Sabtu, 28 Juli 2012

S.A.R.U.: Seks. Adalah. Rahasia. Umum.

Movie Review
SHAME (2011)

“Pertarungan Batin antara Manisnya Kenikmatan Dosa dan Rasa Bersalah yang Menghantui”



B
ukan barang baru. Seks mungkin tema yang tak pernah ada habisnya untuk dibahas dari waktu ke waktu. Tapi saya dan anda juga sama-sama tau bahwa seks pula tema yang ditabukan, dianggap sesuatu yang sepatutnya dikemas dalam label merah menyala bertuliskan “SARU” (baca: shame). Mungkin untuk alasan yang terakhir itu pulalah akhirnya para juri terpilih Oscar (AMPAS, red.) kemarin mendiskualifikasi film yang notabene menjadi salah satu rilisan terkuat taun lalu dari ajang penominasian. Dasar pertimbangan yang cukup masuk akal sebetulnya: Oscar bukan ajang penghargaan film porno. It’s universal. It’s for everybody. People from all over the world watch it. Bayangkan kerasnya teguran surat protes yang bakal mereka terima seandainya dengan monggo kerso mengijinkan film sevulgar ini muncul di daftar kandidat dan dipertontonkan ke hadapan publik dari kawasan benua berhaluan konservatif dan agamis yang kian khawatir akan ekspansi budaya sekuler yang makin menjadikan budaya lokal dan kaidah agama menjadi kaum terpinggirkan, tak ayal predikat “mesum” atau “amoralis” pun akan berpotensi menghancurkan reputasi “bersih” Oscar yang telah susah payah dibangun selama 84 taun.

Didera kontroversi, Shame menanggung beban berat ketika diluncurkan dengan license tag kuning bertanda seru dari MPAA: NC-17 (No One 17 and Under Admitted). Lebih buruk dari “sekedar” disegel dengan label “R” (Restricted). Itu bukti bahwa film ini sangat jelas bukan konsumsi mereka yang belum dikategorikan sebagai “dewasa”. Sensual. Erotis. Liar. Cabul. Atau terserah apa sajalah hinaan/pujian yang dapat orang lontarkan terhadap film ini – tapi Steve McQueen tidak peduli.  Dia dengan semangat idealisnya terus maju dan berjuang meloloskan karya pentingnya ini dengan cara apapun juga. Tanpa ambil pusing dengan keputusan ketat MPAA dan kekolotan Oscar, McQueen mempersembahkan kepada anda sebuah film yang akan membuat jantung berdenyut kencang, nafas terengah-engah, tapi yang paling buruk: emosi teraduk-aduk tak karuan.

Apa yang lebih buruk dari menjadi seorang sex addict? Sepertinya tidak ada. Michael Fassbender yang memiliki ketampanan khas British gentleman itu[1] (dia terliat jauh lebih tua dari umurnya yang sebenarnya) memastikan bahwa terperangkap dalam lingkaran perbudakan seks yang tak terkendali adalah state of nature terburuk yang dapat terjadi pada manusia. Anda mungkin terliat baik-baik saja di luar, tapi di dalam anda tergerogoti oleh manisnya racun pengemulsi kesadaran untuk dapat memilih antara yang baik dan yang buruk. Sebagai Brandon Sullivan, Fassbender mengajak anda masuk ke dalam kisah yang mengetengahkan seks bukan sebagai sebuah cerita syur yang mengasyikkan, tetapi sebuah kekuatan mistis yang menyeret dan menenggelamkan ke dalam lautan kehampaan tak bertepi. Di titik ini, anda akan dapat menyimpulkan bahwa McQueen berhasil menyajikan ketelanjangan manusia bukan sebagai pornografi, melainkan sebentuk raga tanpa jiwa.

Tapi di sini Brandon tak sendiri, datanglah Sissy (Carey Mulligan) adik perempuannya yang manis tapi lancang, suka mencuri-curi tau dengan apa yang dikerjakannya – termasuk area-area yang terbilang sensitif dan pribadi. Pun tak ubahnya seperti Brandon, dia memiliki masalah dengan dirinya sendiri. Cukup satu momen erotika antara dia dan atasan abangnya sudah menjadi bukti kuat bahwa gadis itu juga kerap terlibat dalam “hubungan-hubungan” didasari atas desakan nafsu yang sama sekali tidak bisa dikatakan sebagai “hubungan-hubungan” yang dilandasi oleh cinta. Beralih dari pelukan satu cinta semalam ke cinta semalam lain telah menyebabkan jiwa gadis ini rusak. Di kota megapolitan sebesar New York, one night stand secara sosiologis barangkali telah menjadi kewajaran sebagai rupa-rupa “sosialisasi” bagi mereka usia 17 tahun ke atas yang dinyatakan aktif secara seksual di tengah kemajemukan individu yang secara kolektif kemudian membentuk komunitas/masyarakat yang dibangun di atas pondasi hubungan inter-personal yang diukur tidak hanya secara “kuantitas” tapi juga “kualitas”. Tapi melalui studi karakter terhadap Brandon dan Sissy yang dibeberkan di sini, komplikasi asmara sesaat tanpa ikatan itu agaknya – dalam jangka panjang – akan menimbulkan pengaruh psikologis buruk: memperkeruh batas kewenangan yang jelas antara “kesenangan” dan “kebahagiaan”. Kita tak bisa lagi membedakan apakah seks itu sebatas urusan “kesenangan” atau lebih dalam berorientasi pada “kebahagiaan”. Secara rasional anda mungkin mengerti perbedaan maknawiah antara keduanya, tapi tidak ketika hal tersebut dibuktikan secara empiris. Memang, ini adalah sebuah demokrasi, tidak semua orang harus sependapat dan ada begitu banyak pendekatan yang patut diujikan terlebih dahulu berkenaan dengan teori-teori seputar seks tapi secara lisan dan jujur: apa “standar seks yang baku” menurut anda? Mengakui seks sebagai “kewajiban alam” atau seks sebagai “pilihan sadar”? Definisikan ulang arti “kesenangan” dan “kebahagiaan” sebelum anda berani mencampuradukkannya dengan embel-embel semenggoda, sebombastis, semahal S-E-K-S.

Jangan salah sangka, retorika sinis ini tidaklah sesederhana itu – tidak dengan mudah dapat “dijawab” hanya dalam waktu sehari saja. Wanti-wanti saya ingatkan, selama proses perenungan panjang ini, mungkin anda akan merasakan kegersangan yang sama seperti penderitaan seksual yang digambarkan begitu dahsyat dalam film ini. Namun, syukurlah, ternyata anda dan saya tidak sendiri. Kesengsaraan ini juga telah menghajar sang pejantan kita sepanjang film bergulir. Melalui informasi yang disajiikan dalam bentuk potongan-potongan gambar cantik oleh McQueen – sebagai karakter yang mewakili bagaimana normalnya situasi seorang pria lajang dewasa yang keseharian wajarnya menumpuk konsumsi nutrisi dalam tubuh membentuk hormon yang terus berproduksi tanpa kendali kemudian menuntut pelepasan hingga pada akhirnya yang terjadi adalah kelaparan, kerakusan seksual dari seonggok utuh daging dan tulang fana yang hidup namun perlahan-lahan terenggut visi hakikinya sebagai representasi agung mahluk berdaya pikir akan makna dan harapan hidupnya – Brandon berupaya keras “menemukan kebahagiaan” (baca: ketersiksaan) lewat sebuah cara yang mungkin akan anda definisikan sebagai… saru (kesasar + keliru).

Tak pelak, film memang sebuah media universal yang mampu menghubungkan emosi dan pemahaman penonton dari belahan bumi manapun – tapi saran saya, luangkanlah waktu khusus dan tontonlah film ini sendiri, maka film ini akan terasa begitu personal, lambat-laun “mengganggu”, lantas menampar keras kesadaran kita akan rahasia tergelap manusia yang kerap disembunyikan, disangkal, ditutup-tutupi: seksualitas. Membedah fungsi kelamin sebagai organ reproduksi, McQueen secara efektif menggunakan Shame sebagai pisau bermata dua – tak hanya mengajukan pertanyaan getir bagaimana seks menjadi sebuah dorongan psikis yang secara sadar diingini tetapi juga kebutuhan biologis sebagaimana digariskan oleh hukum alam yang mau tak mau diikuti – begitu dalam menusuk, merasuk, kemudian menyeruak dan mengobrak-abrik emosi yang terperangkap dalam sebentuk “kegilaan” (baca: kegelisahan) sukma akan pelampiasan badani di hadapan sebuah suara kecil yang jujur namun sanggup meruntuhkan benteng keangkuhan jiwa yang disebut nurani. Namun, jangan harapkan pesan moral yang memvonis blak-blakan di sini. Tidak. Tidak ada pembicaraan tentang salah atau benar. Dosa atau suci. Sama sekali tidak ada. Persepsi kolot one-dimensional yang mentah-mentah menghakimi semacam itu dengan tegas dihindari McQueen. Tapi apakah film ini lantas “bablas” tanpa rem? Jelas tidak. Shame jelas-jelas film yang kejam – gambaran yang nyaris mendekati fakta tentang ketidaknyamanan yang dirasakan ketika seks berubah fungsi dari perayaan libido yang indah menjadi teror kecanduan akut: porsi seks yang korup memukul pertahanan batin, merontokkan akal sehat, menciptakan horor rasa bersalah berkepanjangan. Terombang-ambing oleh kemarahan dan keputusasaan – dihantui petualangan seks yang liar, masturbasi, sex live-streaming, sekardus besar koleksi pernak-pernik porno –Brandon pada klimaksnya “meledak” dengan rasa muak yang teramat sangat pada diri sendiri. Lalu, tidakkah dengan begini, akhirnya McQueen berhasil mengubah persepsi kita bahwa seks tenyata bisa berubah menjadi sebuah hukuman kejiwaan yang menakutkan?

Michael Fassbender, aktor “pendatang baru” yang namanya mulai ramai dibicarakan setelah “debut” mengesankannya dalam 300 (2006), Inglorious Basterds (2009), dan terutama Hunger (2008). Sepanjang taun 2011 kemarin, Fassbender menjadi salah satu wajah yang paling sering muncul dengan tak kurang dari 5 judul film rilis turut melibatkan namanya: Jane Eyre, X-Men: First Class, A Dangerous Method, Haywire, dan tentu saja Shame. Penuh penghayatan menghidupkan karakter Brandon yang mampu membangkitkan mimpi buruk penonton akan betapa dekatnya keseharian kita dengan seks yang berada di perbatasan antara kebutuhan dan obsesi – seharusnya Fassbender tak sekedar meraih pujian dari berbagai kritikus Inggris dan Eropa, tapi patut menembus nominasi “Best Actor” pertamanya pada penghargaan Oscar kemarin tapi apa yang terjadi? Bertandang ke Negeri Obama, meski di depan pintu anda disambut hangat, namun itu sama sekali tidak menjamin bahwa anda telah sukses menaklukkan hati sang tuan rumah. Hanya gara-gara “nila setitik”, Academy Awards bisa menunjukkan pada anda sikap aristokratis yang dingin dan acuh. Lagi-lagi AMPAS memainkan peran orangtua “pilih kasih” sehingga menyebabkan anak seberbakat Fassbender lantas menjadi “tumbal” keangkuhan mereka. Barangkali mereka pikir ini belum saatnya bagi Fassbender tapi semoga saja nasib aktor muda tersebut di kemudian hari tidak senaas Gary Oldman yang ironisnya baru menerima nominasi Oscar perdananya kemarin setelah berkarya di dunia perfilman lebih dari dua dekade silam. (Bagaimanapun) kudos bagi Fassbender yang ke depan tampaknya akan menjadi ancaman serius bagi Christian Bale setelah sukses bermetamorfosis dari pria ceking dalam Hunger menyaingi tubuh kurus kering Bale dalam The Machinist (2004) lalu kini dalam Shame menjelma menjadi predator seks merivalri keberanian Bale berbugil ria dalam American Psycho (2000). Carey Mulligan pun ternyata tak sepolos senyum manisnya. Menyusul “saudari Bennett”-nya dari Pride and Prejudice (2005), Keira Knightley, dia berani menjawab tantangan untuk melepaskan imej “gadis baik-baik” yang selama ini membebaninya. Meski porsi penampilannya tak “semelelahkan” Fassbender, tapi sebagai  pemain pendukung, Mullligan menyuguhkan performa menawan melalui karakter Sissy yang retak, gamang, kehilangan pemaknaan apresiatif atas diri sendiri, dengan masa bodoh melanggar etika atas batasan status profesional antara kolega dan abangnya yang justru semakin memperterang jejak abu-abu hubungan antara “kakak-beradik” ini – sesingkat momen-momen “kaku” dan dialog “ngawur” yang tertangkap di antara keduanya – perlahan menyingkap “sesuatu” yang tidak dibahas lebih lanjut oleh McQueen: misteri masa lalu yang samar-samar mengarahkan penonton untuk menyimpulkan adanya dugaan (semengerikan) incest.

Sebuah keberanian besar yang patut dipuji ketika sutradara asal Inggris yang terbilang pemain baru namun memiliki bakat luar biasa, Steve McQueen (bukan aktor legendaris Hollywood itu) berangkat dari gerakan perjuangan kolektif dalam Hunger kemudian lebih intim mempersempitnya menjadi gejolak pergumulan individu dalam Shame. Dalam men-shoot gambar, McQueen juga menyukai detail untuk menegaskan kekuatan “naratif” film yang tidak melulu harus didominasi dialog berpanjang-panjang. Melalui kekuatan obyek yang “berbicara” seperti dinding kaca, lorong apartemen yang lengang, sudut ruangan minimalis, seprai kusut, sejumlah orang berkumpul di satu sudut bar, lalu angle focus pada bagian tubuh tertentu – memaksimalkan long shot, short shot, dan close-up secara proporsional – dia merangkai jalinan deskripsi yang kuat bagi film-filmnya.  Pertengahan menit ke-38, mulusnya long-take Brandon lari-lari menyusuri trotoar dengan latar pemandangan etalase pertokoan, gedung-gedung perkantoran, dan jalanan malam New York selama hampir empat menit yang digunakan pula pada promotional trailer-nya benar-benar suguhan skill berkelas yang menunjukkan betapa seriusnya McQueen memamerkan kebolehannya dalam berolah kamera. Dibalut kemampuan menata tempo cerita yang tidak tergesa-gesa tapi juga tidak berlambat-lambat, dengan tampilan visual jernih yang sungguh nyaman di mata berkat fotografi mewah yang tajam, Shame mengangkat subject matter yang kusut dan suram tanpa terliat semuram, semenjijikkan, sejahat Irreversible (2002) Gaspar ­Noe yang gelap berputar-putar hingga menimbulkan efek vertigo memualkan. Namun jangan teralihkan oleh prasangka anda sendiri, Shame berbeda dari The Reader (2008) meski sama-sama merujuk pada kisah kebejatan moral manusia – sementara The Reader menjadikan seks sebagai potongan kecil cinderamata untuk membongkar kembali sebuah kuburan kenangan hidup yang pelik, Shame tanpa sungkan-sungkan mengeksploitasi (peragaan) seks sebagai hidangan utama ketimbang jualan lika-liku, sedu-sedan drama. Adegan-adegan koitus yang frontal dan keberanian Fassbender maupun Mulligan tampil tanpa busana memang cukup mengejutkan tapi menurut hemat McQueen, agaknya itu “diperlukan” demi kepentingan naturalitas cerita dan tercapainya target emotional strike. Ditinjau dari segi bobot, intensitas, dan signifikansi, Shame mungkin tidak sebaik pendahulunya Hunger tapi secara full-frame, ini tetaplah karya yang memiliki kualitas yang tak bisa diremehkan: sebuah visualisasi filosofi paradoks yang mengkonfrontasi fungsi hormonal dalam manifestasi tubuh yang terjepit antara dorongan naluri manusiawi dan kungkungan evaluasi jati diri yang mengedepankan kepantasan sekaligus membungkam kehendak alam terbungkus dalam sebuah mantra ajaib terdiri dari tiga huruf yang akan membuat kepala anda menoleh seketika mendengarnya: S.E.X.

-          F. Fajaryanto Suhardi

(8 Juni 2012)


[1] In fact, Fassbender adalah aktor kelahiran Jerman tapi besar di Irlandia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar