Jumat, 13 Januari 2012

SETAN Berwujud Manusia itu Ada

Movie Review

No Country for Old Men (2007)

"Syair Ratapan Sang Sheriff Tua tentang Sebuah Negeri dimana Hukum Tak Lagi Dihormati: Eksploitasi Ketamakan Atas Uang Berpacu di Antara Deru Peluru, Obat Bius, dan Bangkai Manusia"



Diangkat dari novel berjudul sama karangan Cormac McCarthy, No Country for Old Men merupakan gambaran kelam tentang manusia dan perangai jahatnya. Nihilisme rupanya menjadi sajian utama pilihan Coen Bersaudara dalam membangun kisah film yang dibuka dengan prolog yang amat menggugah berikut:

“Aku telah menjadi sheriff di county ini ketika berumur 25 tahun. Sulit dipercaya. Kakekku seorang polisi, demikian pula ayahku. Aku dan dia bahkan menjabat sheriff pada saat yang bersamaan. Dia di Plano dan aku di sini. Kupikir dia cukup bangga dengan hal itu. Aku tau aku bangga.
Dulu kabarnya sheriff tak pernah pakai senjata api. Banyak orang yang tidak percaya, tapi itulah kenyataannya. Jim Scarborough tidak pernah mengantungi pistol. Tapi itu Jim semasa muda. Gaston Boykins pun tak pernah membawanya semasa bertugas di Commanche County.  Aku selalu suka dengan cerita orang jaman dulu. Tak pernah melewatkan kesempatan itu. Kemudian kamu tidak bisa menahan diri untuk tidak membandingkan dirimu dengan mereka. Penasaran bagaimana mereka melakukan tugas mereka. Aku mengirim satu anak ke kamar gas di Huntsville. Aku yang menangkapnya dan jadi saksinya. Dia membunuh seorang gadis 14 tahun. Koran-koran bilang itu kejahatan nafsu tapi dia bilang padaku tidak ada nafsu dalam perbuatannya itu. Dia bilang padaku kalau dia sudah merencanakan untuk membunuh orang selama yang dia ingat. Katanya jika aku mengeluarkannya, dia akan membunuh lagi. Dia bahkan tau dia akan masuk neraka. Dalam lima belas menit, dia akan melihat neraka. Aku tidak tau apa yang membuatnya begitu atau manusia jenis apakah dia itu. Aku benar-benar tidak tau.Kau tau kejahatan sekarang ini menjadi semakin sulit dikendalikan. Bukannya aku takut terhadap hal itu. Aku tau kita mesti rela mempertaruhkan nyawa demi melakukan tugas ini. Tapi aku tidak ingin menempatkan orang-orangku dalam bahaya dan menyuruh mereka mendatangi sesuatu yang aku sendiri tidak tau itu apa. Seorang pria harus bersedia mempertaruhkan jiwanya dalam bahaya. Dia hanya perlu bilang: Baiklah, aku bersedia ambil  bagian di dalamnya.”


Berseting di West Texas tahun 1980, adalah Sheriff Ed Tom Bell (Tommy Lee Jones) menjelang masa pensiun namun justru menghadapi hari-hari terberat dalam karirnya. Di wilayah hukumnya, kita akan disuguhi mayat-mayat penyelundup narkotik dari Meksiko yang mati ditembaki dan mulai membusuk berserakan seperti sampah, warga sipil dieksekusi di pinggir jalan, bahkan polisi dibantai tanpa basa-basi.

Ed Tom Bell bukan jagoan tapi dia bukan pria lemah. Dia hanya seorang polisi tua yang berharap dapat mengatasi penjahat tanpa perlu memakai kekerasan. Dia tahu orang jahat semakin nekat. Beberapa di antaranya tak segan menceburkan diri ke dalam lumpur dosa demi uang, obat bius, atau apapun itu dan baku tembak bebas di jalanan pun jadi tak terelakkan lagi. Kalau sudah begini, penegakan hukum tak lagi bergigi. Polisi jarang bertindak keras dan cenderung tak mau ambil resiko. Tunggu dan tinggal lihat hasilnya, siapa yang berhasil kabur dan siapa yang mati konyol. Tapi ketika Ed Tom Bell melihat bangkai-bangkai mafia kartel obat bius yang mati oleh kebiadabannya sendiri di kaldera gurun Texas yang gersang, peristiwa itu kemudian menghantarnya pada kejahatan keji tak berujung yang membuatnya ngeri.

Benang merah itu bermula dari seorang pemuda bernama Llewellyn Moss (Josh Brolin) yang sedang berburu rusa bertanduk di dataran rendah saat tengah hari yang terik. Bidikannya kena, tapi sayang rusa itu berhasil kabur bersama kawanannya. Saat menelusuri jejak darah si rusa, tiba-tiba dia menemukan seekor anjing hitam yang terluka dan berjalan pincang. Jejak darah anjing itu menghantarnya pada kaldera sunyi dengan truk-truk yang lengang, tubuh-tubuh bersimbah darah yang tergeletak di tanah, anjing mati, satu bak muatan penuh heroin, dan seorang Meksiko sekarat dengan luka tembak parah di perutnya yang meminta air. Agua, cuate. Agua, por dios.

Moss kemudian menyisir daerah sekitar dan menemukan seorang pelarian lain dari peristiwa berdarah itu tergeletak di bawah sebatang pohon rindang. Laki-laki itu mati pula karena kehabisan darah akibat luka tembak di lambungnya. Tapi laki-laki malang itu mati tak sia-sia dengan meninggalkan tas kopor berisi uang dua juta dolar terdiri dari pecahan 100 dolar yang kemudian dibawa pergi oleh Moss.

Dari sini, cerita kemudian berkembang menjadi teror yang bergerak sangat cepat ketika si pemilik uang darah tersebut menyuruh seorang pembunuh bayaran bernama Carson Wells (Woody Harrelson) untuk menemukan orang yang membawa kabur uang itu. Namun sayangnya, dia tak memperhitungkan resiko karena telah terlanjur melepaskan seekor anjing ganas tak bertuan, Anton Chigurh (Javier Bardem), ke jalanan.

Anda perlu waspada, Chigurh bukan pembunuh yang nature kesadisannya dibuat-buat. Saya memuji karakter ini sebagai “individualitas total tanpa setitik nila sensibilitas”. Tanpa kompromi, dia akan melenyapkan siapa saja yang berdiri di jalan yang dilaluinya, mereka yang pernah melihat wajahnya dan bahkan yang sekedar pernah mendengar namanya. Dalam novel, dia disebut sebagai “nabi perusak” bersenjatakan senapan shotgun berdimensi dua belas dengan peredam sebesar kaleng bir yang mampu membuat lubang sedalam tiga inci di dinding. Bayangkan jika muntahan peluru senjata itu menembus tengkorak kepala manusia atau tepat mengenai dada anda.

Sebagai penjahat sosiopatik yang senang bermain-main dengan pikiran korbannya, kadang-kadang dia memberikan pilihan pada mereka untuk dapat tetap mempertahankan nyawa dengan satu lemparan koin. Bagi kita, mungkin hal itu gila dan sangat tidak masuk akal untuk mempertaruhkan nyawa dalam lemparan koin. Tapi bagi Chigurh, hidup anda adalah keberuntungan. Anda tidak pernah memilih untuk dilahirkan di dunia. Anda juga tidak memilih jenis kelamin yang anda miliki. Jadi, jika anda bisa hidup lebih lama lagi, itu sebuah keberuntungan bukan? Namun jika untuk mati sekarang atau nanti, apa itu sebuah pilihan?

Scene favorit saya adalah ketika Carla Jean Moss (Kelly MacDonald) memilih untuk menolak melakukan negosiasi bodoh serupa yang Chigurh tawarkan pada orang-orang di luar sana – lemparan koin.

“Aku tahu kau itu gila begitu aku melihatmu duduk di situ. Aku tau pasti apa yang akan terjadi padaku. Aku tidak akan menebaknya. Koin itu tidak bisa apa-apa. Kau membuatnya seolah-olah koin itu yang menentukan. Padahal sebenarnya kau.”

Joel dan Ethan Coen loyal dengan tema-tema yang mengeksploitasi keserakahan, nafsu, kesadisan, ironi, dan kefanaan hidup manusia. No Country for Old Men segera mengingatkan kita pada karya-karya mengagumkan mereka sebelumnya, Blood Simple (1984) dan Fargo (1995). Coen Bersaudara tidak menampilkan efek dan teknik penyutradaraan yang baru. Tidak ada pernak-pernik atau polesan atau gincu atau pemerah pipi dalam film garapan mereka tapi hasil yang mengejutkan dan menghentak emosi anda adalah tujuan final mereka.

Secara pribadi, saya memilih No Country for Old Men sebagai film terbaik dekade lalu karena film ini mempertanyakan moralitas manusia pada titik nadir terendah. Tanpa bumbu konspirasi yang muluk-muluk, inilah sketsa kasar tentang ambisi-ambisi kosong manusia dan akhir yang berupa ketiadaan harapan. Moss hanyalah sekedar kepingan contoh wajah orang yang tidak beruntung. Barangkali keinginan Moss seperti lazimnya orang-orang kebanyakan: kemewahan. Seumur hidup tak pernah menyentuh uang sebanyak itu dan pastinya tidak ada seorangpun yang bersedia memberikannya dengan cuma-cuma – dengan dua juta dolar di tangan – mimpi Moss cuma ingin memperbaiki hidup bersama istrinya, Carla Jean. Sementara itu, hasrat Ed Tom Bell hanya ingin menolong Moss, si bocah malang veteran perang Vietnam yang miskin, keluar dari kesulitan akibat uang panas itu. Namun, Moss menolak dan Ed Tom Bell gagal melindunginya. Terlebih istri Moss yang tak bersalah, tak lama kemudian ikut menyusul menjadi korban serentetan pembunuhan berdarah itu. Sang sheriff tua kemudian bangun dan tersadar. Lalu duduk dan mulai meratap. Betapa sebuah kenaifan yang harus dibayar mahal.

No Country for Old Men menjadi cermin refleksi bagi kita semua bahwa tidak pernah ada jalan keluar yang manis dari akumulasi ketamakan yang senantiasa dipupuk dan dipelihara oleh anak-anak manusia.


-          F. Fajaryanto Suhardi

(20 Februari 2011)

Faut Bien Jouer avec Quelque Chose = What’s Life without Risk?

Movie Review

La Vie en Rose (La Môme) (2007)

"Sang Diva: Panggung Kehidupan dan Eksistensi Seorang Feminis Sejati"




P
erempuan bagai sebutir apel. Merah. Ranum. Manis nan menggoda dengan lekuk sempurna. Ya. Wanita piawai menampilkan sisi sensualitasnya yang menggiurkan hingga mampu membuat mata siapa saja terpana. Sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh musisi pria manapun.

“Panggung musik kini dijajah perempuan.”

Barangkali ucapan Bryan Adams 15 tahun silam itu ada benarnya. Musik kini bukan hanya hegemoni kaum laki-laki saja. Setelah era Elvis Prestley, Stevie Wonder, Sting, Elton John, dan Michael Jackson, lihatlah siapa solois yang mampu bertahan menjual album paling banyak di tengah gempuran pembajakan oleh internet dan teknologi abad ini yang semakin canggih. Kecuali Eminem, hampir tak ada satupun nama laki-laki di sana. Mereka yang terus menggenjot popularitasnya dan mampu mencatatkan angka penjualan album fantastis puluhan bahkan hingga ratusan juta keping di antaranya setelah Madonna, Barbra Streisand, Mariah Carey, Celine Dion, Janet Jackson, Whitney Houston, kita akan mendengar nama-nama generasi baru yang telah mendunia digawangi pop princesses Britney Spears dan Lady Gaga juga barisan biduanita R&B kontemporer sebutlah Beyoncé dan Rihanna. Di negeri sendiri, kita sering mendengar nama-nama seperti Krisdayanti, Ruth Sahanaya, Titi DJ, Mulan Jameela, atau Agnes Monica dielu-elukan sebagai “DIVA”. Namun apakah dengan Britney Spears sukses menjual lebih dari 100 juta keping album di seluruh dunia hanya dalam tempo satu dekade, atau Mariah Carey yang bervokal akrobatik itu berhasil mencetak hits no.1 di tangga lagu Billboard lebih banyak dari penyanyi solo manapun, atau Beyoncé dielu-elukan sebagai ratu musik sejagat saat ini, atau si penyanyi-sirkus Lady Gaga berhasil memecahkan rekor dengan menghimpun penggemar hingga lebih dari 40 juta akun hanya di jejaring sosial Facebook saja – lantas membuat mereka layak menyandang gelar “DIVA”? Apakah dia (she: singular person, female) yang begitu populer, molek, seksi, stylish, dan telah sukses menjual album hingga berjuta-juta keping akan serta-merta dilabeli sebagai “DIVA”? Lalu apa definisi “DIVA” menurut anda?

Bagi kita – lazimnya penikmat awam – musik menjadi senandung irama pengusir penat. Tapi bagi seorang manusia yang mengabdikan hidupnya total sebagai pelakon seni (baca: artis bukan selebriti) seperti Édith Piaf, musik adalah nafas hidupnya. Berani bertaruh – di atas konteks sebagai sesama orang Indonesia yang terlalu sering mendengar musik pop mainstream – sebagian besar dari anda tentu asing mendengar nama itu sama halnya saya sebelum menonton film ini – padahal setengah abad jauh sebelum tren biduanita pop kulit putih ber-timbre kuat seperti Celine Dion muncul, Édith Piaf telah lebih dulu menjadi pionir. Isenglah bertanya pada orang Perancis, mereka tak akan segan mengakui Édith Piaf sebagai penyanyi kebanggaan negara mereka. Tak percaya? Coba ketik dan klik nama tersebut pada search engine semisal Google, anda akan menemukan banyak sumber referensi yang menyebutkan Édith Piaf sebagai salah seorang artis Perancis terbesar sepanjang masa (Wikipedia: regarded as France’s greatest popular singer; a cultural symbol.).
Diambil dari judul salah satu simfoni chanson klasik Madame Piaf yang paling mashyur, La Vie en Rose (di negara asalnya dirilis dengan judul La Môme) merupakan film berbahasa Perancis berdurasi 140 menit arahan sutradara Olivier Dahan yang menuturkan perjalanan hidup sang biduanita berdasarkan biografinya. Piaf yang terlahir dengan nama Édith Giovanna Gassion menjalani masa kecil sangat sulit dimana kedua orangtuanya yang miskin berpisah. Édith kecil nyaris mati kelaparan ketika diurus sang ibu yang seorang penyanyi jalanan. Kala berusia lima tahun, kemudian oleh sang ayah, Louis Gassion, dia dititipkan pada ibunya yang menjalankan bisnis rumah bordil. Selama dalam pengasuhan neneknya, dia disayangi dan dirawat oleh para pelacur yang bekerja di situ – terutama oleh Titine (diperani Emanuelle Seigner – istri sutradara Roman Polansky). Tak berapa lama kemudian, dia ditarik lagi oleh ayahnya lalu menjalani hidup berpindah-pindah mengikuti pekerjaan sang ayah yang seorang pemain sirkus. Kehidupan jalanan sesungguhnya yang luar biasa kejam dan keras mulai dia rasakan begitu menginjak usia 10 tahun ketika ayahnya memutuskan meninggalkan sirkus dan mulai bekerja sendiri. Bersama sahabatnya Momone (Sylvie Testud), setiap hari sebelum bisa makan semangkuk sup dan sepotong roti, dia harus mencari uang dulu dengan mengamen di pinggir jalan.

Pada usia 20 tahun, nasibnya mulai berubah ketika bertemu dengan Louis Leplée (dengan santai dilakonkan oleh aktor veteran Perancis berhidung belah, Gerard Depardieu) seorang manajer kafe bernama Gerny’s yang amat terkesan pada suara indahnya. Dia kemudian diorbitkan menjadi bintang pertunjukan namun sayang, Leplée tewas dalam sebuah insiden keributan yang melibatkan orang-orang dari jaringan kriminal prostitusi bawah tanah yang selama ini mencengkeram Édith. Hidup dan karir Édith sempat terpuruk sesaat namun berkat uluran tangan dan gemblengan komposer Raymond Asso dan pianis Marguerite Monnot, karirnya kembali bersinar bahkan semakin cemerlang hingga namanya dikenal di seluruh penjuru Perancis. Berangkat dari penyanyi kabaret di klub kecil kemudian beralih menjadi biduanita di arena teater megah nan mewah, Édith semakin melebarkan sayap dan tetap bernyanyi di tengah kecamuk Perang Dunia II – bahkan sampai ke Negeri Paman Sam. Menurut catatan sejarah, meskipun selama pendudukan Jerman di Perancis karirnya tidak dicekal, Piaf dikenal sebagai artis yang tetap loyal mendukung perjuangan rakyat di negaranya melawan agresi Nazi. Salah satu tembang terkemukanya, “L’Accordeoniste” merupakan gubahan seorang kopral kompatriot bernama Michel Emer.
Ketenaran dan kekayaan mulai menghampiri. Namun, jangan bersukacita dulu karena dalam film ini, kisah hidup Édith Piaf senantiasa haru-biru adanya. Sepanjang hayatnya, ratu balada yang berperangai kasar dan gusar tersebut bergulat dengan kebangkrutan finansial, fisik, mental, dan emosional: luka dan trauma kehilangan buah hati juga kekasih tercinta, narkotika, alkohol, cacat seumur hidup setelah tulang rusuknya patah akibat kecelakaan fatal yang hampir merenggut nyawanya sampai kanker hati.

Selain film-film yang diangkat dari novel  berbobot, sudah jadi rahasia umum kalau Academy Awards menggandrungi genre biopik, salah satunya La Vie en Rose dari sekian banyak yang sukses mencuri perhatian; yang belakangan muncul antara lain Ray! (2004) (biopik penyanyi-pianis soul legendaris Ray Charles), Capote (2005) (biopik penulis buku dan naskah film sensasional Truman Capote), lalu Milk (2008) (biopik Harvey Milk, politikus Amerika pertama yang secara terbuka mengakui dirinya homoseks). Berbicara tentang La Vie en Rose, sebetulnya tidak ada yang terlalu istimewa dari plot ceritanya – secara tipikal menampilkan fase kesedihan-kegembiraan dan jatuh-bangun, kisah yang dibangun cenderung hiper-melankolis sehingga cerita model begini amatlah lumrah dijumpai, walhasil rentan berakhir menjadi sebuah drama banalitas – untungnya, tertolong oleh penerapan alur maju-mundur yang apik dan atmosfer psikologis yang kontras antar sekuens yang berlompatan – kedua elemen tersebut menjadi nilai plus utama film ini. Inilah kelemahan utama film biopik. Karena dibangun dengan berkiblat pada sebuah tuturan biografi, amatlah sulit bagi si sutradara untuk mengkreasi adegan-adegan ‘menantang’ dan kalaupun ada sedikit perubahan demi kepentingan dramatisasi, ‘manuver’ yang muncul harus tetap berpatokan pada pakem-pakem yang ‘sah’ alias tekstual. Hal ini disebabkan karena adanya konteks perbedaan yang jelas antara fakta dan fiksi yang saya sebut sebagai “beban fakta”. Fiksi boleh saja masuk akal tapi itu tidak terjadi, tapi fakta bisa saja aneh bahkan irasional tapi itulah yang terjadi. Dalam novel yang notabene fiksi, si pengarang boleh saja mereka-reka kisah senatural mungkin atau sebaliknya menambahkan adegan sensasional yang mungkin jarang dijumpai (walau bisa saja terjadi) dalam kehidupan nyata. Bagaimanapun sebuah biografi haruslah menyertakan data-data yang faktual dan bisa dibuktikan karena adegan yang dikisahkan di dalamnya riil alias benar-benar terjadi – tidak peduli apakah itu masuk akal atau tidak. Tapi masalahnya jika di dalam sebuah biografi dituliskan seorang manusia setiap pagi bangun lalu mandi lalu sarapan lalu pergi bekerja lalu pulang lalu makan lalu malamnya kembali tidur dan siklus itu terus berulang setiap hari sampai dia mati – dengan kata lain – tidak terdapat sesuatu yang ‘lebih’, lantas bagaimana bisa kita membuat cerita seperti itu menarik? Namun biografi yang bagaikan sup dengan bumbu dramatisasi terselip satu paket di dalamnya lalu dipermanis lagi dengan efek-efek “penyedap tambahan” sebagai penguat citra ketika divisualisasikan ke dalam layar perak, lalu, tidakkah fakta kemudian berubah jadi abu-abu? Menjadi fakta semi fiksi atau fakta fiksional? Hati-hati. Kesan fakta bercampur fiksi yang terliat begitu nyata inilah yang kerap menjebak orang-orang untuk cenderung mempercayainya sebagai fakta sebagaimana adanya.

Sekalipun melibatkan massa serta detil properti dan seting sehingga menimbulkan efek magnitude yang cukup wah, ibarat sebuah bahtera besar yang dibangun dari kayu kategori rapuh, film ini relatif goyah, dengan semata-mata mengandalkan adegan-adegan dramatis yang kental nuansa emosional secara intens. Namun demikian, film ini kemudian sepenuhnya terangkat naik berkat kepiawaian menakjubkan sang nahkoda – yaitu pelakon utama. One (wo)man show. Saya adalah orang awam yang secara sederhana menikmati film sebagai tontonan, kalau boleh memuji, penampilan Marion Cotillard dalam La Vie en Rose merupakan salah satu akting oleh pemeran utama wanita paling berkesan yang pernah saya lihat dalam satu dasawarsa terakhir. Analogi saya: Marion Cotillard adalah Édith Piaf dan Édith Piaf adalah Marion Cotillard. Anda pasti tau apa yang saya maksudkan: penjiwaan dengan tingkat kesulitan tinggi. Tak ada kata lain yang bisa mewakili reaksi terperangah saya menyaksikan totalitas performanya kecuali: LUAR  BIASA. Cotillard secara tak biasa melebur dalam sosok Édith Piaf tak hanya secara psikologis namun juga fisik, mimik, dan vokal dengan sangat sempurna. Sebagai Édith dua puluh tahunan, dia begitu canggung, penuh semangat dan emosional; Édith tiga puluh tahunan, Cotillard tumbuh menjadi wanita anggun yang dilanda cinta; Édith empat puluh tahunan, tubuhnya yang cacat, bungkuk, dan menyusut berjalan tertatih-tatih dan kepayahan. Terlepas dari efek make-up, anda pasti pangling menyaksikan penampilannya di sini bila membandingkannya dengan Mal yang repulsif dan sensual dalam Inception (2010) bersama Leonardo di Caprio atau sebagai Luisa Contini yang jelita mempesona dalam drama musikal Nine (2009) bersama serombongan aktor dan aktris kelas Oscar seperti Daniel Day-Lewis, Nicole Kidman, Penelope Cruz, Judi Dench, dan Sophia Loren. Anda akan terkejut melihat Cotillard dapat berubah bak bunglon – dari titisan dewi Venus yang aduhai kemudian menjelma menjadi seorang penyanyi perempuan paling tidak menarik secara seksual yang pernah anda lihat. Melalui film ini, anda akan segera lupa bahwa seorang diva sejati adalah secantik dan seseksi Britney Spears atau Beyoncé yang glamor atau bergaya funky dan cool seperti Katy Perry atau yang mengutamakan penampilan fisik ketimbang kualitas hingga rela berkali-kali naik ke meja operasi demi secercah kecantikan hasil rombakan bedah plastik perihalnya Krisdayanti. Cotillard membawa anda memasuki dunia Édith Piaf dan memahami bahwa ternyata eksistensi abadi seorang penyanyi besar yang dihormati tidak berkorelasi linier dengan kemolekan tubuh atau tingkat kepopuleran atau seberapa trendi anda berpakaian atau kuantitas penjualan album gila-gilaan yang senantiasa diagung-agungkan oleh kapitalisme industri musik komersil yang rakus. Édith Piaf menjadi DIVA karena menyanyi adalah pilihan hidupnya.

Reporter              : Et si vous ne pouviez plus chanter? (If you were unable to sing anymore?)
Édith Piaf             : Je ne vivrais pas. (Then I could no longer live.)

Perempuan berjuluk “the little sparrow” yang namanya menjadi referensi tajuk lagu “Edith and the Kingpin” terakhir muncul di album pemenang Grammy milik pianis jazz veteran Herbie Hancock, River: The Joni Letters (2007) ini membangun hidup dan kepercayaan dirinya dari panggung ke panggung untuk sebuah manifestasi tujuan yang melebihi sekedar uang atau ketenaran. Sang diva memaknai hidupnya yang penuh kesengsaraan dengan tepat dan indah. Ibarat kapal yang karam tinggal menunggu waktu, Édith mengenang kembali seluruh hidupnya dalam segenggam kenangan masa lalu yang getir dan meremukkan batin. Dan apakah seorang Édith Piaf sebagai perempuan seutuhnya menyesali itu semua? Dengan lantang dia menjawab, “Non je ne regrette rien.” (No, I regret nothing at all.)


-          F. Fajaryanto Suhardi



Sebuah persembahan untuk Amy Winehouse (14 September 1983 – 23 Juli 2011)
“Votre voix est comme l’âme de mon cœur. Je t’aime, Amy.”

(2 September 2011)