Jumat, 13 Januari 2012

Faut Bien Jouer avec Quelque Chose = What’s Life without Risk?

Movie Review

La Vie en Rose (La Môme) (2007)

"Sang Diva: Panggung Kehidupan dan Eksistensi Seorang Feminis Sejati"




P
erempuan bagai sebutir apel. Merah. Ranum. Manis nan menggoda dengan lekuk sempurna. Ya. Wanita piawai menampilkan sisi sensualitasnya yang menggiurkan hingga mampu membuat mata siapa saja terpana. Sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh musisi pria manapun.

“Panggung musik kini dijajah perempuan.”

Barangkali ucapan Bryan Adams 15 tahun silam itu ada benarnya. Musik kini bukan hanya hegemoni kaum laki-laki saja. Setelah era Elvis Prestley, Stevie Wonder, Sting, Elton John, dan Michael Jackson, lihatlah siapa solois yang mampu bertahan menjual album paling banyak di tengah gempuran pembajakan oleh internet dan teknologi abad ini yang semakin canggih. Kecuali Eminem, hampir tak ada satupun nama laki-laki di sana. Mereka yang terus menggenjot popularitasnya dan mampu mencatatkan angka penjualan album fantastis puluhan bahkan hingga ratusan juta keping di antaranya setelah Madonna, Barbra Streisand, Mariah Carey, Celine Dion, Janet Jackson, Whitney Houston, kita akan mendengar nama-nama generasi baru yang telah mendunia digawangi pop princesses Britney Spears dan Lady Gaga juga barisan biduanita R&B kontemporer sebutlah Beyoncé dan Rihanna. Di negeri sendiri, kita sering mendengar nama-nama seperti Krisdayanti, Ruth Sahanaya, Titi DJ, Mulan Jameela, atau Agnes Monica dielu-elukan sebagai “DIVA”. Namun apakah dengan Britney Spears sukses menjual lebih dari 100 juta keping album di seluruh dunia hanya dalam tempo satu dekade, atau Mariah Carey yang bervokal akrobatik itu berhasil mencetak hits no.1 di tangga lagu Billboard lebih banyak dari penyanyi solo manapun, atau Beyoncé dielu-elukan sebagai ratu musik sejagat saat ini, atau si penyanyi-sirkus Lady Gaga berhasil memecahkan rekor dengan menghimpun penggemar hingga lebih dari 40 juta akun hanya di jejaring sosial Facebook saja – lantas membuat mereka layak menyandang gelar “DIVA”? Apakah dia (she: singular person, female) yang begitu populer, molek, seksi, stylish, dan telah sukses menjual album hingga berjuta-juta keping akan serta-merta dilabeli sebagai “DIVA”? Lalu apa definisi “DIVA” menurut anda?

Bagi kita – lazimnya penikmat awam – musik menjadi senandung irama pengusir penat. Tapi bagi seorang manusia yang mengabdikan hidupnya total sebagai pelakon seni (baca: artis bukan selebriti) seperti Édith Piaf, musik adalah nafas hidupnya. Berani bertaruh – di atas konteks sebagai sesama orang Indonesia yang terlalu sering mendengar musik pop mainstream – sebagian besar dari anda tentu asing mendengar nama itu sama halnya saya sebelum menonton film ini – padahal setengah abad jauh sebelum tren biduanita pop kulit putih ber-timbre kuat seperti Celine Dion muncul, Édith Piaf telah lebih dulu menjadi pionir. Isenglah bertanya pada orang Perancis, mereka tak akan segan mengakui Édith Piaf sebagai penyanyi kebanggaan negara mereka. Tak percaya? Coba ketik dan klik nama tersebut pada search engine semisal Google, anda akan menemukan banyak sumber referensi yang menyebutkan Édith Piaf sebagai salah seorang artis Perancis terbesar sepanjang masa (Wikipedia: regarded as France’s greatest popular singer; a cultural symbol.).
Diambil dari judul salah satu simfoni chanson klasik Madame Piaf yang paling mashyur, La Vie en Rose (di negara asalnya dirilis dengan judul La Môme) merupakan film berbahasa Perancis berdurasi 140 menit arahan sutradara Olivier Dahan yang menuturkan perjalanan hidup sang biduanita berdasarkan biografinya. Piaf yang terlahir dengan nama Édith Giovanna Gassion menjalani masa kecil sangat sulit dimana kedua orangtuanya yang miskin berpisah. Édith kecil nyaris mati kelaparan ketika diurus sang ibu yang seorang penyanyi jalanan. Kala berusia lima tahun, kemudian oleh sang ayah, Louis Gassion, dia dititipkan pada ibunya yang menjalankan bisnis rumah bordil. Selama dalam pengasuhan neneknya, dia disayangi dan dirawat oleh para pelacur yang bekerja di situ – terutama oleh Titine (diperani Emanuelle Seigner – istri sutradara Roman Polansky). Tak berapa lama kemudian, dia ditarik lagi oleh ayahnya lalu menjalani hidup berpindah-pindah mengikuti pekerjaan sang ayah yang seorang pemain sirkus. Kehidupan jalanan sesungguhnya yang luar biasa kejam dan keras mulai dia rasakan begitu menginjak usia 10 tahun ketika ayahnya memutuskan meninggalkan sirkus dan mulai bekerja sendiri. Bersama sahabatnya Momone (Sylvie Testud), setiap hari sebelum bisa makan semangkuk sup dan sepotong roti, dia harus mencari uang dulu dengan mengamen di pinggir jalan.

Pada usia 20 tahun, nasibnya mulai berubah ketika bertemu dengan Louis Leplée (dengan santai dilakonkan oleh aktor veteran Perancis berhidung belah, Gerard Depardieu) seorang manajer kafe bernama Gerny’s yang amat terkesan pada suara indahnya. Dia kemudian diorbitkan menjadi bintang pertunjukan namun sayang, Leplée tewas dalam sebuah insiden keributan yang melibatkan orang-orang dari jaringan kriminal prostitusi bawah tanah yang selama ini mencengkeram Édith. Hidup dan karir Édith sempat terpuruk sesaat namun berkat uluran tangan dan gemblengan komposer Raymond Asso dan pianis Marguerite Monnot, karirnya kembali bersinar bahkan semakin cemerlang hingga namanya dikenal di seluruh penjuru Perancis. Berangkat dari penyanyi kabaret di klub kecil kemudian beralih menjadi biduanita di arena teater megah nan mewah, Édith semakin melebarkan sayap dan tetap bernyanyi di tengah kecamuk Perang Dunia II – bahkan sampai ke Negeri Paman Sam. Menurut catatan sejarah, meskipun selama pendudukan Jerman di Perancis karirnya tidak dicekal, Piaf dikenal sebagai artis yang tetap loyal mendukung perjuangan rakyat di negaranya melawan agresi Nazi. Salah satu tembang terkemukanya, “L’Accordeoniste” merupakan gubahan seorang kopral kompatriot bernama Michel Emer.
Ketenaran dan kekayaan mulai menghampiri. Namun, jangan bersukacita dulu karena dalam film ini, kisah hidup Édith Piaf senantiasa haru-biru adanya. Sepanjang hayatnya, ratu balada yang berperangai kasar dan gusar tersebut bergulat dengan kebangkrutan finansial, fisik, mental, dan emosional: luka dan trauma kehilangan buah hati juga kekasih tercinta, narkotika, alkohol, cacat seumur hidup setelah tulang rusuknya patah akibat kecelakaan fatal yang hampir merenggut nyawanya sampai kanker hati.

Selain film-film yang diangkat dari novel  berbobot, sudah jadi rahasia umum kalau Academy Awards menggandrungi genre biopik, salah satunya La Vie en Rose dari sekian banyak yang sukses mencuri perhatian; yang belakangan muncul antara lain Ray! (2004) (biopik penyanyi-pianis soul legendaris Ray Charles), Capote (2005) (biopik penulis buku dan naskah film sensasional Truman Capote), lalu Milk (2008) (biopik Harvey Milk, politikus Amerika pertama yang secara terbuka mengakui dirinya homoseks). Berbicara tentang La Vie en Rose, sebetulnya tidak ada yang terlalu istimewa dari plot ceritanya – secara tipikal menampilkan fase kesedihan-kegembiraan dan jatuh-bangun, kisah yang dibangun cenderung hiper-melankolis sehingga cerita model begini amatlah lumrah dijumpai, walhasil rentan berakhir menjadi sebuah drama banalitas – untungnya, tertolong oleh penerapan alur maju-mundur yang apik dan atmosfer psikologis yang kontras antar sekuens yang berlompatan – kedua elemen tersebut menjadi nilai plus utama film ini. Inilah kelemahan utama film biopik. Karena dibangun dengan berkiblat pada sebuah tuturan biografi, amatlah sulit bagi si sutradara untuk mengkreasi adegan-adegan ‘menantang’ dan kalaupun ada sedikit perubahan demi kepentingan dramatisasi, ‘manuver’ yang muncul harus tetap berpatokan pada pakem-pakem yang ‘sah’ alias tekstual. Hal ini disebabkan karena adanya konteks perbedaan yang jelas antara fakta dan fiksi yang saya sebut sebagai “beban fakta”. Fiksi boleh saja masuk akal tapi itu tidak terjadi, tapi fakta bisa saja aneh bahkan irasional tapi itulah yang terjadi. Dalam novel yang notabene fiksi, si pengarang boleh saja mereka-reka kisah senatural mungkin atau sebaliknya menambahkan adegan sensasional yang mungkin jarang dijumpai (walau bisa saja terjadi) dalam kehidupan nyata. Bagaimanapun sebuah biografi haruslah menyertakan data-data yang faktual dan bisa dibuktikan karena adegan yang dikisahkan di dalamnya riil alias benar-benar terjadi – tidak peduli apakah itu masuk akal atau tidak. Tapi masalahnya jika di dalam sebuah biografi dituliskan seorang manusia setiap pagi bangun lalu mandi lalu sarapan lalu pergi bekerja lalu pulang lalu makan lalu malamnya kembali tidur dan siklus itu terus berulang setiap hari sampai dia mati – dengan kata lain – tidak terdapat sesuatu yang ‘lebih’, lantas bagaimana bisa kita membuat cerita seperti itu menarik? Namun biografi yang bagaikan sup dengan bumbu dramatisasi terselip satu paket di dalamnya lalu dipermanis lagi dengan efek-efek “penyedap tambahan” sebagai penguat citra ketika divisualisasikan ke dalam layar perak, lalu, tidakkah fakta kemudian berubah jadi abu-abu? Menjadi fakta semi fiksi atau fakta fiksional? Hati-hati. Kesan fakta bercampur fiksi yang terliat begitu nyata inilah yang kerap menjebak orang-orang untuk cenderung mempercayainya sebagai fakta sebagaimana adanya.

Sekalipun melibatkan massa serta detil properti dan seting sehingga menimbulkan efek magnitude yang cukup wah, ibarat sebuah bahtera besar yang dibangun dari kayu kategori rapuh, film ini relatif goyah, dengan semata-mata mengandalkan adegan-adegan dramatis yang kental nuansa emosional secara intens. Namun demikian, film ini kemudian sepenuhnya terangkat naik berkat kepiawaian menakjubkan sang nahkoda – yaitu pelakon utama. One (wo)man show. Saya adalah orang awam yang secara sederhana menikmati film sebagai tontonan, kalau boleh memuji, penampilan Marion Cotillard dalam La Vie en Rose merupakan salah satu akting oleh pemeran utama wanita paling berkesan yang pernah saya lihat dalam satu dasawarsa terakhir. Analogi saya: Marion Cotillard adalah Édith Piaf dan Édith Piaf adalah Marion Cotillard. Anda pasti tau apa yang saya maksudkan: penjiwaan dengan tingkat kesulitan tinggi. Tak ada kata lain yang bisa mewakili reaksi terperangah saya menyaksikan totalitas performanya kecuali: LUAR  BIASA. Cotillard secara tak biasa melebur dalam sosok Édith Piaf tak hanya secara psikologis namun juga fisik, mimik, dan vokal dengan sangat sempurna. Sebagai Édith dua puluh tahunan, dia begitu canggung, penuh semangat dan emosional; Édith tiga puluh tahunan, Cotillard tumbuh menjadi wanita anggun yang dilanda cinta; Édith empat puluh tahunan, tubuhnya yang cacat, bungkuk, dan menyusut berjalan tertatih-tatih dan kepayahan. Terlepas dari efek make-up, anda pasti pangling menyaksikan penampilannya di sini bila membandingkannya dengan Mal yang repulsif dan sensual dalam Inception (2010) bersama Leonardo di Caprio atau sebagai Luisa Contini yang jelita mempesona dalam drama musikal Nine (2009) bersama serombongan aktor dan aktris kelas Oscar seperti Daniel Day-Lewis, Nicole Kidman, Penelope Cruz, Judi Dench, dan Sophia Loren. Anda akan terkejut melihat Cotillard dapat berubah bak bunglon – dari titisan dewi Venus yang aduhai kemudian menjelma menjadi seorang penyanyi perempuan paling tidak menarik secara seksual yang pernah anda lihat. Melalui film ini, anda akan segera lupa bahwa seorang diva sejati adalah secantik dan seseksi Britney Spears atau Beyoncé yang glamor atau bergaya funky dan cool seperti Katy Perry atau yang mengutamakan penampilan fisik ketimbang kualitas hingga rela berkali-kali naik ke meja operasi demi secercah kecantikan hasil rombakan bedah plastik perihalnya Krisdayanti. Cotillard membawa anda memasuki dunia Édith Piaf dan memahami bahwa ternyata eksistensi abadi seorang penyanyi besar yang dihormati tidak berkorelasi linier dengan kemolekan tubuh atau tingkat kepopuleran atau seberapa trendi anda berpakaian atau kuantitas penjualan album gila-gilaan yang senantiasa diagung-agungkan oleh kapitalisme industri musik komersil yang rakus. Édith Piaf menjadi DIVA karena menyanyi adalah pilihan hidupnya.

Reporter              : Et si vous ne pouviez plus chanter? (If you were unable to sing anymore?)
Édith Piaf             : Je ne vivrais pas. (Then I could no longer live.)

Perempuan berjuluk “the little sparrow” yang namanya menjadi referensi tajuk lagu “Edith and the Kingpin” terakhir muncul di album pemenang Grammy milik pianis jazz veteran Herbie Hancock, River: The Joni Letters (2007) ini membangun hidup dan kepercayaan dirinya dari panggung ke panggung untuk sebuah manifestasi tujuan yang melebihi sekedar uang atau ketenaran. Sang diva memaknai hidupnya yang penuh kesengsaraan dengan tepat dan indah. Ibarat kapal yang karam tinggal menunggu waktu, Édith mengenang kembali seluruh hidupnya dalam segenggam kenangan masa lalu yang getir dan meremukkan batin. Dan apakah seorang Édith Piaf sebagai perempuan seutuhnya menyesali itu semua? Dengan lantang dia menjawab, “Non je ne regrette rien.” (No, I regret nothing at all.)


-          F. Fajaryanto Suhardi



Sebuah persembahan untuk Amy Winehouse (14 September 1983 – 23 Juli 2011)
“Votre voix est comme l’âme de mon cœur. Je t’aime, Amy.”

(2 September 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar