Classic Movie Review
Funny Face (1957)
“Si Wajah Nirmala: Ketika Hepburn yang Manis dan Segala Pesonanya Unggul
di atas Konflik Ketakselarasan dengan Sang Senior Astaire dan Segala Karismanya”
S
|
Tak perlu menduga-duga, serumpun dengan film-film
legendarisnya semisal Top Hat (1935),
Swing Time (1936), The Gay Divorcee (1934), dan Flying Down to Rio (1933); mengusung
komposisi Gershwin Bersaudara, Astaire kembali hadir sebagai leading man dalam romantika klasik
dengan background gaun-gaun superb nan glamor berbentuk drama yang
separuh durasinya dihabiskan untuk nyanyi-nyanyi
walau tidak sampai seeksesif mayoritas film Bollywood. Bedanya, kali ini dia
tampil tanpa partner dansa abadinya, Ginger Rogers. Saya tidak akan berbasa-basi menceritakan plot ceritanya karena
bukan itu letak kekuatan film ini. Ini tak lebih dari sebuah tribute yang menyandingkan Audrey
Hepburn (sebagai pengganti Rogers) – bintang fresh yang saat itu tengah naik daun setelah berhasil menyabet
Oscar ‘Aktris Terbaik’ lewat Roman
Holiday (1953) – dengan aktor yang telah kenyang pengalaman di film
sejenisnya, siapa lagi kalau bukan Fred Astaire. Ibarat kue bolu, plot dalam
film ini hanyalah berfungsi sekedar sebagai bungkus kemasan demi menjaga citra etis
yang bernilai penting tak penting – pun plot pada akhirnya menunjukkan “fungsi riil”-nya
sebagai pagar cerita agar tetap running
on the track demi tujuan penalaran yang katakanlah akan timbul anggapan fun, silly tapi bagaimanapun penonton
akan berhasil “terkelabui” hingga akhirnya setuju kalau (film ini) quite logical. Sayangnya, meskipun
telah sedemikian rupa “disetel” dan “dipermak”, dalam film ini, Astaire dan
Hepburn bukanlah Romeo dan Juliet, maksud saya, love chemistry yang terbangun antara Astaire-Hepburn terkesan
ganjil dan cukup ridiculous: patronizing dan kental nuansa platonis.
Sangat mungkin dipengaruhi oleh perbedaan usia yang sangat jauh antara
Astaire-Hepburn yang benar-benar lebih cocok menjadi bapak-anak itu. Pra Breakfast at Tiffany’s, Hepburn memang dikenal sebagai aktris
yang selalu berpasangan dengan para aktor berusia jauh lebih tua darinya –
Gregory Peck (Roman Holiday) lebih seperti pamannya; Gary Cooper (Love in the Afternoon (1957)) lebih
cocok menjadi Pakde-nya; Cary Grant (Charade) terliat kayak bapak tirinya; Humphrey Bogart (Sabrina) benar-benar
seperti bujang tua yang beruntung; William Holden (Sabrina, Paris When It
Sizzles) lebih pantas dengan peran sebagai abang iparnya. Tapi selama
karirnya, Astaire-lah sosok love interest
Hepburn yang selisih umurnya terpaut paling jauh: 30 tahun!
Mari kita hentikan pembicaraan
soal kesenjangan usia dan segera masuk ke
main topic: DRAMA MUSIKAL – yang patut dibicarakan tentulah musik dan
koreografi. Nah, ini dia isu yang
bernilai relatif sekaligus sensitif. Jika
anda penggemar berat musikal klasik Fred Astaire era 30an, Funny Face tentu akan terasa lumayan “mengecewakan”, tapi jika anda
ternyata pengagum seorang Audrey Hepburn – terlebih bila anda tipe penonton
yang menonton tanpa prejudis – maka ini bisa menjadi semacam angin segar. Astaire
mungkin memperoleh first billing sebagai
aktor utama namun di sini dia bukanlah magnet utama, melainkan si cantik Audrey
Hepburn. Lebih lanjut, kehadiran (baca: karakter) Astaire di film ini juga
terasa repetitif (bandingkan dengan film-film musikalnya sebelumnya), kurang solid
dengan perannya sehingga karakter yang dimainkannya agak terkesan “mengambang”.
Kalau memang demikian, lalu apalah fungsi Fred Astaire di film ini? Seperti yang
telah saya sebutkan di awal, ini adalah tribut – jadi penampilan Astaire di
sini utamanya hanyalah sebagai referensi, tujuannya agar tetap memberikan impact yang terasa “menempel” pada
gravitasi dunia sinema musikalis Hollywood yang tengah berusaha merevitalisasi
masa jayanya itu dengan sentuhan yang lebih modern. Dia mungkin memerani
seorang fotografer fesyen, tapi yang terliat tetaplah sosok dan aura seorang
Fred Astaire: bintang film dansa. Sementara Hepburn? Meskipun sontak melesat
menjadi sorotan utama media hiburan kala itu, Hepburn barulah “anak kemarin
sore” di dunia film apalagi dalam genre musikal: kemampuan beroperetnya masih
terlalu mentah. Tak heran dalam mayoritas nomor kolaborasi yang disajikan – kecuali
“He Loves, She Loves” yang berlokasi di halaman belakang sebuah gereja kecil di
pinggir danau itu – karakternya tak berhasil melebur dengan karakter Astaire. Bahkan
terlihat demikian buruk jika kita membandingkan dengan lawan duet Astaire on-screen lainnya – mari singkirkan
Ginger Rogers supaya lebih fair: jajaran
leading females yang tergolong
Astairean novices – misalnya ketika
Astaire berpasangan dengan Rita Hayworth dalam gabungan tari-modern bernuansa
rancak Flamenco di You’ll Never Get Rich
(1941) disusul You Were Never Lovelier (1942)
yang mengundang decak kagum. Mungkin hal ini wajar saja karena toh Hayworth yang bernama asli Margarita
Cansino itu memanglah seorang penari, besar oleh sepasang orangtua penari
sebelum terjun menjadi aktris film, tapi bagaimana dengan Judy Garland yang sukses
mendampingi Astaire dalam Easter Parade (1948)?
Lalu Leslie Caron yang dua taun sebelumnya tampil lebih baik bersama Astaire
dalam Daddy Long Legs (1955)? Saat
itu, Hepburn agaknya aware dengan
reputasi partner-partner dansa Astaire lain yang sebelumnya bermain cukup cemerlang
sehingga merasa gugup dan cemas ketika dituntut beradu performa kesinambungan
olah tubuh dengan Astaire dalam drama tari sejenis tapi sayangnya di atas
konteks kegagalan pembangunan character
conviction dimana yang nampak malahan peran-peran karikatural, diperparah
oleh dialog yang terkadang silly dan cheesy, persepsi internal yang
tertangkap justru adalah directorial
battle yang terkesan mempertemukan kecocokan antara si senior dan kematangannya
dengan si junior dan kebintangannya lewat romantic
relationship yang kelewat “maksa”. Beruntung sekali, ada Kay Thompson bintang
serba-bisa yang dengan perannya sebagai editor-in-chief
sebuah majalah fesyen glamor yang hobi nyerocos
memakai lingo pizzazz-nya itu sukses menjembatani kekikukan yang
timbul akibat konflik generation gap antara
Astaire dan egonya versus Hepburn dan kenaifannya.
Thompson yang bervokal kuat itu
terbukti dengan sangat baik sekali mampu berasimilasi – entah itu dengan
Astaire atau dengan Hepburn maupun keduanya. Soal suara, Thompson yang juga
guru vokal penyanyi legendaris Frank Sinatra itu bisa dikatakan tour-de-force dari keseluruhan nomor Funny Face. Lewat nomor solo “Think Pink” di awal film, kita langsung tau bahwa Thompson adalah
bintang pertunjukan yang sesungguhnya. Kolaborasi trio Astaire-Thompson-Hepburn
“Bonjour, Paris!” terbilang oke, tapi kekuatan motherhood Thompson yang mengayomi terhadap Hepburn amat berkesan
dan terdengar apik sekali di nomor “On How to Be Lovely”. Namun, nomor duet “Clap
Yo’ Hands” bareng Astaire-lah menjadi yang terbaik di antara yang terbaik:
menampilkan kreativitas idiomatik berpantun-ria dengan emosi lepas yang
membahana – benar-benar fun.
Penampilan Thompson menjadi artistic
bravura yang berhasil membakar dan menghidupkan soul film ini.
Bagaimanapun, merangkum secara
keseluruhan, keunggulan utama Funny Face terletak
pada tiga hal: seting, kostum, dan Audrey Hepburn.
Seting: Paris (tak perlu disebut lagilah atribut-atribut mewah yang disandang kota tersebut).
Kostum: Kolaborasi dengan Givenchy dalam Roman Holiday dan Sabrina (1954) telah menjadikan Hepburn ikon fashion dunia, maka kostum-kostum maha indah yang dikenakannya dalam film ini telah menjadi semacam adibusana di eranya – terutama wedding dress model swan-lake ballerina dengan tumpukan tulle warna putih bersih yang setelahnya banyak dicontek rumah-rumah bridal itu.
Audrey Hepburn: Audrey Hepburn, oh, Audrey Hepburn. Perempuan manis berpinggang super ramping yang disebut-sebut “the most beautiful woman ever lived” itu pesonanya tetap menghantui jutaan penggemar film klasik hingga kini. Meskipun sepanjang karirnya dia bermain film tak lebih dari 20 judul utama, namun itu tak mengurungkan American Film Institute untuk menobatkannya sebagai aktris terbesar ketiga dalam daftar “50 Greatest Movie Stars” sesudah Katharine Hepburn dan Bette Davis.
Seting: Paris (tak perlu disebut lagilah atribut-atribut mewah yang disandang kota tersebut).
Kostum: Kolaborasi dengan Givenchy dalam Roman Holiday dan Sabrina (1954) telah menjadikan Hepburn ikon fashion dunia, maka kostum-kostum maha indah yang dikenakannya dalam film ini telah menjadi semacam adibusana di eranya – terutama wedding dress model swan-lake ballerina dengan tumpukan tulle warna putih bersih yang setelahnya banyak dicontek rumah-rumah bridal itu.
Audrey Hepburn: Audrey Hepburn, oh, Audrey Hepburn. Perempuan manis berpinggang super ramping yang disebut-sebut “the most beautiful woman ever lived” itu pesonanya tetap menghantui jutaan penggemar film klasik hingga kini. Meskipun sepanjang karirnya dia bermain film tak lebih dari 20 judul utama, namun itu tak mengurungkan American Film Institute untuk menobatkannya sebagai aktris terbesar ketiga dalam daftar “50 Greatest Movie Stars” sesudah Katharine Hepburn dan Bette Davis.
Membahas soal akting, Hepburn
(Audrey) sebetulnya tergolong aktris yang biasa-biasa saja. Jangan bandingkan
dia dengan Davis (Bette) aktris watak yang bermain begitu menakutkan dalam What Ever Happened to Baby Jane? (1962)
atau Taylor (Elizabeth) yang tadinya identik dengan peran sosisalita cantik
bersuara Minnie Mouse centil nan menggoda
di usia 33 taun sukses tampil gemuk sebagai tante-tante paruh baya depresif berlidah
tajam dalam Who’s Afraid of Virginia
Woolf? (1966). Namun demikian, jangan sepelekan Audrey Hepburn. Meskipun
bukan kategori prowess actor, tapi
dia cukup serius dengan setiap peran yang dipercayakan padanya. Hepburn tercatat
sebagai aktris yang dalam tiap filmnya menawarkan sesuatu yang berbeda – bisa
dikatakan karakter-karakter yang berseberangan. Dalam Roman Holiday: seorang puteri mahkota yang beranjak dewasa; dalam Sabrina: anak supir yang jatuh cinta
pada putra majikannya; dalam The Nun’s
Story (1959): biarawati Katolik yang mengalami krisis spiritual; dalam Breakfast at Tiffany’s (1961): gadis
metropolis nyentrik yang modis; dalam The
Children’s Hour (1961): seorang guru yang dituduh lesbian; dalam Wait Until Dark (1967): perempuan buta yang
terlibat dengan sekelompok penjahat berbahaya. Sebuah kronologi evolusi karakter
yang cukup impresif, bukan? Kemudian dalam Funny
Face, dia terbukti mampu menunjukkan kemampuan akting non-verbal yang cukup
baik: koreografi. Gagal membangun chemistry
yang meyakinkan dengan Astaire, tak berarti di aspek lain film ini
kehilangan power. Bermain di film
yang notabene bukan bidangnya, Hepburn ternyata bisa lepas dari bayang-bayang sang
master Astaire lewat gerak tari yang mempersonifikasikan egonya, membebaskan jiwanya
tanpa musti terliat sangar dan garang: Basal
Metabolism – elastis, fleksibel dalam dentuman acid jazz dan bossanova – amat kentara dipengaruhi gerak pantomim
Kelly dengan kostum garis-garis dan celana putih khasnya dalam An American in Paris, secara unik dan array lebih menyuarakan keunggulan konsep primer koreo-musikal Funny Face yang mempreteli
stereotipikalisasi musikal-musikal berkostum haute couture ala Astaire sebelumnya. Meskipun barangkali bukan
film terbaiknya, Funny Face menjadi
salah satu film Hepburn favorit saya – ketimbang Charade (1963) dan Paris When
It Sizzles (1964).
Ini memang film musikal perdana
Hepburn saat kapasitas bernyanyinya masih disangsikan namun agaknya dari segi
kepaduan harmoni, ini jauh lebih baik dari drama musikal Hepburn sesudahnya, My Fair Lady (1964) yang tanpa ampun meng-cut inci demi inci pita seluloid yang
memuat suara asli Hepburn dan mendubbing-nya menggunakan vokal orang lain
tapi ironisnya (film tersebut) justru memenangkan Oscar untuk Film Terbaik. Dengan
suara jenis low-key alto yang
tidaklah se-powerful soprano tapi lewat film ini saya berani
beragumentasi bahwa sejujurnya vokal soft
milik Hepburn terbilang sweet dan
empuk, cukup enaklah didengar (silakan cek nomor solonya “How Long Has This
Been Going On?”). Bahkan gara-gara kontroversi ini disambut komparasi media
bahwa pemeran Eliza Doolittle versi Broadway, Julie Andrews dapat membawakannya
(baca: menyanyi) lebih baik – maka Hepburn kehilangan kans masuk nominasi Oscar
sementara Rex Harrison lawan mainnya justru sukses pulang mengantungi piala
Oscar ‘Best Actor’ untuk kontribusinya dalam film tersebut.
Meskipun vintage –
dirilis lebih dari setengah abad lalu tapi apakah itu berarti film ini sudah
tak relevan lagi di masa sekarang? Tunggu dulu. Faktanya, dalam banyak hal film ini terbukti
telah menginspirasi film-film sesudahnya. Sudah pernah nonton The Devil Wears Prada (2006) kan?
Walaupun berbeda storyline, film saduran
bebas novel berjudul sama karya Lauren Weisberger taun 2003 itu tersebut
agaknya ‘sedikit’ terilhami si predesesor, Funny
Face, yang mencolok terutama dari segi karakteristik sang tokoh utama:
rambut coklat gelap, postur tubuh kurus langsing, paras cantik ditunjang otak
pintar yang terjebak dalam dilema antara terbuai gemerlap dunia fesyen versus
memperjuangkan kecerdasan mandiri – sementara Anne Hathaway membawakan karakter
Andrea “Andy” Sachs adalah gadis muda era post-modernis yang oleh sebab
tuntutan pekerjaan ‘terpaksa’ melupakan cita-citanya menjadi jurnalis
profesional, maka Audrey Hepburn menjadi Jo Stockton yang masuk industri serba
mewah serba indah itu supaya bisa melanglang ke Paris demi memuaskan dahaganya
akan pemahaman atas ilmu filosofi – betapa dua premis yang tampaknya (sedikit
banyak) cukup serupa, bukan?
Satu hal yang cukup menohok batin saya sebagai penonton
adalah rancangan kostum Givenchy yang sungguh-sungguh sebuah persembahan masterpiece. Bayangkan, menonton film
garapan Stanley Donen ini serasa mengikuti perjalanan waktu yang memberikan
sensasi luar biasa thrilling. Ini
sama sekali tidak tampak seperti film dari taun 50an, tapi seperti baru dibuat,
let’s say, akhir 80an atau awal 90an
– busana-busana cantik dan mewah yang dipakai Hepburn bahkan akan membuat night gown hitam berenda Anne Hathaway
dalam The Devil Wears Prada terliat
jelek dan tasteless, tenggelam
seketika oleh konsep timeless fashion bercita rasa tinggi yang
dicitrakan oleh Hepburn dengan keanggunan tiada tara yang lantas secara
misterius dan reseptif, membekas selamanya di benak penonton. Selain itu,
mulusnya sinematografi Technicolor
yang merupakan terobosan revolusioner di eranya menimbulkan persepsi
seakan-akan diajak menengok kota Paris yang cantik itu baru kemarin atau lusa.
Kesampingkan keberadaan ponsel, Microsoft,
Apple, internet dan gadget terkini – semuanya masih terliat
sama. Ray June selaku pengarah sinematografi dengan sangat baik menangkap
setiap layer detil warna sehingga
mampu mengangkat visualisasi film ini tampak colorful dan rich ketika ditampilkan
di atas layar lebar – bahkan pada
saat pengambilan gambar outdoor dimana
cuaca terliat soggy sekalipun. Konsep
aplikasi teknologi spektrum yang sama membuat Vertigo (1958) yang dirilis berselang setaun kemudian bukan hanya
menjadi sebuah pencapaian magnum opus bagi
Hitchcock, tapi juga time-fuse
momentum yang secara efektif mengkoneksi emosi kognitif penonton lintas
generasi. Sebagai sinema rintisan yang mengawali pengunaan sentuhan color-toning paling canggih masa itu,
jika anda menonton lewat kualitas high
definition seperti Blu-ray –
dengan meminjam atribut classic juga vintage, baik Funny Face maupun Vertigo benar-benar tampak seperti
film-film yang baru diproduksi taun lalu! Jika teori peluang itu kita terapkan,
saya jadi bertanya-tanya: mungkinkah hal yang sama akan terjadi jika film-film noir klasik yang ada “dibubuhi” warna –
bahwasanya realitas kehidupan dunia ini memanglah berwarna-warni? Biarkan
imajinasi anda bebas berbicara – saya pastikan, refleksi yang anda peroleh
adalah gambaran yang akan menimbulkan sensasi merinding – sama seperti yang
saya rasakan ketika menonton Vertigo dan
Funny Face lalu memproyeksikannya ke
masa kini.
Semula mengira the
beautiful Hepburn (Audrey) masih berhubungan darah dengan the great Hepburn (Katharine), saya
menemukan titik keunggulan kedua aktris hebat yang turut membesarkan masa kejayaan
Golden Age Hollywood tersebut.
Sebagai pecinta sinema klasik, kita tentu sepakat bahwa beragam karakter yang
diperankan oleh keduanya telah membentuk semacam pola – bisa dikatakan proyeksi
cetak biru perjalanan karir mereka – dimana melalui proses waktu, supremasi masing-masing
teruji dan terlihat. Mungkin benar anggapan umum bahwa karakter-karakter
emosionalis yang digambarkan Hepburn Jr. tidaklah setangguh peran-peran watak
Hepburn Sr. Namun sejujurnya, ketika mendambakan legitimasi feminis atas emansipasi,
kecerdasan, keberanian, dan kemandirian – universe
ideal sosok wanita Amerika yang kuat itu sejatinya akan anda temukan dalam
Katharine Hepburn. Tiba ketika anda merindukan inspirasi yang menyejukkan, keindahan
yang menggugah, dan kekuatan integritas yang menjadi simbol kebaikan dan
kemanusiaan, maka tak bisa dipungkiri jawabannya adalah Audrey Hepburn, si
wajah nirmala yang melalui legasi abadinya – salah satunya adalah film ini – telah
begitu dalam menyentuh dunia dengan harapan, kepedulian, dedikasi, dan cinta.
-
F. Fajaryanto Suhardi
(2 Juni 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar