah hukuman kejiwaan yang menakutkan?

Michael Fassbender, aktor “pendatang baru” yang namanya mulai ramai dibicarakan setelah “debut” mengesankannya dalam 300 (2006), Inglorious Basterds (2009), dan terutama Hunger (2008). Sepanjang taun 2011 kemarin, Fassbender menjadi salah satu wajah yang paling sering muncul dengan tak kurang dari 5 judul film rilis turut melibatkan namanya: Jane Eyre, X-Men: First Class, A Dangerous Method, Haywire, dan tentu saja Shame. Penuh penghayatan menghidupkan karakter Brandon yang mampu membangkitkan mimpi buruk penonton akan betapa dekatnya keseharian kita dengan seks yang berada di perbatasan antara kebutuhan dan obsesi – seharusnya Fassbender tak sekedar meraih pujian dari berbagai kritikus Inggris dan Eropa, tapi patut menembus nominasi “Best Actor” pertamanya pada penghargaan Oscar kemarin tapi apa yang terjadi? Bertandang ke Negeri Obama, meski di depan pintu anda disambut hangat, namun itu sama sekali tidak menjamin bahwa anda telah sukses menaklukkan hati sang tuan rumah. Hanya gara-gara “nila setitik”, Academy Awards bisa menunjukkan pada anda sikap aristokratis yang dingin dan acuh. Lagi-lagi AMPAS memainkan peran orangtua “pilih kasih” sehingga menyebabkan anak seberbakat Fassbender lantas menjadi “tumbal” keangkuhan mereka. Barangkali mereka pikir ini belum saatnya bagi Fassbender tapi semoga saja nasib aktor muda tersebut di kemudian hari tidak senaas Gary Oldman yang ironisnya baru menerima nominasi Oscar perdananya kemarin setelah berkarya di dunia perfilman lebih dari dua dekade silam. (Bagaimanapun) kudos bagi Fassbender yang ke depan tampaknya akan menjadi ancaman serius bagi Christian Bale setelah sukses bermetamorfosis dari pria ceking dalam Hunger menyaingi tubuh kurus kering Bale dalam The Machinist (2004) lalu kini dalam Shame menjelma menjadi predator seks merivalri keberanian Bale berbugil ria dalam American Psycho (2000). Carey Mulligan pun ternyata tak sepolos senyum manisnya. Menyusul “saudari Bennett”-nya dari Pride and Prejudice (2005), Keira Knightley, dia berani menjawab tantangan untuk melepaskan imej “gadis baik-baik” yang selama ini membebaninya. Meski porsi penampilannya tak “semelelahkan” Fassbender, tapi sebagai  pemain pendukung, Mullligan menyuguhkan performa menawan melalui karakter Sissy yang retak, gamang, kehilangan pemaknaan apresiatif atas diri sendiri, dengan masa bodoh melanggar etika atas batasan status profesional antara kolega dan abangnya yang justru semakin memperterang jejak abu-abu hubungan antara “kakak-beradik” ini – sesingkat momen-momen “kaku” dan dialog “ngawur” yang tertangkap di antara keduanya – perlahan menyingkap “sesuatu” yang tidak dibahas lebih lanjut oleh McQueen: misteri masa lalu yang samar-samar mengarahkan penonton untuk menyimpulkan adanya dugaan (semengerikan) incest.

Sebuah keberanian besar yang patut dipuji ketika sutradara asal Inggris yang terbilang pemain baru namun memiliki bakat luar biasa, Steve McQueen (bukan aktor legendaris Hollywood itu) berangkat dari gerakan perjuangan kolektif dalam Hunger kemudian lebih intim mempersempitnya menjadi gejolak pergumulan individu dalam Shame. Dalam men-shoot gambar, McQueen juga menyukai detail untuk menegaskan kekuatan “naratif” film yang tidak melulu harus didominasi dialog berpanjang-panjang. Melalui kekuatan obyek yang “berbicara” seperti dinding kaca, lorong apartemen yang lengang, sudut ruangan minimalis, seprai kusut, sejumlah orang berkumpul di satu sudut bar, lalu angle focus pada bagian tubuh tertentu – memaksimalkan long shot, short shot, dan close-up secara proporsional – dia merangkai jalinan deskripsi yang kuat bagi film-filmnya.  Pertengahan menit ke-38, mulusnya long-take Brandon lari-lari menyusuri trotoar dengan latar pemandangan etalase pertokoan, gedung-gedung perkantoran, dan jalanan malam New York selama hampir empat menit yang digunakan pula pada promotional trailer-nya benar-benar suguhan skill berkelas yang menunjukkan betapa seriusnya McQueen memamerkan kebolehannya dalam berolah kamera. Dibalut kemampuan menata tempo cerita yang tidak tergesa-gesa tapi juga tidak berlambat-lambat, dengan tampilan visual jernih yang sungguh nyaman di mata berkat fotografi mewah yang tajam, Shame mengangkat subject matter yang kusut dan suram tanpa terliat semuram, semenjijikkan, sejahat Irreversible (2002) Gaspar ­Noe yang gelap berputar-putar hingga menimbulkan efek vertigo memualkan. Namun jangan teralihkan oleh prasangka anda sendiri, Shame berbeda dari The Reader (2008) meski sama-sama merujuk pada kisah kebejatan moral manusia – sementara The Reader menjadikan seks sebagai potongan kecil cinderamata untuk membongkar kembali sebuah kuburan kenangan hidup yang pelik, Shame tanpa sungkan-sungkan mengeksploitasi (peragaan) seks sebagai hidangan utama ketimbang jualan lika-liku, sedu-sedan drama. Adegan-adegan koitus yang frontal dan keberanian Fassbender maupun Mulligan tampil tanpa busana memang cukup mengejutkan tapi menurut hemat McQueen, agaknya itu “diperlukan” demi kepentingan naturalitas cerita dan tercapainya target emotional strike. Ditinjau dari segi bobot, intensitas, dan signifikansi, Shame mungkin tidak sebaik pendahulunya Hunger tapi secara full-frame, ini tetaplah karya yang memiliki kualitas yang tak bisa diremehkan: sebuah visualisasi filosofi paradoks yang mengkonfrontasi fungsi hormonal dalam manifestasi tubuh yang terjepit antara dorongan naluri manusiawi dan kungkungan evaluasi jati diri yang mengedepankan kepantasan sekaligus membungkam kehendak alam terbungkus dalam sebuah mantra ajaib terdiri dari tiga huruf yang akan membuat kepala anda menoleh seketika mendengarnya: S.E.X.

-          F. Fajaryanto Suhardi

(8 Juni 2012)


[1] In fact, Fassbender adalah aktor kelahiran Jerman tapi besar di Irlandia.

Mengenang Audrey Hepburn Si Mahluk Maha Indah yang Dianugerahi Kecantikan Angelik nan Elegan



Classic Movie Review

Funny Face (1957)

“Si Wajah Nirmala: Ketika Hepburn yang Manis dan Segala Pesonanya Unggul di atas Konflik Ketakselarasan dengan Sang Senior Astaire dan Segala Karismanya”



S
iapa raja perfilman musikal klasik Hollywood? Ada yang bilang Gene Kelly, sebagian lain menyebut Fred Astaire. Ketika Gene Kelly identik dengan koreografi yang luwes dan beraksi dalam film-film musikal dinamis yang lebih bersifat artsy, maka citra Fred Astaire yang sangat lekat dengan tap dance yang menuntut ritme cepat, hentakan kaki kompak dan serentak yang terliat cukup melelahkan itu lebih berasosiasi dengan tema-tema seputar kehidupan sosialita high-end Barat yang hari-harinya diisi dengan dansa-dansi dikawal orkestra big band jazz mewah. Mungkin fakta ini kemudian memunculkan ide untuk melihat salah satu aktor tersebut mencoba gaya rivalnya atau setidaknya bermain di genre spesialisasi lawannya. Singkat cerita, film ini bisa dikatakan sebagai karya tantangan yang berusaha menghadirkan kombinasi gaya kedua aktor dansa legendaris tersebut. Dengan memasang Astaire sebagai aktor utama, film ini mencoba mengambil elemen dari An American in Paris (1951) yang enam taun sebelumnya sukses mempopulerkan nama Gene Kelly.

Tak perlu menduga-duga, serumpun dengan film-film legendarisnya semisal Top Hat (1935), Swing Time (1936), The Gay Divorcee (1934), dan Flying Down to Rio (1933); mengusung komposisi Gershwin Bersaudara, Astaire kembali hadir sebagai leading man dalam romantika klasik dengan background gaun-gaun superb nan glamor berbentuk drama yang separuh durasinya dihabiskan untuk nyanyi-nyanyi walau tidak sampai seeksesif mayoritas film Bollywood. Bedanya, kali ini dia tampil tanpa partner dansa abadinya, Ginger Rogers. Saya tidak akan berbasa-basi menceritakan plot ceritanya karena bukan itu letak kekuatan film ini. Ini tak lebih dari sebuah tribute yang menyandingkan Audrey Hepburn (sebagai pengganti Rogers) – bintang fresh yang saat itu tengah naik daun setelah berhasil menyabet Oscar ‘Aktris Terbaik’ lewat Roman Holiday (1953) – dengan aktor yang telah kenyang pengalaman di film sejenisnya, siapa lagi kalau bukan Fred Astaire. Ibarat kue bolu, plot dalam film ini hanyalah berfungsi sekedar sebagai bungkus kemasan demi menjaga citra etis yang bernilai penting tak penting – pun plot pada akhirnya menunjukkan “fungsi riil”-nya sebagai pagar cerita agar tetap running on the track demi tujuan penalaran yang katakanlah akan timbul anggapan fun, silly tapi bagaimanapun penonton akan berhasil “terkelabui” hingga akhirnya setuju kalau (film ini) quite logical. Sayangnya, meskipun telah sedemikian rupa “disetel” dan “dipermak”, dalam film ini, Astaire dan Hepburn bukanlah Romeo dan Juliet, maksud saya, love chemistry yang terbangun antara Astaire-Hepburn terkesan ganjil dan cukup ridiculous: patronizing dan kental nuansa platonis. Sangat mungkin dipengaruhi oleh perbedaan usia yang sangat jauh antara Astaire-Hepburn yang benar-benar lebih cocok menjadi bapak-anak itu. Pra Breakfast at Tiffany’s, Hepburn memang dikenal sebagai aktris yang selalu berpasangan dengan para aktor berusia jauh lebih tua darinya – Gregory Peck (Roman Holiday) lebih seperti pamannya; Gary Cooper (Love in the Afternoon (1957)) lebih cocok menjadi Pakde-nya; Cary Grant (Charade) terliat kayak bapak tirinya; Humphrey Bogart (Sabrina) benar-benar seperti bujang tua yang beruntung; William Holden (Sabrina, Paris When It Sizzles) lebih pantas dengan peran sebagai abang iparnya. Tapi selama karirnya, Astaire-lah sosok love interest Hepburn yang selisih umurnya terpaut paling jauh: 30 tahun!
Mari kita hentikan pembicaraan soal kesenjangan usia dan segera masuk ke main topic: DRAMA MUSIKAL – yang patut dibicarakan tentulah musik dan koreografi. Nah, ini dia isu yang bernilai relatif sekaligus sensitif. Jika anda penggemar berat musikal klasik Fred Astaire era 30an, Funny Face tentu akan terasa lumayan “mengecewakan”, tapi jika anda ternyata pengagum seorang Audrey Hepburn – terlebih bila anda tipe penonton yang menonton tanpa prejudis – maka ini bisa menjadi semacam angin segar. Astaire mungkin memperoleh first billing sebagai aktor utama namun di sini dia bukanlah magnet utama, melainkan si cantik Audrey Hepburn. Lebih lanjut, kehadiran (baca: karakter) Astaire di film ini juga terasa repetitif (bandingkan dengan film-film musikalnya sebelumnya), kurang solid dengan perannya sehingga karakter yang dimainkannya agak terkesan “mengambang”. Kalau memang demikian, lalu apalah fungsi Fred Astaire di film ini? Seperti yang telah saya sebutkan di awal, ini adalah tribut – jadi penampilan Astaire di sini utamanya hanyalah sebagai referensi, tujuannya agar tetap memberikan impact yang terasa “menempel” pada gravitasi dunia sinema musikalis Hollywood yang tengah berusaha merevitalisasi masa jayanya itu dengan sentuhan yang lebih modern. Dia mungkin memerani seorang fotografer fesyen, tapi yang terliat tetaplah sosok dan aura seorang Fred Astaire: bintang film dansa. Sementara Hepburn? Meskipun sontak melesat menjadi sorotan utama media hiburan kala itu, Hepburn barulah “anak kemarin sore” di dunia film apalagi dalam genre musikal: kemampuan beroperetnya masih terlalu mentah. Tak heran dalam mayoritas nomor kolaborasi yang disajikan – kecuali “He Loves, She Loves” yang berlokasi di halaman belakang sebuah gereja kecil di pinggir danau itu – karakternya tak berhasil melebur dengan karakter Astaire. Bahkan terlihat demikian buruk jika kita membandingkan dengan lawan duet Astaire on-screen lainnya – mari singkirkan Ginger Rogers supaya lebih fair: jajaran leading females yang tergolong Astairean novices – misalnya ketika Astaire berpasangan dengan Rita Hayworth dalam gabungan tari-modern bernuansa rancak Flamenco di You’ll Never Get Rich (1941) disusul You Were Never Lovelier (1942) yang mengundang decak kagum. Mungkin hal ini wajar saja karena toh Hayworth yang bernama asli Margarita Cansino itu memanglah seorang penari, besar oleh sepasang orangtua penari sebelum terjun menjadi aktris film, tapi bagaimana dengan Judy Garland yang sukses mendampingi Astaire dalam Easter Parade (1948)? Lalu Leslie Caron yang dua taun sebelumnya tampil lebih baik bersama Astaire dalam Daddy Long Legs (1955)? Saat itu, Hepburn agaknya aware dengan reputasi partner-partner dansa Astaire lain yang sebelumnya bermain cukup cemerlang sehingga merasa gugup dan cemas ketika dituntut beradu performa kesinambungan olah tubuh dengan Astaire dalam drama tari sejenis tapi sayangnya di atas konteks kegagalan pembangunan character conviction dimana yang nampak malahan peran-peran karikatural, diperparah oleh dialog yang terkadang silly dan cheesy, persepsi internal yang tertangkap justru adalah directorial battle yang terkesan mempertemukan kecocokan antara si senior dan kematangannya dengan si junior dan kebintangannya lewat romantic relationship yang kelewat “maksa”. Beruntung sekali, ada Kay Thompson bintang serba-bisa yang dengan perannya sebagai editor-in-chief sebuah majalah fesyen glamor yang hobi nyerocos memakai lingo pizzazz-nya itu sukses menjembatani kekikukan yang timbul akibat konflik generation gap antara Astaire dan egonya versus Hepburn dan kenaifannya.
Thompson yang bervokal kuat itu terbukti dengan sangat baik sekali mampu berasimilasi – entah itu dengan Astaire atau dengan Hepburn maupun keduanya. Soal suara, Thompson yang juga guru vokal penyanyi legendaris Frank Sinatra itu bisa dikatakan tour-de-force dari keseluruhan nomor Funny Face. Lewat  nomor solo “Think Pink” di awal film,  kita langsung tau bahwa Thompson adalah bintang pertunjukan yang sesungguhnya. Kolaborasi trio Astaire-Thompson-Hepburn “Bonjour, Paris!” terbilang oke, tapi kekuatan motherhood Thompson yang mengayomi terhadap Hepburn amat berkesan dan terdengar apik sekali di nomor “On How to Be Lovely”. Namun, nomor duet “Clap Yo’ Hands” bareng Astaire-lah menjadi yang terbaik di antara yang terbaik: menampilkan kreativitas idiomatik berpantun-ria dengan emosi lepas yang membahana – benar-benar fun. Penampilan Thompson menjadi artistic bravura yang berhasil membakar dan menghidupkan soul film ini.
Bagaimanapun, merangkum secara keseluruhan, keunggulan utama Funny Face terletak pada tiga hal: seting, kostum, dan Audrey Hepburn.
Seting: Paris (tak perlu disebut lagilah atribut-atribut mewah yang disandang kota tersebut).
Kostum: Kolaborasi dengan Givenchy dalam Roman Holiday dan Sabrina (1954) telah menjadikan Hepburn ikon fashion dunia, maka kostum-kostum maha indah yang dikenakannya dalam film ini telah menjadi semacam adibusana di eranya – terutama wedding dress model swan-lake ballerina dengan tumpukan tulle warna putih bersih yang setelahnya banyak dicontek rumah-rumah bridal itu.
Audrey Hepburn: Audrey Hepburn, oh, Audrey Hepburn. Perempuan manis berpinggang super ramping yang disebut-sebut “the most beautiful woman ever lived” itu pesonanya tetap menghantui jutaan penggemar film klasik hingga kini. Meskipun sepanjang karirnya dia bermain film tak lebih dari 20 judul utama, namun itu tak mengurungkan American Film Institute untuk menobatkannya sebagai aktris terbesar ketiga dalam daftar “50 Greatest Movie Stars” sesudah Katharine Hepburn dan Bette Davis.
Membahas soal akting, Hepburn (Audrey) sebetulnya tergolong aktris yang biasa-biasa saja. Jangan bandingkan dia dengan Davis (Bette) aktris watak yang bermain begitu menakutkan dalam What Ever Happened to Baby Jane? (1962) atau Taylor (Elizabeth) yang tadinya identik dengan peran sosisalita cantik bersuara Minnie Mouse centil nan menggoda di usia 33 taun sukses tampil gemuk sebagai tante-tante paruh baya depresif berlidah tajam dalam Who’s Afraid of Virginia Woolf? (1966). Namun demikian, jangan sepelekan Audrey Hepburn. Meskipun bukan kategori prowess actor, tapi dia cukup serius dengan setiap peran yang dipercayakan padanya. Hepburn tercatat sebagai aktris yang dalam tiap filmnya menawarkan sesuatu yang berbeda – bisa dikatakan karakter-karakter yang berseberangan. Dalam Roman Holiday: seorang puteri mahkota yang beranjak dewasa; dalam Sabrina: anak supir yang jatuh cinta pada putra majikannya; dalam The Nun’s Story (1959): biarawati Katolik yang mengalami krisis spiritual; dalam Breakfast at Tiffany’s (1961): gadis metropolis nyentrik yang modis; dalam The Children’s Hour (1961): seorang guru yang dituduh lesbian; dalam Wait Until Dark (1967): perempuan buta yang terlibat dengan sekelompok penjahat berbahaya. Sebuah kronologi evolusi karakter yang cukup impresif, bukan? Kemudian dalam Funny Face, dia terbukti mampu menunjukkan kemampuan akting non-verbal yang cukup baik: koreografi. Gagal membangun chemistry yang meyakinkan dengan Astaire, tak berarti di aspek lain film ini kehilangan power. Bermain di film yang notabene bukan bidangnya, Hepburn ternyata bisa lepas dari bayang-bayang sang master Astaire lewat gerak tari yang mempersonifikasikan egonya, membebaskan jiwanya tanpa musti terliat sangar dan garang: Basal Metabolism – elastis, fleksibel dalam dentuman acid jazz dan bossanova – amat kentara dipengaruhi gerak pantomim Kelly dengan kostum garis-garis dan celana putih khasnya dalam An American in Paris, secara unik dan array lebih menyuarakan keunggulan konsep primer koreo-musikal Funny Face yang mempreteli stereotipikalisasi musikal-musikal berkostum haute couture ala Astaire sebelumnya. Meskipun barangkali bukan film terbaiknya, Funny Face menjadi salah satu film Hepburn favorit saya – ketimbang Charade (1963) dan Paris When It Sizzles (1964).
Ini memang film musikal perdana Hepburn saat kapasitas bernyanyinya masih disangsikan namun agaknya dari segi kepaduan harmoni, ini jauh lebih baik dari drama musikal Hepburn sesudahnya, My Fair Lady (1964) yang tanpa ampun meng-cut inci demi inci pita seluloid yang memuat  suara asli Hepburn dan mendubbing-nya menggunakan vokal orang lain tapi ironisnya (film tersebut) justru memenangkan Oscar untuk Film Terbaik. Dengan suara jenis low-key alto yang tidaklah se-­powerful soprano tapi lewat film ini saya berani beragumentasi bahwa sejujurnya vokal soft milik Hepburn terbilang sweet dan empuk, cukup enaklah didengar (silakan cek nomor solonya “How Long Has This Been Going On?”). Bahkan gara-gara kontroversi ini disambut komparasi media bahwa pemeran Eliza Doolittle versi Broadway, Julie Andrews dapat membawakannya (baca: menyanyi) lebih baik – maka Hepburn kehilangan kans masuk nominasi Oscar sementara Rex Harrison lawan mainnya justru sukses pulang mengantungi piala Oscar ‘Best Actor’ untuk kontribusinya dalam film tersebut.

Meskipun vintage – dirilis lebih dari setengah abad lalu tapi apakah itu berarti film ini sudah tak relevan lagi di masa sekarang? Tunggu dulu.  Faktanya, dalam banyak hal film ini terbukti telah menginspirasi film-film sesudahnya. Sudah pernah nonton The Devil Wears Prada (2006) kan? Walaupun berbeda storyline, film saduran bebas novel berjudul sama karya Lauren Weisberger taun 2003 itu tersebut agaknya ‘sedikit’ terilhami si predesesor, Funny Face, yang mencolok terutama dari segi karakteristik sang tokoh utama: rambut coklat gelap, postur tubuh kurus langsing, paras cantik ditunjang otak pintar yang terjebak dalam dilema antara terbuai gemerlap dunia fesyen versus memperjuangkan kecerdasan mandiri – sementara Anne Hathaway membawakan karakter Andrea “Andy” Sachs adalah gadis muda era post-modernis yang oleh sebab tuntutan pekerjaan ‘terpaksa’ melupakan cita-citanya menjadi jurnalis profesional, maka Audrey Hepburn menjadi Jo Stockton yang masuk industri serba mewah serba indah itu supaya bisa melanglang ke Paris demi memuaskan dahaganya akan pemahaman atas ilmu filosofi – betapa dua premis yang tampaknya (sedikit banyak) cukup serupa, bukan?

Satu hal yang cukup menohok batin saya sebagai penonton adalah rancangan kostum Givenchy yang sungguh-sungguh sebuah persembahan masterpiece. Bayangkan, menonton film garapan Stanley Donen ini serasa mengikuti perjalanan waktu yang memberikan sensasi luar biasa thrilling. Ini sama sekali tidak tampak seperti film dari taun 50an, tapi seperti baru dibuat, let’s say, akhir 80an atau awal 90an – busana-busana cantik dan mewah yang dipakai Hepburn bahkan akan membuat night gown hitam berenda Anne Hathaway dalam The Devil Wears Prada terliat jelek dan tasteless, tenggelam seketika oleh konsep timeless fashion bercita rasa tinggi yang dicitrakan oleh Hepburn dengan keanggunan tiada tara yang lantas secara misterius dan reseptif, membekas selamanya di benak penonton. Selain itu, mulusnya sinematografi Technicolor yang merupakan terobosan revolusioner di eranya menimbulkan persepsi seakan-akan diajak menengok kota Paris yang cantik itu baru kemarin atau lusa. Kesampingkan keberadaan ponsel, Microsoft, Apple, internet dan gadget terkini – semuanya masih terliat sama. Ray June selaku pengarah sinematografi dengan sangat baik menangkap setiap layer detil warna sehingga mampu mengangkat visualisasi film ini tampak colorful dan rich ketika ditampilkan di atas layar lebar – bahkan pada saat pengambilan gambar outdoor dimana cuaca terliat soggy sekalipun. Konsep aplikasi teknologi spektrum yang sama membuat Vertigo (1958) yang dirilis berselang setaun kemudian bukan hanya menjadi sebuah pencapaian magnum opus bagi Hitchcock, tapi juga time-fuse momentum yang secara efektif mengkoneksi emosi kognitif penonton lintas generasi. Sebagai sinema rintisan yang mengawali pengunaan sentuhan color-toning paling canggih masa itu, jika anda menonton lewat kualitas high definition seperti Blu-ray – dengan meminjam atribut classic juga vintage,­ baik Funny Face maupun Vertigo benar-benar tampak seperti film-film yang baru diproduksi taun lalu! Jika teori peluang itu kita terapkan, saya jadi bertanya-tanya: mungkinkah hal yang sama akan terjadi jika film-film noir klasik yang ada “dibubuhi” warna – bahwasanya realitas kehidupan dunia ini memanglah berwarna-warni? Biarkan imajinasi anda bebas berbicara – saya pastikan, refleksi yang anda peroleh adalah gambaran yang akan menimbulkan sensasi merinding – sama seperti yang saya rasakan ketika menonton Vertigo dan Funny Face lalu memproyeksikannya ke masa kini.

Semula mengira the beautiful Hepburn (Audrey) masih berhubungan darah dengan the great Hepburn (Katharine), saya menemukan titik keunggulan kedua aktris hebat yang turut membesarkan masa kejayaan Golden Age Hollywood tersebut. Sebagai pecinta sinema klasik, kita tentu sepakat bahwa beragam karakter yang diperankan oleh keduanya telah membentuk semacam pola – bisa dikatakan proyeksi cetak biru perjalanan karir mereka – dimana melalui proses waktu, supremasi masing-masing teruji dan terlihat. Mungkin benar anggapan umum bahwa karakter-karakter emosionalis yang digambarkan Hepburn Jr. tidaklah setangguh peran-peran watak Hepburn Sr. Namun sejujurnya, ketika mendambakan legitimasi feminis atas emansipasi, kecerdasan, keberanian, dan kemandirian – universe ideal sosok wanita Amerika yang kuat itu sejatinya akan anda temukan dalam Katharine Hepburn. Tiba ketika anda merindukan inspirasi yang menyejukkan, keindahan yang menggugah, dan kekuatan integritas yang menjadi simbol kebaikan dan kemanusiaan, maka tak bisa dipungkiri jawabannya adalah Audrey Hepburn, si wajah nirmala yang melalui legasi abadinya – salah satunya adalah film ini – telah begitu dalam menyentuh dunia dengan harapan, kepedulian, dedikasi, dan cinta.

-          F. Fajaryanto Suhardi

(2 Juni 2012)