Movie Review
La Vie en Rose (La Môme) (2007)
"Sang Diva: Panggung Kehidupan dan Eksistensi Seorang Feminis Sejati"
P
|
erempuan bagai sebutir apel. Merah. Ranum. Manis nan menggoda dengan lekuk sempurna. Ya. Wanita piawai menampilkan sisi sensualitasnya yang
menggiurkan hingga mampu
membuat mata siapa saja terpana. Sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh musisi
pria manapun.
“Panggung musik kini dijajah perempuan.”
Barangkali ucapan
Bryan Adams 15 tahun silam itu
ada benarnya. Musik kini bukan hanya hegemoni kaum laki-laki saja. Setelah era
Elvis Prestley, Stevie Wonder, Sting, Elton John, dan Michael Jackson, lihatlah
siapa solois yang mampu
bertahan menjual album paling banyak di tengah gempuran pembajakan oleh internet dan teknologi abad ini yang semakin canggih. Kecuali
Eminem, hampir tak ada satupun nama
laki-laki di sana. Mereka yang terus menggenjot popularitasnya dan mampu
mencatatkan angka penjualan album fantastis puluhan bahkan hingga ratusan juta keping di antaranya setelah
Madonna, Barbra
Streisand, Mariah Carey, Celine
Dion, Janet Jackson, Whitney Houston, kita akan mendengar nama-nama generasi
baru yang telah mendunia digawangi
pop princesses Britney Spears dan Lady
Gaga juga barisan biduanita R&B kontemporer sebutlah Beyoncé dan Rihanna. Di negeri
sendiri, kita sering mendengar nama-nama seperti Krisdayanti, Ruth Sahanaya,
Titi DJ, Mulan Jameela, atau Agnes Monica dielu-elukan sebagai “DIVA”. Namun apakah dengan Britney Spears sukses
menjual lebih dari 100 juta keping album di seluruh dunia
hanya dalam tempo satu dekade,
atau Mariah Carey yang bervokal
akrobatik itu berhasil mencetak hits
no.1 di tangga lagu Billboard lebih banyak dari penyanyi solo manapun, atau Beyoncé dielu-elukan
sebagai ratu musik sejagat saat ini, atau si penyanyi-sirkus Lady Gaga
berhasil memecahkan rekor dengan menghimpun penggemar hingga lebih dari 40 juta
akun hanya di jejaring sosial Facebook
saja – lantas membuat mereka layak menyandang gelar “DIVA”? Apakah dia (she:
singular person, female) yang begitu populer, molek, seksi, stylish, dan telah sukses menjual album hingga berjuta-juta keping
akan serta-merta dilabeli sebagai “DIVA”? Lalu apa definisi “DIVA” menurut
anda?
Bagi kita – lazimnya penikmat awam – musik menjadi senandung
irama pengusir penat. Tapi bagi seorang manusia yang mengabdikan hidupnya total
sebagai pelakon seni (baca: artis bukan selebriti) seperti Édith Piaf, musik adalah nafas hidupnya.
Berani bertaruh – di atas konteks sebagai sesama orang Indonesia yang terlalu
sering mendengar musik pop mainstream – sebagian besar dari anda
tentu asing mendengar nama itu sama halnya saya sebelum menonton film
ini – padahal setengah abad jauh sebelum tren biduanita pop kulit putih ber-timbre kuat seperti Celine Dion muncul, Édith
Piaf telah lebih dulu menjadi pionir. Isenglah bertanya pada orang Perancis,
mereka tak akan segan mengakui Édith Piaf sebagai penyanyi kebanggaan
negara mereka. Tak percaya? Coba ketik dan klik nama tersebut pada search engine semisal Google, anda akan
menemukan banyak sumber referensi yang menyebutkan Édith Piaf sebagai salah
seorang artis Perancis terbesar sepanjang masa (Wikipedia: regarded as France’s greatest popular singer; a cultural symbol.).
Diambil dari judul salah satu simfoni chanson klasik Madame Piaf yang paling mashyur, La Vie en Rose (di negara asalnya
dirilis dengan judul La Môme) merupakan film berbahasa
Perancis berdurasi 140 menit arahan sutradara Olivier Dahan yang menuturkan
perjalanan hidup sang biduanita berdasarkan biografinya. Piaf yang terlahir
dengan nama Édith
Giovanna Gassion menjalani masa kecil sangat sulit dimana kedua orangtuanya
yang miskin berpisah. Édith kecil nyaris mati kelaparan ketika diurus sang ibu
yang seorang penyanyi jalanan. Kala berusia lima tahun, kemudian oleh sang
ayah, Louis Gassion, dia dititipkan pada ibunya yang menjalankan bisnis rumah
bordil. Selama dalam pengasuhan neneknya, dia disayangi dan dirawat oleh para
pelacur yang bekerja di situ – terutama oleh Titine (diperani Emanuelle Seigner
– istri sutradara Roman Polansky). Tak berapa lama kemudian, dia ditarik lagi oleh
ayahnya lalu menjalani hidup berpindah-pindah mengikuti pekerjaan sang ayah
yang seorang pemain sirkus. Kehidupan jalanan sesungguhnya yang luar biasa
kejam dan keras mulai dia rasakan begitu menginjak usia 10 tahun ketika ayahnya
memutuskan meninggalkan sirkus dan mulai bekerja sendiri. Bersama sahabatnya
Momone (Sylvie Testud), setiap hari sebelum bisa makan semangkuk sup dan
sepotong roti, dia harus mencari uang dulu dengan mengamen di pinggir jalan.
Pada usia 20 tahun, nasibnya mulai berubah ketika bertemu
dengan Louis Leplée (dengan santai dilakonkan oleh aktor veteran Perancis
berhidung belah, Gerard Depardieu) seorang manajer kafe bernama Gerny’s yang
amat terkesan pada suara indahnya. Dia kemudian diorbitkan menjadi bintang
pertunjukan namun sayang, Leplée tewas dalam sebuah insiden keributan
yang melibatkan orang-orang dari jaringan kriminal prostitusi bawah
tanah yang selama ini mencengkeram Édith. Hidup dan karir Édith sempat
terpuruk sesaat namun berkat uluran tangan dan gemblengan komposer Raymond Asso
dan pianis Marguerite Monnot, karirnya kembali bersinar bahkan semakin
cemerlang hingga namanya dikenal di seluruh penjuru Perancis. Berangkat
dari penyanyi kabaret di klub kecil kemudian beralih menjadi biduanita di arena
teater megah nan mewah, Édith semakin melebarkan sayap dan tetap bernyanyi di
tengah kecamuk Perang Dunia II – bahkan sampai ke Negeri Paman Sam. Menurut
catatan sejarah, meskipun selama pendudukan Jerman di Perancis karirnya tidak
dicekal, Piaf dikenal sebagai artis yang tetap loyal mendukung perjuangan
rakyat di negaranya melawan agresi Nazi. Salah satu tembang terkemukanya,
“L’Accordeoniste” merupakan gubahan seorang kopral kompatriot bernama Michel
Emer.
Ketenaran dan kekayaan mulai menghampiri. Namun, jangan
bersukacita dulu karena dalam film ini, kisah hidup Édith Piaf senantiasa
haru-biru adanya. Sepanjang hayatnya, ratu balada yang berperangai kasar
dan gusar tersebut bergulat dengan kebangkrutan finansial, fisik, mental, dan
emosional: luka dan trauma kehilangan buah hati juga kekasih tercinta,
narkotika, alkohol, cacat seumur hidup setelah tulang rusuknya patah akibat
kecelakaan fatal yang hampir merenggut nyawanya sampai kanker hati.
Selain film-film yang diangkat dari novel berbobot, sudah jadi rahasia umum kalau
Academy Awards menggandrungi genre biopik, salah satunya La Vie en Rose dari sekian banyak yang sukses mencuri perhatian;
yang belakangan muncul antara lain Ray!
(2004) (biopik penyanyi-pianis soul legendaris
Ray Charles), Capote (2005) (biopik
penulis buku dan naskah film sensasional Truman Capote), lalu Milk (2008) (biopik Harvey Milk,
politikus Amerika pertama yang secara terbuka mengakui dirinya homoseks). Berbicara
tentang La Vie en Rose, sebetulnya
tidak ada yang terlalu istimewa dari plot ceritanya – secara tipikal
menampilkan fase kesedihan-kegembiraan dan jatuh-bangun, kisah yang dibangun
cenderung hiper-melankolis sehingga cerita model begini amatlah lumrah dijumpai,
walhasil rentan berakhir menjadi sebuah drama banalitas – untungnya, tertolong
oleh penerapan alur maju-mundur yang apik dan atmosfer psikologis yang kontras
antar sekuens yang berlompatan – kedua elemen tersebut menjadi nilai plus utama
film ini. Inilah kelemahan utama film biopik. Karena dibangun dengan berkiblat
pada sebuah tuturan biografi, amatlah sulit bagi si sutradara untuk mengkreasi
adegan-adegan ‘menantang’ dan kalaupun ada sedikit perubahan demi kepentingan
dramatisasi, ‘manuver’ yang muncul harus tetap berpatokan pada pakem-pakem yang
‘sah’ alias tekstual. Hal ini disebabkan karena adanya konteks perbedaan yang jelas
antara fakta dan fiksi yang saya sebut sebagai “beban fakta”. Fiksi boleh saja
masuk akal tapi itu tidak terjadi, tapi fakta bisa saja aneh bahkan irasional
tapi itulah yang terjadi. Dalam novel yang notabene fiksi, si pengarang boleh
saja mereka-reka kisah senatural mungkin atau sebaliknya menambahkan adegan
sensasional yang mungkin jarang dijumpai (walau bisa saja terjadi) dalam
kehidupan nyata. Bagaimanapun sebuah biografi haruslah menyertakan data-data
yang faktual dan bisa dibuktikan karena adegan yang dikisahkan di dalamnya riil
alias benar-benar terjadi – tidak peduli apakah itu masuk akal atau tidak. Tapi
masalahnya jika di dalam sebuah biografi dituliskan seorang manusia setiap pagi
bangun lalu mandi lalu sarapan lalu pergi bekerja lalu pulang lalu makan lalu malamnya
kembali tidur dan siklus itu terus berulang setiap hari sampai dia mati –
dengan kata lain – tidak terdapat sesuatu yang ‘lebih’, lantas bagaimana bisa
kita membuat cerita seperti itu menarik? Namun biografi yang bagaikan sup
dengan bumbu dramatisasi terselip satu paket di dalamnya lalu dipermanis lagi dengan
efek-efek “penyedap tambahan” sebagai penguat citra ketika divisualisasikan ke
dalam layar perak, lalu, tidakkah fakta kemudian berubah jadi abu-abu? Menjadi
fakta semi fiksi atau fakta fiksional? Hati-hati. Kesan fakta bercampur fiksi
yang terliat begitu nyata inilah yang kerap menjebak orang-orang untuk
cenderung mempercayainya sebagai fakta sebagaimana adanya.
Sekalipun melibatkan massa serta detil properti dan seting
sehingga menimbulkan efek magnitude yang cukup wah, ibarat sebuah bahtera besar
yang dibangun dari kayu kategori rapuh, film ini relatif goyah, dengan
semata-mata mengandalkan adegan-adegan dramatis yang kental nuansa emosional
secara intens. Namun demikian, film ini kemudian sepenuhnya terangkat naik
berkat kepiawaian menakjubkan sang nahkoda – yaitu pelakon utama. One (wo)man show. Saya adalah orang awam
yang secara sederhana menikmati film sebagai tontonan, kalau boleh memuji,
penampilan Marion Cotillard dalam La Vie
en Rose merupakan salah satu akting oleh pemeran utama wanita paling
berkesan yang pernah saya lihat dalam satu dasawarsa terakhir. Analogi saya: Marion
Cotillard adalah Édith Piaf dan Édith Piaf adalah Marion Cotillard.
Anda pasti tau apa yang saya maksudkan: penjiwaan dengan tingkat kesulitan
tinggi. Tak ada kata lain yang bisa mewakili reaksi terperangah saya menyaksikan
totalitas performanya kecuali: LUAR
BIASA. Cotillard secara tak biasa melebur dalam sosok Édith
Piaf tak hanya secara psikologis namun juga fisik, mimik, dan vokal dengan
sangat sempurna. Sebagai Édith dua puluh tahunan, dia begitu canggung, penuh
semangat dan emosional; Édith tiga puluh tahunan, Cotillard tumbuh menjadi wanita anggun
yang dilanda cinta; Édith empat puluh tahunan, tubuhnya yang cacat, bungkuk,
dan menyusut berjalan tertatih-tatih dan kepayahan. Terlepas dari efek make-up, anda pasti pangling menyaksikan
penampilannya di sini bila membandingkannya dengan Mal yang repulsif dan
sensual dalam Inception (2010)
bersama Leonardo di Caprio atau sebagai Luisa Contini yang jelita mempesona
dalam drama musikal Nine (2009)
bersama serombongan aktor dan aktris kelas Oscar seperti Daniel Day-Lewis,
Nicole Kidman, Penelope Cruz, Judi Dench, dan Sophia Loren. Anda akan terkejut
melihat Cotillard dapat berubah bak bunglon – dari titisan dewi Venus yang
aduhai kemudian menjelma menjadi seorang penyanyi perempuan paling tidak
menarik secara seksual yang pernah anda lihat. Melalui film ini, anda akan
segera lupa bahwa seorang diva sejati adalah secantik dan seseksi Britney Spears
atau Beyoncé
yang glamor atau bergaya funky dan cool seperti Katy Perry atau yang
mengutamakan penampilan fisik ketimbang kualitas hingga rela berkali-kali naik
ke meja operasi demi secercah kecantikan hasil rombakan bedah plastik perihalnya
Krisdayanti. Cotillard membawa anda memasuki dunia Édith Piaf dan memahami bahwa
ternyata eksistensi abadi seorang penyanyi besar yang dihormati tidak
berkorelasi linier dengan kemolekan tubuh atau tingkat kepopuleran atau seberapa
trendi anda berpakaian atau kuantitas penjualan album gila-gilaan yang
senantiasa diagung-agungkan oleh kapitalisme industri musik komersil yang rakus.
Édith
Piaf menjadi DIVA karena menyanyi adalah pilihan hidupnya.
Reporter : Et si vous ne pouviez plus chanter? (If
you were unable to sing anymore?)
Édith Piaf :
Je ne vivrais pas. (Then I could no
longer live.)
Perempuan
berjuluk “the little sparrow” yang namanya menjadi referensi tajuk lagu “Edith
and the Kingpin” terakhir muncul di album pemenang Grammy milik pianis jazz veteran Herbie Hancock, River: The Joni Letters (2007) ini
membangun hidup dan kepercayaan dirinya dari panggung ke panggung untuk sebuah
manifestasi tujuan yang melebihi sekedar uang atau ketenaran. Sang diva
memaknai hidupnya yang penuh kesengsaraan dengan tepat dan indah. Ibarat kapal
yang karam tinggal menunggu waktu, Édith mengenang kembali seluruh
hidupnya dalam segenggam kenangan masa lalu yang getir dan meremukkan batin.
Dan apakah seorang Édith Piaf sebagai perempuan seutuhnya menyesali itu semua?
Dengan lantang dia menjawab, “Non je ne regrette rien.” (No, I regret nothing
at all.)
-
F. Fajaryanto Suhardi
Sebuah persembahan untuk Amy Winehouse (14 September 1983 – 23
Juli 2011)
“Votre voix est comme
l’âme
de mon cœur.
Je t’aime, Amy.”
(2 September 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar