Jumat, 13 Januari 2012

SETAN Berwujud Manusia itu Ada

Movie Review

No Country for Old Men (2007)

"Syair Ratapan Sang Sheriff Tua tentang Sebuah Negeri dimana Hukum Tak Lagi Dihormati: Eksploitasi Ketamakan Atas Uang Berpacu di Antara Deru Peluru, Obat Bius, dan Bangkai Manusia"



Diangkat dari novel berjudul sama karangan Cormac McCarthy, No Country for Old Men merupakan gambaran kelam tentang manusia dan perangai jahatnya. Nihilisme rupanya menjadi sajian utama pilihan Coen Bersaudara dalam membangun kisah film yang dibuka dengan prolog yang amat menggugah berikut:

“Aku telah menjadi sheriff di county ini ketika berumur 25 tahun. Sulit dipercaya. Kakekku seorang polisi, demikian pula ayahku. Aku dan dia bahkan menjabat sheriff pada saat yang bersamaan. Dia di Plano dan aku di sini. Kupikir dia cukup bangga dengan hal itu. Aku tau aku bangga.
Dulu kabarnya sheriff tak pernah pakai senjata api. Banyak orang yang tidak percaya, tapi itulah kenyataannya. Jim Scarborough tidak pernah mengantungi pistol. Tapi itu Jim semasa muda. Gaston Boykins pun tak pernah membawanya semasa bertugas di Commanche County.  Aku selalu suka dengan cerita orang jaman dulu. Tak pernah melewatkan kesempatan itu. Kemudian kamu tidak bisa menahan diri untuk tidak membandingkan dirimu dengan mereka. Penasaran bagaimana mereka melakukan tugas mereka. Aku mengirim satu anak ke kamar gas di Huntsville. Aku yang menangkapnya dan jadi saksinya. Dia membunuh seorang gadis 14 tahun. Koran-koran bilang itu kejahatan nafsu tapi dia bilang padaku tidak ada nafsu dalam perbuatannya itu. Dia bilang padaku kalau dia sudah merencanakan untuk membunuh orang selama yang dia ingat. Katanya jika aku mengeluarkannya, dia akan membunuh lagi. Dia bahkan tau dia akan masuk neraka. Dalam lima belas menit, dia akan melihat neraka. Aku tidak tau apa yang membuatnya begitu atau manusia jenis apakah dia itu. Aku benar-benar tidak tau.Kau tau kejahatan sekarang ini menjadi semakin sulit dikendalikan. Bukannya aku takut terhadap hal itu. Aku tau kita mesti rela mempertaruhkan nyawa demi melakukan tugas ini. Tapi aku tidak ingin menempatkan orang-orangku dalam bahaya dan menyuruh mereka mendatangi sesuatu yang aku sendiri tidak tau itu apa. Seorang pria harus bersedia mempertaruhkan jiwanya dalam bahaya. Dia hanya perlu bilang: Baiklah, aku bersedia ambil  bagian di dalamnya.”


Berseting di West Texas tahun 1980, adalah Sheriff Ed Tom Bell (Tommy Lee Jones) menjelang masa pensiun namun justru menghadapi hari-hari terberat dalam karirnya. Di wilayah hukumnya, kita akan disuguhi mayat-mayat penyelundup narkotik dari Meksiko yang mati ditembaki dan mulai membusuk berserakan seperti sampah, warga sipil dieksekusi di pinggir jalan, bahkan polisi dibantai tanpa basa-basi.

Ed Tom Bell bukan jagoan tapi dia bukan pria lemah. Dia hanya seorang polisi tua yang berharap dapat mengatasi penjahat tanpa perlu memakai kekerasan. Dia tahu orang jahat semakin nekat. Beberapa di antaranya tak segan menceburkan diri ke dalam lumpur dosa demi uang, obat bius, atau apapun itu dan baku tembak bebas di jalanan pun jadi tak terelakkan lagi. Kalau sudah begini, penegakan hukum tak lagi bergigi. Polisi jarang bertindak keras dan cenderung tak mau ambil resiko. Tunggu dan tinggal lihat hasilnya, siapa yang berhasil kabur dan siapa yang mati konyol. Tapi ketika Ed Tom Bell melihat bangkai-bangkai mafia kartel obat bius yang mati oleh kebiadabannya sendiri di kaldera gurun Texas yang gersang, peristiwa itu kemudian menghantarnya pada kejahatan keji tak berujung yang membuatnya ngeri.

Benang merah itu bermula dari seorang pemuda bernama Llewellyn Moss (Josh Brolin) yang sedang berburu rusa bertanduk di dataran rendah saat tengah hari yang terik. Bidikannya kena, tapi sayang rusa itu berhasil kabur bersama kawanannya. Saat menelusuri jejak darah si rusa, tiba-tiba dia menemukan seekor anjing hitam yang terluka dan berjalan pincang. Jejak darah anjing itu menghantarnya pada kaldera sunyi dengan truk-truk yang lengang, tubuh-tubuh bersimbah darah yang tergeletak di tanah, anjing mati, satu bak muatan penuh heroin, dan seorang Meksiko sekarat dengan luka tembak parah di perutnya yang meminta air. Agua, cuate. Agua, por dios.

Moss kemudian menyisir daerah sekitar dan menemukan seorang pelarian lain dari peristiwa berdarah itu tergeletak di bawah sebatang pohon rindang. Laki-laki itu mati pula karena kehabisan darah akibat luka tembak di lambungnya. Tapi laki-laki malang itu mati tak sia-sia dengan meninggalkan tas kopor berisi uang dua juta dolar terdiri dari pecahan 100 dolar yang kemudian dibawa pergi oleh Moss.

Dari sini, cerita kemudian berkembang menjadi teror yang bergerak sangat cepat ketika si pemilik uang darah tersebut menyuruh seorang pembunuh bayaran bernama Carson Wells (Woody Harrelson) untuk menemukan orang yang membawa kabur uang itu. Namun sayangnya, dia tak memperhitungkan resiko karena telah terlanjur melepaskan seekor anjing ganas tak bertuan, Anton Chigurh (Javier Bardem), ke jalanan.

Anda perlu waspada, Chigurh bukan pembunuh yang nature kesadisannya dibuat-buat. Saya memuji karakter ini sebagai “individualitas total tanpa setitik nila sensibilitas”. Tanpa kompromi, dia akan melenyapkan siapa saja yang berdiri di jalan yang dilaluinya, mereka yang pernah melihat wajahnya dan bahkan yang sekedar pernah mendengar namanya. Dalam novel, dia disebut sebagai “nabi perusak” bersenjatakan senapan shotgun berdimensi dua belas dengan peredam sebesar kaleng bir yang mampu membuat lubang sedalam tiga inci di dinding. Bayangkan jika muntahan peluru senjata itu menembus tengkorak kepala manusia atau tepat mengenai dada anda.

Sebagai penjahat sosiopatik yang senang bermain-main dengan pikiran korbannya, kadang-kadang dia memberikan pilihan pada mereka untuk dapat tetap mempertahankan nyawa dengan satu lemparan koin. Bagi kita, mungkin hal itu gila dan sangat tidak masuk akal untuk mempertaruhkan nyawa dalam lemparan koin. Tapi bagi Chigurh, hidup anda adalah keberuntungan. Anda tidak pernah memilih untuk dilahirkan di dunia. Anda juga tidak memilih jenis kelamin yang anda miliki. Jadi, jika anda bisa hidup lebih lama lagi, itu sebuah keberuntungan bukan? Namun jika untuk mati sekarang atau nanti, apa itu sebuah pilihan?

Scene favorit saya adalah ketika Carla Jean Moss (Kelly MacDonald) memilih untuk menolak melakukan negosiasi bodoh serupa yang Chigurh tawarkan pada orang-orang di luar sana – lemparan koin.

“Aku tahu kau itu gila begitu aku melihatmu duduk di situ. Aku tau pasti apa yang akan terjadi padaku. Aku tidak akan menebaknya. Koin itu tidak bisa apa-apa. Kau membuatnya seolah-olah koin itu yang menentukan. Padahal sebenarnya kau.”

Joel dan Ethan Coen loyal dengan tema-tema yang mengeksploitasi keserakahan, nafsu, kesadisan, ironi, dan kefanaan hidup manusia. No Country for Old Men segera mengingatkan kita pada karya-karya mengagumkan mereka sebelumnya, Blood Simple (1984) dan Fargo (1995). Coen Bersaudara tidak menampilkan efek dan teknik penyutradaraan yang baru. Tidak ada pernak-pernik atau polesan atau gincu atau pemerah pipi dalam film garapan mereka tapi hasil yang mengejutkan dan menghentak emosi anda adalah tujuan final mereka.

Secara pribadi, saya memilih No Country for Old Men sebagai film terbaik dekade lalu karena film ini mempertanyakan moralitas manusia pada titik nadir terendah. Tanpa bumbu konspirasi yang muluk-muluk, inilah sketsa kasar tentang ambisi-ambisi kosong manusia dan akhir yang berupa ketiadaan harapan. Moss hanyalah sekedar kepingan contoh wajah orang yang tidak beruntung. Barangkali keinginan Moss seperti lazimnya orang-orang kebanyakan: kemewahan. Seumur hidup tak pernah menyentuh uang sebanyak itu dan pastinya tidak ada seorangpun yang bersedia memberikannya dengan cuma-cuma – dengan dua juta dolar di tangan – mimpi Moss cuma ingin memperbaiki hidup bersama istrinya, Carla Jean. Sementara itu, hasrat Ed Tom Bell hanya ingin menolong Moss, si bocah malang veteran perang Vietnam yang miskin, keluar dari kesulitan akibat uang panas itu. Namun, Moss menolak dan Ed Tom Bell gagal melindunginya. Terlebih istri Moss yang tak bersalah, tak lama kemudian ikut menyusul menjadi korban serentetan pembunuhan berdarah itu. Sang sheriff tua kemudian bangun dan tersadar. Lalu duduk dan mulai meratap. Betapa sebuah kenaifan yang harus dibayar mahal.

No Country for Old Men menjadi cermin refleksi bagi kita semua bahwa tidak pernah ada jalan keluar yang manis dari akumulasi ketamakan yang senantiasa dipupuk dan dipelihara oleh anak-anak manusia.


-          F. Fajaryanto Suhardi

(20 Februari 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar