Jumat, 13 Januari 2012

Pahlawan (Tidak) Selalu Orang Baik

Movie Review


The Dark Knight (2008)



“Dekonstruksi Archetype Sosok Pahlawan: Tuntutan untuk Menjadi Bengis, Kejam, dan Tak Kenal Kompromi di Tengah Kemelut Politik, Pemerintahan yang Korup, Kejahatan Mafia yang Tak Terkendali, dan Kepercayaan Masyarakat yang Luntur terhadap Hukum”







S
aya tidak pernah membayangkan sebelumnya jika Christopher Nolan berhasil menciptakan film yang notabene diangkat dari komik anak-anak karangan Bob Kane menjadi tontonan dewasa penuh sensasi dan secara intens menegangkan. Dan o-la-la! – walhasil, The Dark Knight menjadi satu dari dua film superhero terbaik yang pernah saya tonton selama ini – satu lagi Watchmen (2009).


Bagi anda yang mengikuti cerita sang manusia kelelawar dari reboot Batman versi Nolan pada warsa 2005, seolah meretas jeda tiga tahun dari installment pertama --- satu tahun setelah Letnan Gordon menunjukkan kartu bergambar joker kepada Batman pada ending Batman Begins, film ini melanjutkan perjuangan milyuner Bruce Wayne memerangi kejahatan di sebuah kota megapolitan fiktif bernama Gotham City. Mengambil kepingan dari dunia nyata, Gotham City merupakan representasi kehidupan sosial-ekonomi-politik kota-kota besar dunia seperti New York, London, Paris – dan Jakarta – yang identik dengan hiruk pikuk dan kekisruhan seputar masalah keadilan, carut-marut politik, brutalisme mafia, transaksi obat bius, dan kejahatan yang merajalela dimana-mana. Masyarakat terabaikan dan pemerintah menutup mata tidak peduli sementara hukum dikebiri dan dibiarkan menggantung tak berdaya.


Dalam situasi penuh ketidakpastian ini, muncullah Bruce Wayne di balik topeng yang gelap dan misterius – identitas barunya sebagai Batman – pada momen ini bertindak bukan sebagai seorang pahlawan kesiangan yang sedang mencari ketenaran atau superhero bersenjata modern yang arogan dan haus pujian tapi anggota masyarakat yang pernah mengalami kekejaman dan ketidakberuntungan dimana ketika masih kecil kedua orangtuanya dibunuh oleh seorang miskin-papa yang hanya ingin segenggam receh dan secuil roti. Menyaksikan orang-orang yang harusnya peduli dan tegas menegakkan kebijakan publik yang melindungi masyarakat justru "loyo”, tak mampu berbuat banyak – malah “main aman” dengan membiarkan mafia berkeliaran di jalan sembari sibuk menjajakan citra diri sebagai elit politik yang pintar – beginilah kiranya Nolan menyampaikan kritiknya pada dunia melalui sosok Bruce Wayne: pria penyendiri yang terus dihantui trauma pahit itu lantas memutuskan menggunakan apa yang ia miliki untuk menumpas kejahatan – dengan caranya sendiri, dengan tangannya sendiri. Nolan pun membangkitkan kesadaran Wayne sepenuhnya akan konsekuensi bahwa di luar sana tidak ada yang bisa dia percayai dan orang-orang pun tidak mudah begitu saja percaya padanya.


Menurut perspektif film ini, Batman lebih diterima dalam sebagai vigilante, yaitu pelaku penumpasan kejahatan di luar dalam sistem penegakan hukum yang berwenang dan diakui secara legal yaitu kepolisian. Jika boleh diasumsikan dalam kehidupan riil – menurut telaah studi perilaku sosial sesuai hukum penyelenggaraan ketatanegaraan sekuler sebagaimana dipaparkan John Locke dan J.J. Rousseau[1] – kelompok atau orang-orang (mengingat status Batman adalah pelaku tunggal) semacam ini dapat dianggap sebagai pelaku non-kejahatan (pihak ke-4) namun mengganggu proses penegakan hukum karena melakukan tindakan keras terhadap pelaku kejahatan (pihak ke-2) berdasarkan evaluasi pribadi yang lemah, rentan subyektivitas, dan tidak berlandaskan peraturan perundangan yang sah. Mereka bisa disamakan dalam kategori sebagai penjahat pula. Meskipun akhirnya diketahui bukan seorang pemburu hadiah (renegade), motivasi Batman sesungguhnya melakukan tindakan radikal semacam ini masih menjadi tanda tanya besar publik dan terutama kepolisian. Sehingga tidak mengherankan jika kemudian dalam setiap menjalankan aksinya, meskipun kedua belah pihak merupakan benda cair – memiliki misi yang sama – oleh karena perbedaan prinsipil yang saling bertentangan, maka secara kongkret Batman dan pihak kepolisian ibarat air dan minyak.


Kadang saya suka ngakak sendiri membaca komik-komik superhero yang serba khayal, otomatis ajaib – tapi Batman berbeda dari Superman atau Spiderman. Batman bukan manusia super dengan kekuatan supranatural yang mematikan. Dia tidak bisa terbang atau mengeluarkan sinar laser dari matanya atau memunculkan jaring dari dalam pori-pori. Dengan cermat memperhitungkan kekuatan, kecepatan, dan ketepatan – dia hanya manusia biasa yang diperlengkapi alat-alat dan senjata dalam memerangi musuh – maka kemudian citra Batman cenderung lebih alami dan dapat berterima di mata orang awam.


“Why so serious?”


Kalimah sakti yang muncul saban kali Joker mulai mendemonstrasikan atraksi biadab dalam aksi badutnya. Sebetulnya itu semacam sindiran pedas penuh kemarahan. Wahai manusia, kenapa kita mesti begitu serius menghadapi problema hidup?


Tanpa membuang waktu bertele-tele menceritakan masa lalu Joker dan penyebab kegilaannya, Nolan mempersiapkan karakter Joker dengan sangat matang untuk tampil sebagai pemain kunci dalam permainan jahat ini. Joker menciptakan teror bukan dari eksploitasi kemahadayaan iblis dalam dirinya, tapi dia membaca ketakutan orang lain dan mewujudkannya. Joker tidak membabi-buta mengeluarkan senjata dan mulai menembaki di keramaian – hanya sekedar memperkenalkan “sedikit” anarki bak melempar bola api ke dalam kilangan minyak – tanpa diduga-duga, dia merangkai perangkap yang mengerikan bagai seorang jenius memainkan bidak catur. Dia akan membuat anda menyerahkan ratu demi keselamatan raja. Jika anda tidak ingin mati, maka akan ada orang lain yang mati untuk menggantikan anda.


Lupakan Bruce Wayne yang bergaya parlente dan charming ala James Bond sebelum era Daniel Craig. Tak perlu didebat, Christian Bale memang bukan aktor yang berwajah jelek tapi di sini anda akan lupa siapa Bale dan pesonanya sebagai bintang papan atas Hollywood. Meskipun memang terlihat resik, Bale membiarkan penampilannya natural sehingga tidak sepantasnya kita membandingkannya dengan Brad Pitt atau Tom Cruise. Sebagai Bruce Wayne baru dengan meniadakan imej lama yang dibawa Michael Keaton, Val Kilmer, dan George Clooney; Bale yang terbiasa berakting dalam film-film bagus dan bermutu non-box office tidak berusaha merebut simpati penonton dengan sikap manis atau kegenitan memainkan sex appeal terhadap lawan jenis. Di tangannya, Batman menjadi figur yang benar-benar berbeda dari Bruce Wayne. Kita akan menemukan karakter yang kompleks di sini. Karakter yang berperang dengan batinnya sendiri – diperhadapkan diskrepansi etik antara kebaikan dengan kebenaran. Untuk kamuflase di depan publik, Bruce Wayne tak ubahnya seperti kebanyakan konglomerat muda – mata keranjang, brengsek, dan apatis. Namun dalam balutan kostum Batman, dia berubah menjadi sosok yang kejam, bengis, dan tak kenal ampun memerangi kejahatan – namun demikian, tampaknya dialah satu-satunya orang yang sensitif dan satu-satunya harapan yang dimiliki oleh masyarakat kota itu di tengah keputusasaan akan keadilan.


Untung saja, Katie Holmes tidak lagi memerankan Rachel Dawes dan digantikan oleh aktris berwajah sayu, Maggie Gyllenhaal – kalau tidak, mungkin itu akan menjadi nila setitik dalam susu sebelanga. Gyllenhaal tidaklah cantik – saya heran jika ada yang bilang demikian – tapi dia jelas berkarakter (sudah pernah nonton Secretary (2002)?) sehingga sosok Rachel versinya jauh terliat lebih menarik ketimbang yang dibawakan Holmes dalam Batman Begins yang malah membuat saya selalu terbayang-bayang pada karakter Joey dalam Dawson’s Creek. Oke, siapa yang bisa menyangkal kalau Holmes memanglah ayu – tapi memerankan sosok perempuan intelek (dengan meyakinkan)? Sayangnya, sejauh ini nona Holmes tidak (belum) berhasil membuat audiens percaya. Jajaran cast pendukung lain juga patut dipuji. Tidak bergantung pada nama besar aktor/aktris tertentu. Sementara Morgan Freeman dan Michael Caine tetap terpelihara statusnya sebagai aktor legendaris, Nolan tidak takut memasang aktor yang biasa bermain di film kelas C seperti Eric Roberts dan Michael Jai White atau yang karirnya kala itu sedang redup-redupnya seperti Gary Oldman. Kredit tertinggi selayaknya diberikan kepada mendiang Heath Ledger. Dianugerahi Oscar sebagai Aktor Pendukung Terbaik (Best Supporting Actor), ia telah dengan begitu cemerlang menghidupkan karakter Joker sehingga di dalam ingatan kita, Joker versi Ledger menjadi salah satu karakter penjahat paling menakutkan yang pernah ada. Ini menandai selama tiga tahun berturut-turut (2007-2009) Oscar “Best Supporting Actor” disematkan pada tiga penjahat paling mematikan yang pernah muncul dalam film: Anton Chigurh (Bardem), Joker (Ledger), dan Hans Landa (Waltz). Ironisnya, tanpa pernah sekalipun menominasikan aktor yang berperan sebagai superhero, Academy Awards yang dikenal demikian “santun”, bermartabat, dan mengagungkan falsafah humanisme justru (diam-diam) malah “mengidolakan” karakter-karakter super villain – menurut anda, sinyal apakah ini?


Saya menyukai konsep realistis yang ditawarkan The Dark Knight. Sosok Batman seolah-olah terasa begitu nyata dan dekat (saya tidak sedang mencontek slogan salah satu provider seluler Tanah Air) dengan kawasan kumuh, saluran pembuangan air atau gang-gang kecil yang gelap dan berbau busuk di pinggiran kota tempat para gembel berteduh dan bermalam. Kehadiran superhero tidak digambarkan sebagai dewa penolong turun dari khayangan dengan kemilau keindahan yang mempesona. Batman tidak dibalut dalam kostum warna-warni atau yang terlalu memusingkan detail tapi justru malah merusak imej suram dan kelam yang sengaja ingin diciptakan. Jika anda dulu sempat menganggap Batman and Robin-nya Michael Bay dan Jerry Bruckheimer keren, maka setelah menonton The Dark Knight, saya yakin anda akan tertawa geli dan memuntahkan ludah yang sudah anda telan. Kostum glossy berbahan lateks lengkap dengan puting palsu, set megah dan sensasional yang menghabiskan dana jutaan dolar, naskah asal jadi dan dialog kacangan – ada lagi yang lebih buruk dari semua itu?


Pun ide Nolan menggunakan Chicago sebagai seting film ini jadi nilai plus tersendiri karena kota tersebut memiliki sense yang misterius dan muram. Tidak seperti New York yang bising dan ramai hingar-bingar atau Los Angeles yang kelewat glamor dan colorful – Chicago adalah kota Midwestern didominasi gedung-gedung tua warna abu-abu – kota tua yang kaya warisan budaya Amerika modern klasik abad 20 seperti musik jazz dan blues serta kisah-kisah detektif misteri dengan semaraknya pemandangan malam kota dan karakter-karakter bermantel gelap, bertopi fedora – sangat cocok dengan gambaran kota Gotham dalam versi komiknya.


Christopher Nolan yang keranjingan merekam film dengan kamera IMAX – membangun adegan emosional dan cinta dalam film ini bukan seperti kebanyakan film Hollywood yang penuh dramatisasi dan romantika hiperbolis tapi melalui pertanyaan-pertanyaan retoris yang getir: Mengapa kematian? Mengapa kehilangan? Mengapa pukulan emosi bertubi-tubi? Tanpa ba-bi-bu basa-basi, Nolan membawa sudut pandang laki-laki dalam menggambarkan kerumitan hubungan antara dua orang kekasih – laki-laki dan perempuan – ketika cinta itu terpenuhi tidak ada bahasa yang lebih indah dari cium mesra dan sisanya adalah kepala yang terangkat – sikap yang tegar dan tidak cengeng menghadapi kehidupan yang keras karena kenyataan yang kita hadapi seringkali teramat pahit dan tragis – terasa begitu sulit untuk dilalui tapi Nolan menepuk pundak kita agar bangkit dari keterpurukan, meluruskan kaki, dan melangkah lagi.


Namun dengan sanjungan tinggi-tinggi, apakah lantas film ini tak bercela? Saya punya argumen tersendiri. Menengok lebih dalam, niscaya kritik terbesar yang patut dilayangkan pada Nolan adalah ideologi EGOSENTRIS yang sengaja ditonjolkannya. Tak ubahnya film-film super materialis yang pol-polan pamer mekanika progresif dan kecanggihan mesin seperti Transformers dan sejenisnya – melulu menjual: SEN-SA-SI – menitikberatkan skema penuh eksplosif, teknik beladiri “tak terkalahkan”, aksi stunt yang sungguh (kelewat) spektakuler seperti melompat dari gedung pencakar langit atau jatuh dari ketinggian super ekstrem tanpa luka berarti, jujur saja, The Dark Knight tetap tak bisa menghilangkan kesan “gagah-gagahan” dan “besar kepala” di mata saya. Namun apa yang bisa anda harapkan dari sebuah film pop dengan gelontoran biaya produksi mencapai 180 juta dolar AS? Warner Bros tentu saja emoh rugi. Meskipun tiap akhir taun studio-studio besar rajin pula merilis film-film berbobot sebagai partisipator dalam perhelatan Oscar, namun tak dapat dipungkiri bahwa dana pembuatannya banyak “dipinjam” dari surplus laba atas pesatnya total pemasukan pada barometer box-office berkat film-film komersil semacam ini – bukan dari film-film nominator bahkan pemenang Oscar yang justru banyak bikin studio film nombok karena drama-drama “sederhana” yang mengangkat tema-tema berat dan susah dicerna, genre model begini umumnya minim sekali dilirik moviegoers. Mayoritas orang engga doyan jamu, lebih suka minum softdrinks. Tak perlu memaksakan selera karena memang demikianlah faktanya. Lagipula, film superhero mana lagi sih yang dapat menggabungkan skrip yang matang, suspense yang rapi, dan akting jahat yang ikonik dikemas sedemikian “cantik” hingga menjadi produk komersil yang berkualitas tinggi? Dalam hal ini, Nolan telah menunjukkan hasil kerja yang sangat baik – lalu, haruskah kita tetap ngotot menyalahkan Nolan?


Sekejap, mitos dan olok-olok bahwa film superhero tidak dewasa dan kekanakan diberangus oleh The Dark Knight yang nyatanya sukses menembus nominasi Oscar untuk “Film Terbaik” bersaing dengan Slumdog Millionaire Danny Boyle yang demikian kuat memancarkan pesona Asia lewat kecantikan orientalisme. Walau secara pribadi lebih menjagokan The Curious Case of Benjamin Button dari seluruh kandidat “Film Terbaik” Oscar taun tersebut, saya tidak keberatan jika The Dark Knight yang memenanginya – sebab rasanya kita tidak akan pernah menjumpai lagi film yang mampu me-“manusia”-kan jagoan kartun sebaik ini – meskipun akhirnya dipupuskan oleh Slumdog Millionaire yang berhasil menyabet gelar tersebut sebagai imbas dari gelombang euforia politik global saat itu pasca terpilihnya Barack Obama menjadi Presiden kulit hitam AS pertama dengan mengedepankan promosi: “Amerika lebih dekat dengan Dunia Ketiga”. Meski seperti yang kita telah ketahui bersama bagaimana Oscar tumbuh besar sebagai ajang penghargaan yang penuh pertimbangan dan tak jarang penuh kejutan – jadi, jangan patah arang bagi anda pecinta film komik, karena ini justru jadi modal kuat bagi sekuel terbaru garapan Nolan untuk menggenggam dan mengobarkan panji tema taunan selanjutnya. Mungkin taun ini jika kiranya AMPAS sudi untuk melirik eksistensi superhero – dan bila memang berkenan, mungkin The Dark Knight Rises yang sekaligus penutup trilogi manusia kelelawar ini akan memperoleh kehormatan itu (Film Terbaik). (Walau terdengar bagai mimpi di siang bolong tapi ini bukan mustahil,) Semoga.

Pesan terkuat dari sekuel ini adalah ketika anda berada di tengah kubangan lumpur, mustahil rasanya untuk menjaga tubuh anda tetap bersih tapi ada hal penting yang harus anda perhatikan agar anda tidak menjadi sama seperti babi. Bermain-main dengan kejahatan, anda tidak dapat bermain dengan lembut dan lunak, tapi anda harus sadar di titik mana anda memutuskan berdiri karena itu akan menjadi satu-satunya hakikat yang menentukan apakah anda berbeda atau tak ubahnya seorang kriminal.

-       F. Fajaryanto Suhardi

(26 Desember 2010)
(Revisi: 10 Juli 2012)


[1] Meskipun Rousseau dan Locke menyiratkan kepercayaannya bahwa manusia adalah mahluk “suci” dan “baik adanya” ketika dilahirkan sebelum terkontaminasi oleh substansi luar, tapi dia tetap menekankan bahwa ketika manusia beranjak dewasa lalu mulai menyadari dan menentukan tujuan-tujuan hidupnya, diperlukan instrumen-instrumen sah berkekuasaan yang berfungsi membatasi manusia dari tindakan sewenang-wenang yang dapat membahayakan keseimbangan kehidupan bermasyarakat, yaitu meliputi negara, hukum, dan aparatur-aparaturnya. 

Selamat Datang di Dunia “American Dream”: Membongkar Kebusukan di Balik Topeng “KELUARGA AMERIKA YANG IDEAL”


Movie Review
American Beauty (1999)

“INIKAH SISI ‘INDAH’ DARI POTRET KEBOBROKAN MORAL KELUARGA AMERIKA?”




Apa yang anda pikirkan ketika diminta membayangkan premis tentang keluarga Amerika yang ideal?

Sepasang suami-istri rupawan ala Tom Cruise dan Katie Holmes dianugerahi anak yang cantik dan menggemaskan seperti Suri Cruise. Tinggal di rumah idaman dengan fasilitas semewah istana raja dilengkapi kolam renang, jacuzzi, lift, taman tropis, lapangan tenis dan lapangan golf. Karir mapan dengan bayaran tinggi sehingga uang bukan lagi persoalan berarti – terlebih sekedar untuk memanjakan diri dengan bedah kosmetik dan botox agar terliat forever young dan memenuhi isi lemari dan koleksi sepatu buah hati yang mencapai nilai tiga juta dolar. Oh, apalagi? Keluarga panutan. Keluarga kristiani yang taat. Rumah tangga yang harmonis dimana para anggota keluarga satu sama lain saling mendukung. Tak ada percekcokan. Jauh dari ancaman perceraian (?). Yang ada hanyalah wajah-wajah ceria dengan senyum menawan seperti yang biasa kita temui di talkshow Oprah atau di sampul depan majalah People atau dalam iklan komersil di TV. Jika memang demikian persepsi anda, maaf, sayangnya kali ini ANDA SALAH BESAR.

Bagaimana kalau “wajah cantik” keluarga Amerika sebenarnya adalah sebuah ironi moral yang paradoksikal?

Dua puluh tahun menikah, Lester (Kevin Spacey) dan Carolyn Burnham (Annette Bening) adalah pasutri yang dihantui stres akibat fase midlife crisis (transisi paruh baya) berimbas pada suasana rumah tangga mereka yang lebih mirip “Perang Dingin” antara lain meliputi kejenuhan pernikahan, karir yang monoton dan tidak berkembang, persoalan ranjang, dan seorang putri dalam masa pubertas bernama Jane (Thora Birch) yang sinis dan acuh tak acuh. Dirundung bosan selama 14 tahun bekerja di perusahaan periklanan tanpa kenaikan karir, Lester malah memperburuk keadaan – berseteru dengan atasan barunya. Ujung-ujungnya, dia dipecat. Lain lagi Carolyn. Gagal menjadi agen real estate sukses, ia malah “terobsesi” dengan saingannya, Buddy “King” Kane (Peter Gallagher). Carolyn yang merasakan kegersangan dalam mahligai perkawinannya dan menganggap Lester seorang pecundang kemudian menemukan pelampiasan gairah dan nafsu pada Kane yang sekonyong-konyong mengajaknya bermitra bersama. Sementara itu, lewat “perkenalan” aneh dan tak biasa, Jane yang pemurung tiba-tiba berjumpa dengan Ricky Fitts (Wes Bentley), tetangga sebelah yang barusan pindah rumah. Ricky, pemuda freak berwajah serius itu diketahui mempunyai kebiasaan misterius yang cukup menakutkan: memata-matai kegiatan orang lain dengan handycam. Hal ini tentu membuat Jane gelisah dan merasa tidak aman. Setelah sekian lama merana akibat “ditelantarkan” oleh sang istri, kehadiran Angela (Mena Suvari), teman sekolah Jane – si pemandu sorak cantik berambut pirang dan bertubuh sintal nan menggoda – kontan menggugah jiwa laki-laki Lester “bangkit” kembali dari “mati suri”. Buruk baginya, perlahan Lester beralih menjadi pria menyedihkan yang hidup dalam fantasi-fantasi seks di bawah sihir aura kemudabeliaan Angela yang magis. Tradisi makan malam keluarga rupanya menjadi ajang pertarungan ego antara si suami dan si istri, tanpa sungkan-sungkan apatah malu lagi untuk saling melempar makian di hadapan sang anak – baik Lester maupun Carolyn, meski merasa muak satu sama lain namun dua-duanya tidak berani mengumbar kata “cerai” karena memikirkan ribetnya proses dan mahalnya ongkos perceraian di Amerika. Betul, sayang – dalam hal ini kita sedang berbicara soal uang.

Sering dengar selentingan berita yang mengabarkan tentang selebriti Hollywood yang bangkrut dan jatuh miskin? Jika ada gurauan pedas yang menyindir bahwasanya orang Amerika adalah bangsa yang manja, malas, suka berleha-leha, menyukai service dan segala yang berbau kemewahan, dan amat konsumtif – kiranya itu benar. Studi survei abad ini membuktikan bahwa 8 dari setiap 10 orang pekerja aktif di Amerika memiliki lebih dari satu kartu kedit. Tapi jangan pernah berpikir hidup di Amerika itu enak dan menyenangkan. Tak perlu kerja susah-susah, bisa sambil ongkang-ongkang kaki, duit datang. Anda keliru. Kehidupan dunia kapitalis Amerika ibarat rimba yang buas. Hukum seleksi alam berlaku di sana. Jika anda gagal, maka anda akan disingkirkan dan dibuang ke jalanan. Tak tahan tekanan manajer, Lester yang semula staf editor kemudian “turun pangkat” menjadi penjual burger. Faktanya, sangat banyak orang Amerika harus menjalani profesi ganda untuk menutup pengeluaran bulanan dan membayar tagihan hipotek dan tunggakan kartu kredit. Pada menit 12:52, adegan dimana Carolyn menangisi kegagalan karirnya – akan membantu anda untuk memahami kerasnya persaingan bisnis dan pekerjaan di Amerika. Dan sekali lagi, American Beauty mengajak kita menyaksikan betapa bagi masyarakat materialis Barat, dalam segala hal, uang “berbicara” paling powerful dari apapun. Walau kenyataannya pahit dan getir, dengan segala keramahan tata karma, American Beauty mengucapkan: selamat datang di dunia “Impian Amerika”.

Buka kembali kitab sejarah perfilman anda – masih ingat genre apa yang mendominasi film Hollywood akhir dekade ‘90an? Yup. Horor, komedi, dan kisah percintaan remaja. Pokoknya, all about teen. Sembari layar MTV kala itu diguncang joget-ria boyband pop seperti Backstreet Boys dan N Sync didampingi puteri-puteri bubblegum pop usia belasan taun, Britney Spears, Christina Aguilera, Jessica Simpson, dan Mandy Moore – di kolom serial remaja populer, setelah gemerlap Beverly Hills 90210 milik Aaron Spelling yang muncul awal ‘90an pudar, masih segar di ingatan bagaimana Dawson’s Creek yang secara reguler dibintangi kuartet James van der Beek, Katie Holmes, Michelle Williams, dan Joshua Jackson menjadi salah satu mata rantai simulasi kesuksesan serial remaja dekade 90an yang cukup digandrungi kalangan ABG dari seluruh dunia. Anda pasti belum lupa dengan film-film box office akhir 90an – selain dominasi tema-tema disaster seperti Armageddon (1998), Independence Day (1996), dan Titanic (1997) – melulu dibombardir film-film penebar pesona romantic comedy (romcom) khas remaja. Anda tentu masih ingat bagaimana Drew Barrymoore segera mengakhiri keterpurukan “tragedi bintang cilik” lewat Everafter: A Cinderella Story (1998) dan Never Been Kissed (1999), bukan? Atau sensasionalnya kemunculan Julia Stiles bersama (alm.) Heath Ledger dan Joseph Gordon-Levitt dalam 10 Things I Hate about You (1999) disusul She’s All That (1999) dan segudang lagi kisah romcom sejenis lainnya? Lalu komedi puber dengan sentilan-sentilan “jorok” seperti There’s Something about Mary (1998) dan American Pie (1999)? Di dunia horor dan thriller remaja – seakan meneruskan tongkat estafet seri petualangan horor mistis Louise Robey (yang sekilas mirip Julia Roberts itu) dalam Friday the 13th akhir ‘80an, kemudian pertengahan ‘90an muncul seri Buffy the Vampire Slayer yang menjadikan nama Sarah Michelle Gellar begitu lekat dengan tema-tema horor remaja. Kemudian muncul film-film remaja berbumbu misteri seperti Urban Legend (1998), The Faculty (1998), Disturbing Behavior (1998), Idle Hands (1999), The Wild Things (1998) plus trilogi Scream yang menghantarkan bintang seri Party of Five, Neve Campbell memperoleh julukan “The New Queen of Slasher Movie” menggantikan Jamie Lee Curtis yang dua dekade sebelumnya memperoleh predikat tersebut berkat horor waralaba serupa yang melegendaris hingga kini: Halloween. Tak mau ketinggalan, sesama rekan mainnya dalam Party of Five, Juminten Love Duit – ups! maksud saya, Jennifer Love Hewitt – juga ikut-ikutan menjajal archetype horor bunuh-bunuhan semacamnya dalam I Know What You Did Last Summer (1997) dan sekuelnya.

Lantas apa hubungannya? Well, saya tidak akan membahas film-film coming age di atas tapi American Beauty agaknya bisa dikatakan “memanfaatkan” booming momentum tersebut untuk mencuri perhatian kalangan penikmat film dari generasi yang lebih muda, yakni para remaja. Bagaimana tidak – bayangkan dengan memasang tiga bintang utama (Birch, Suvari, dan Bentley) yang adalah aktor-aktris remaja cute di eranya yang menjadi simbol “kemudaan, kebebasan, pemberontakan, dan aktualisasi jati diri” kemudian dikisahkan “berselisih” dengan aktor-aktris senior (Spacey, Bening, Cooper, Janney) pemeran orangtua mereka yang seolah mewakili citra “tua, kolot, jadul, dan konservatif” (bila ditengok dari kacamata remaja) – maka serta-merta pola ini seolah merujuk pada arch-story film-film ABG bertema serupa di masanya sebutlahThe Faculty dimana sekelompok murid bersatu melawan para guru atau Disturbing Behavior yang mengargumentasi tindakan disipliner pihak sekolah terhadap anak badung sebagai bentuk perampasan integritas individu oleh suatu otoritas berkekuasaan. Ini merupakan simbolisme pemberontakan jiwa remaja yang demikian kuat merefleksikan kenaifan generasi muda yang senantiasa ingin tumbuh dewasa tanpa kekangan, cambukan, dan intimidasi. Tapi The Faculty dan muluk-muluknya konspirasi alien? Disturbing Behavior yang memperumit ide antara sikap bertanggung jawab dengan eksesifnya paranoia program cuci otak tersembunyi? Tentu saja dalam aspek kematangan cerita dan perkembangan plot, level American Beauty tidaklah serendah dua film remaja tersebut.

Jangan lengah, begitu adegan film dibuka, anda tentu akan sungguh-sungguh “tertipu” mengira American Beauty semurahan flick film teen-thriller lazimnya – mengambil induk tema besar: juvenile delinquency alias kenakalan remaja. Perhatikanlah – saat disorot handycam, Thora Birch yang bermalas-malasan di atas tempat tidur berceloteh dengan lagak lancang dan sok cool khas ABG, menantang: “Ayahku benar-benar tidak bisa dijadikan contoh. Tua bangka yang tidak bisa menyembunyikan nafsu di balik celana pendeknya saat aku pulang membawa teman cewek dari sekolah. Sungguh memalukan. Aku ingin orangtua semenyedihkan itu dilenyapkan saja dari dunia ini. Bersediakah kau membunuhnya untukku?” Prolog sensasional tersebut jelas me-resemble formula “jahat” Leigh Ann (Katie Holmes) ketika menyajikan premis film Teaching Mrs. Tingle (1999): “Bu Tingle. Guru sialan itu telah menghancurkan impianku menjadi lulusan terbaik di sekolah. Kini saatnya penyihir wanita itu menerima balasan setimpal atas perbuatannya.” Atau Cruel Intentions (1999) dengan perangkap-perangkap busuk dari dua belia kakak-beradik tiri (Ryan Phillipe dan Sarah Michelle Gellar) yang sama-sama berhati serigala – saking sugih-gemugihnya gara-gara keturunan aristocrat dan saking engga ada kerjaan dan saking haus dengan permainan-permainan gila penuh tantangan sampai-sampai memelihara hobi se-“sakit”: “merusak para perawan yang menjadi simbol kebanggaan sekolah mereka”.

Belum lagi kehadiran Angela sebagai tipikalisasi ABG centil yang banyak oceh dan sok gaul “menambah kuat” kesan kalau ini benar-benar sebuah film remaja. Lalu partner in crime Jane, Ricky Fitts – walau tidak hebat tapi diperani cukup meyakinkan oleh Wes Bentley – menjadi cerminan remaja laki-laki pemberontak yang dingin dan apatis. Figurnya yang kalem dan tak banyak cingcong bagaimanapun tetap menjadi sosok dream prince yang sempurna bagi ABG perempuan pemuja musik grunge dan punk seperti Kurt Cobain dan Sid Vicious. Mengapa bisa? Ricky menjadi karakter impian remaja yang berpenampilan nerd, culun, dan pendiam tapi diam-diam perilakunya bagai api dalam sekam. Sungguh ironis – dengan jurus selihai tupai, ia kerap menggobloki orang yang lebih tua. Pada awal-awal film, kita tidak akan menyadari betapa Ricky “sukses” menipu orangtuanya, termasuk kita semua – di balik wajah manis dan senyum simpatik – ternyata adalah seorang pengedar narkoba mumpuni. Istilah anak jaman sekarang menyebut Ricky sebagai “cowok yang kickin’ ass.” Namun agaknya, bagi para ABG yang demikian tergila-gila dengan predikat “gaul” dan seloroh senyinyis “masalah buat elo?”, American Beauty akan menjadi tontonan yang bikin kepala mumet dan otak salto ria. Karena twist remaja terbukti hanya menjadi pemanis saja dalam film ini, karena sesudah opening scene yang “gegayaan” itu, cerita dari awal sampai penutupan film ternyata diporsikan dari sudut pandang Lester, si bapak. (A-ha! Anda tertipu.)

Berangkat dari sineas pertelevisian, drama-drama besutan Sam Mendes yang baru bercerai dari si cantik Kate Winslet dua tahun lalu dikenal menyerempet ke arah non-mainstream sehingga banyak memuat adegan yang terkesan berani bahkan cenderung seronok bagi sebagian penonton – salah satu buktinya American Beauty yang menjadi gebrakan debut layar lebarnya dan langsung memboyong Oscar 1999 untuk “Film Terbaik” dan “Sutradara Terbaik” untuk Mendes sendiri. Dalam konteks imajinasi - ketika Lester berfantasi tentang mandi kembang mawar merah darah menyimbolkan kebeliaan dan kesegarceriaan Angel si dara jelita yang masih bau kencur - dengan “meminjam” inspirasi sensualitas dan eksotisme dari magical-realism Gabriel Garcia-Marquez lewat sejumlah karyanya, yaitu kumpulan cerpen La Hojarasca (Leaf Storm) (1955) disusul novel solid One Hundred Year of Solitude (1967) yang mempopulerkan keberadaan desa fiktif bernama Macondo yang diliputi aura mistis, film ini disajikan dengan penuh penjiwaan oleh Mendes sebagaimana ia memanglah seorang sutradara yang dekat dengan tema-tema yang bermuara pada keluarga, seks, dan konflik pertentangan terhadap nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat – bisa anda tengok dari salah satu drama besutan terakhirnya yang mengadaptasi novel Richard Yates, Revolutionary Road (2008) mereunikan dua mega-bintang Titanic (1997) Leonardo DiCaprio dan mantan istrinya, Kate Winslet – seraya merangkul pula tema besar film-film romantis dan drama keluarga yang membanjiri sepanjang dekade 90an.

American Beauty merupakan kritik satir yang tajam dengan “legowo” mengumbar sisi gelap dan buruk dari keluarga Amerika yang dipenuhi intrik, kemunafikan, kepura-puraan, tipu-daya, dan perselingkuhan dirangkum dalam sebuah drama surealis-impulsif tapi tetap setia menaati pakem – saya lebih suka menyebutnya sebagai dark comedy – berdurasi dua jam penuh. Menyajikan isu perzinahan dan pedofilia (sadarkah anda bahwa nama Lester Burnham adalah anagram dari “Humbert learns” mengacu pada novel Lolita Vladimir Nabokov yang demikian kontroversial karena tema obsesi pedofilia yang panas?) – film ini akan membikin anda miris, tertawa sinis, bahkan tak jarang (dalam hati) mengutuki karakter-karakter bejat yang ditampilkan dengan penuh kepiawaian berkat jajaran cast yang tepat. Namun, setelah kesucian pernikahan dan esensi maknawiah keluarga sebagai lembaga paling inti dalam strata sosial dibombardir, diobrak-abrik, ditelanjangi, dan dipermalukan –  secara mengejutkan, film ini memunculkan suatu energi positif yang tak terbantahkan – yaitu sebuah pesan hangat yang menutup segala luka: CINTA. Awalnya penuh percekcokan dan goncangan hebat, namun American Beauty menjadi ruang meditasi yang hangat bagi jiwa anda untuk menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan terbesar dalam hidup anda – tentang siapa anda dan (terutama) bagaimana anda menjalankan peran sebagai orangtua.

Siapa bilang lelaki akan dibilang cengeng dan banci bila menonton drama? Tengoklah American Beauty. Beginilah cara Mendes menyajikan drama maskulin yang sensitif – berbeda dari drama-drama Scorsese yang lazimnya menjanjikan maskulinitas “garang”.  Dengan tiga tema besar:
Heteroseksual Eksklusif (Lester- Carolyn, Jane-Ricky, Buddy-Carolyn, Lester-Angela)
Heteroseksual Abu-abu (Lester-Ricky)
Heteroseksual Palsu (Kolonel Fitts-Nyonya Fitts)
Film ini menggali queer theory (istilah yang lazim dipakai dalam diskusi mengenai homoseksualitas dan seksualitas non-hetero lainnya) secara efektif mengungkapkan apa yang terjadi pada manusia yang sejatinya adalah gay-in-denial [1] perihalnya Kolonel Frank Fitts (Chris Cooper) yang malu mengungkap jati dirinya yang sebenarnya karena kebanggaan dirinya seorang purnawirawan tentara: lalu kawinlah dia dengan seorang perempuan, beranak, berlaku kaku, keras, dan otoriter, dan ikut-ikutan mengejek pasangan homo tetangganya mengimitasi lingkungan sosialnya yang homofobik.  Lalu apa hasil akhir dari semua sandiwara ini? Nyonya Fitts (Allison Janney) menjadi contoh istri – perempuan malang – yang terganggu mentalnya akibat menjadi korban potret “keluarga Amerika ideal” yang palsu. Sementara Kolonel Fitts sendiri di balik topeng kemunafikan yang terus dipeliharanya, dalam batin dia tersiksa ketika harus mengkhianati perasaannya sendiri demi menjaga citra agar tidak dicemooh dan dihina masyarakat bahwa sesungguhnya dia juga seorang gay – sama seperti kaum homo yang dia cemooh dan dia anggap menjijikkan selama ini.

Ricky mungkin sosok rebellious tapi dapat dikatakan dia adalah pelurusan dari karakter Kolonel Fitts, ayahnya, yang penuh kepura-puraan. Sebagai karakter maskulin yang menjembatani emosi penonton, Bentley membantu kita mengerti arti keindahan dari kesederhanaan – dari obyek-obyek yang ia tangkap melalui lensa handycam. Saya tidak pernah begitu bersimpatik pada Kevin Spacey: Se7en (1995)? The Usual Suspects (1995)? Superman Returns (2006)? 21 (2008)? Karakter-karakter antagonis yang berlagak sok cool? Meehh… (-_-)  – tapi lewat karakter Lester Burnham yang dia mainkan dengan luar biasa – dia benar-benar layak mendapatkan Oscar kali ini. Bertepatan dengan peringatan kemerdekaan AS, Spacey mengajak kita menyelami sebuah keindahan bernama “American Reality” yang tersembunyi di balik permukaan “American Dream” yang cantik hanya tampilan luarnya saja.  Memang, awalnya karakter Lester begitu menjengkelkan: korup, egois, maniak seks yang berusaha mengambil keuntungan dari kebingungan seorang gadis muda yang jiwanya tersesat – namun Spacey mengajarkan kepada kita bagaimana menekan tombol yang benar di saat kesempatan untuk berbuat jahat itu ada dan tiba-tiba semuanya berbalik arah hingga di akhir cerita, anda akan memutuskan Lester sebagai seorang pahlawan keluarga. Ayah yang hebat. Suami yang hebat. (Saya tau ini sudah terlambat tapi bagaimanapun) Selamat hari ayah.

-   F. Fajaryanto Suhardi

(31 Desember 2010)
(Revisi: 3 Juli 2012)

Catatan kaki:

[1] The American Psychology Association secara resmi menyatakan:
“Homosexuality is not a mental disorder and thus there is no need for a cure.”

FIKSI vs. FAKTA

Movie Review

Michael Clayton (2007)

"FIKSI REALISTIS: Sesosok Pengacara Bernama Michael Clayton (Fiktif) dan Legitimasi Hukum yang Abu-abu (Realistis)"

Bagi anda yang pernah belajar hukum yuridisial tingkat dasar (preliminary) atau setidaknya secara teori sedikit tau tentang hukum praktis, maka itu akan sangat membantu anda untuk dapat memahami film ini. Namun bila anda sama sekali tidak mengerti hukum barang secuil pun, jangan berkecil hati. Yang anda butuhkan hanya satu: curiosity (sebagaimana hasrat naluriah manusia yang selalu ingin tahu).

Film ini memang penuh tantangan. Jika anda pernah menonton seri Law and Order, ada gambaran serupa dengan format yang lebih kompleks dan tentu saja lebih “membumi”. Apa yang membuat film ini menarik? Pastinya, jalan cerita yang tidak mudah ditebak. Jujur, sepanjang film diputar, sekuens-sekuens yang muncul cenderung menguras otak untuk berpikir. Diramu dalam dialog yang rumit dan (sangat) sulit dicerna sempat membuat saya pusing dan mual-mual (untung tidak sampai muntah). Harapan saya, semoga anda tidak sampai demikian saat nanti memutuskan untuk menontonnya.

Lalu apa dan bagaimana sebenarnya plot ceritanya? Sederhananya, Michael Clayton mengisahkan tentang si baik dan si jahat yang bersembunyi di bawah satu atap perlindungan bernama “firma hukum”. Kenner, Bach & Ledeen adalah kantor asosiasi pengacara yang selama enam tahun telah bergulat berusaha menangani sebuah kasus yang ibarat kertas yang telah hangus terbakar. Kliennya, sebuah korporasi besar mengalami ancaman tuntutan publik atas malpraktek mega-proyek bertajuk “U/North” (abreviasi dari “United North”) yang mengembangbiakkan agrobisnis melalui proses pembudidayaan tanaman pangan secara sintesa kimiawi. Kesamaan dengan Erin Brockovich­-nya Julia Roberts, proyek ini pada akhirnya menjadi bencana yang menyebabkan ratusan orang mati akibat kanker setelah mengkonsumsi produk tersebut.

Arthur Edens (Tom Wilkinson) sebelumnya adalah seorang prosekutor senior dari Kenner, Bach & Ledeen yang tadinya dibayar untuk membela U/North dengan imbalan 50 juta dolar untuk membuktikan bahwa produk itu tidak berbahaya di tengah ancaman tuntutan dari para konsumen. Enam tahun ia berkecimpung dalam kasus ini yang selanjutnya terjadi adalah ketakutan dan perasaan bersalah hingga akhirnya dia memutuskan berhenti dari karirnya dan mulai hidup menyendiri akibat depresi berat setelah bukti-bukti yang ada justru semakin menunjukkan indikasi kuat bahwa produk itu mengandung molekul racun karsinogenik. Dengan semakin bertambah anehnya perilaku Edens, hal ini menimbulkan kecemasan bagi Marty Bach (Sidney Pollack) salah seorang pendiri firma yang kemudian mengutus Michael Clayton (George Clooney) untuk memantau keadaan dan memastikan Edens tidak sembarangan buka mulut ke media.

Masalahnya Clayton sendiri bukan tipe pengacara yang mumpuni. Pasca bercerai, kehidupan pribadinya amburadul. Bisnis restorannya bangkrut ditambah kegemarannya berjudi di kawasan pecinan, Clayton selama 17 tahun berkarir hanya menjadi “kacung” yang kerjanya menyerahkan jaminan untuk klien atau mewakili firma melakukan kesepakatan. Tapi Clayton benar-benar pria yang beruntung. Keadaan berubah 180 derajat ketika dia mencium ketidakberesan di balik misteri kematian Edens. Dengan cukup “bukti” di tangan, perlahan tapi pasti Clayton menuntaskan masalah ini.

Yang membuat Michael Clayton unggul sebagai film yang kental nuansa hukum dengan penggarapan yang apik adalah kemampuan sang sutradara Tony Gilroy menciptakan dan kemudian mengurai kasus dari angle yang tidak klise. Michael Clayton memang tidak lebih dari sekedar fiksi, tapi kita dibuat yakin bahwa sepanjang memantau film tersebut persepsi yang timbul di otak kita adalah realita. Adegan yang dibangun, dialog yang tercipta, semuanya terasa hidup dan tidak ganjil. Ini yang saya sebut sebagai “fiksi realistis”. Kebalikan dari kebanyakan perkara delik yang muncul di Tanah Air dan telah jutaan kali menghiasi layar kaca dan artikel surat kabar – entah itu skandal korupsi, suap, dan segala bentuk kroni-kroninya – opini publik yang terbentuk cenderung bersifat “realita fiktif”. Misalnya, ketika surat pemanggilan Pejabat A yang diduga kuat terlibat kasus korupsi dana pendidikan senilai Rp 14 miliar dikeluarkan untuk keperluan hearing dan BAP, kita kerap menjumpai situasi dimana si pejabat dikabarkan berhalangan hadir untuk diinterogasi dikarenakan sakit dan sedang menjalani perawatan di Rumah Sakit X. Juru bicaranya akan serta-merta menunjukkan bukti surat berobat sang klien. Bahwa si pejabat tidak mengikuti pemeriksaan tentu adalah fakta, tapi apakah benar si pejabat sakit atau tidak itu sebuah premis yang mungkin saja fiktif sehingga perlu pembuktian yang jelas dan bukan sekedar selembar surat keterangan dokter yang bisa saja dipesan.

Teringat pada hikmah yang terpetik dari teori Apology yang diajarkan oleh sesepuh SPM (Sejarah Pemikiran Modern) dari perguruan tinggi tempat saya menimba ilmu, Ms. Elza, yaitu ketika Socrates dipaksa meminum racun oleh Miletus dan kaumnya atas tuduhan bahwa Socrates menghasut murid-muridnya untuk menjadi ateis, kita perlu mempertahankan sisi obyektivitas kita.  Terlepas dari hujatan dan sentimen negatif yang cenderung berkembang anarkis belakangan ini, kita memang perlu bukti hitam di atas putih untuk menyeret para ‘oknum’ (istilah yang diwariskan oleh pemerintahan Orde Baru) ini yang lazimnya tak gentar lantas mempersenjatai diri dengan sekompi pasukan berani mati alias tim pengacara dengan nama besar dan tentu saja fee yang tidak murah.

Truth is never a static value but it’s absolute. Dengan perkembangan demokrasi di negara kita, saya berharap dengan mengikuti fakta persidangan yang ada bahkan ketika verdict dijatuhkan dan palu hakim diketukkan, berbekal analisis yang jeli, asah dan pertahankan integritas pikiran anda. Jadilah generasi yang cerdas.

Tribute to Sidney Pollack (July 1, 1934 – May 26, 2008)


-          F. Fajaryanto Suhardi


(12 February 2011)

Mari Tertawa Sebelum Mati...


Movie Review
Inglourious Basterds (2009)

“Humor Hitam Penuh Kekerasan Berdarah-darah tentang Swastika Nazi dan Pembalasan Yahudi ala Tarantino”



J
ika The Pianist-nya Polanski menonjolkan sisi lembek orang Yahudi yang pasrah menghadapi pembantaian Nazi, maka Inglourious Basterds yang digarap oleh sutradara kreatif-idealis yang konon ber-IQ 160, Quentin Tarantino, adalah ide kontranya.

Alkisah, “The Basterds” adalah sekelompok kecil tentara resistance Yahudi-Amerika swakelola di bawah komando rahasia NATO bernama “Operasi Kino”. Dipimpin oleh seorang letnan slengéan beraksen Tennessee medhog, Aldo “Apache” Raine (Brad Pitt), dengan teknik penyergapan yang mendadak dan mencengangkan, secara bergerilya mereka melakukan penyerangan cepat dan efektif terhadap konvoi-konvoi kavaleri Nazi di daerah pinggiran Perancis.

Uniknya, sebagai bentuk pembalasan terhadap kekejaman Third Reich, Aldo mewajibkan setiap anak buahnya menyerahkan “upeti” berupa masing-masing 100 kulit kepala tentara Nazi. Aldo yang juga pecandu heroin punya partner-partner yang dikenal berbahaya di kalangan Nazi, seperti Donny Donowitz (Eli Roth) berjulukan “The Bear Jew” si sersan bertubuh tegap dan kekar yang gemar memukuli kepala tentara Nazi dengan tongkat bisbol hingga pecah dan otaknya berceceran, seorang pembelot Nazi yang sukses membantai 13 petinggi Gestapo dalam semalam, Hugo Stiglitz (Til Schweiger) yang berwajah dingin dan tak pernah tersenyum, dan asisten setianya Utivich (BJ Novak) yang bermuka sepolos bocah namun dapat membunuh dan menguliti kepala orang tanpa raut ekspresi takut atau kikuk.

Di luar “The Basterds”, Aldo juga punya mata-mata yang ternyata adalah seorang bintang film Jerman cantik lagi terkenal, Bridget von Hammersmark (Diane Kruger) dan “paket bala bantuan” dari sekutunya, Inggris: seorang utusan bernama Letnan Archie Hicox (Michael Fassbender) yang pintar tapi tak cukup cerdas dan fasih berbahasa Jerman tanpa bisa menghilangkan logat British-nya.

Plot cerita berpusat pada isu seputar pemutaran film semi-dokumenter propaganda Nazi berjudul “Nation’s Pride” dibintangi oleh salah seorang prajurit yang tengah naik daun setelah dikabarkan berhasil membunuh lebih dari 300 tentara sekutu, Frederick Zollër (Daniel Brůhl). Bermaksud membuat gadis muda kalem berparas ayu pemilik sebuah teater bioskop di Paris, Emanuelle Mimieux (Melanie Laurent) terkesan, Zollër yang dilanda kasmaran berat lalu “merayu” Dr. Joseph Goebbels (Sylvester Groth) Menteri Perfilman dan Propaganda Nazi untuk melakukan pemutaran perdana di gedung bioskop kecil milik Emanuelle. Dikatakan pula bahwa premiere film ini akan dihadiri petinggi-petinggi penting Nazi bahkan buronan nomor satu di muka bumi berkumis hitam selebar kuku jari Hitler juga dirumorkan akan datang. Rencana ini tentu mengejutkan sekaligus momen akbar yang paling ditunggu-tunggu oleh Emanuelle – nama palsu dari Shossana Dreyfus – seorang pelarian Yahudi yang berhasil lolos dari horor holocaust. Diam-diam bersama “asisten”-nya Marcel (Jacky Ido), Shossana dengan rapi dan teliti, merencanakan balas dendam atas kematian seluruh anggota keluarganya yang tewas dibantai oleh “The Jew Hunter”, Kolonel Hans Landa (Christoph Waltz). Di lain pihak, kesempatan emas ini tak ingin disia-siakan oleh Aldo, Archie, dan Bridget. Di sebuah kedai tuak penuh tentara Nazi, mereka kemudian menyamar dan bertemu guna mengatur siasat untuk menyabotase acara gala-premiere itu. Celakanya, gara-gara bahasa Jerman beraksen Inggris dan salah memberi kode ketika memesan minuman, kedok mereka terbongkar.

Jika anda familiar dengan karya-karya fenomenal Tarantino seperti Reservoir Dogs (1992), Pulp Fiction (1994), Jackie Brown (1997), atau dwilogi Kill Bill (2003 & 2004), maka anda akan langsung ‘klik’ begitu menonton kisah yang satu ini. Layaknya film-film Tarantino yang identik dengan aroma kekerasan, kerap kali, adegan-adegan bombardir senjata dan darah yang terpercik dimana-mana dipertontonkan dengan vulgar dan hiperbolis. Adegan Donny memberondong wajah Hitler dan para penonton bioskop dengan senjata M16 segera mengingatkan kita pada adegan ketika pengantin Kiddo yang tengah hamil besar bersama calon mempelai pria, pendeta dan istrinya, dan para kerabat sedang berlatih untuk upacara pernikahan di sebuah kapel kecil tiba-tiba dibantai oleh “Deadly Viper Assassins Squad” dalam laga Kill Bill vol. 2 (2004). Terobsesi keinginan menciptakan satu adegan kekerasan dengan cara yang unik, Tarantino kemudian merangkai skenario dimana karakter Aldo bersedia melepaskan tawanan hidup-hidup dengan mengukir jidat mereka dengan pisau belati membentuk simbol serupa swastika. Ibarat pepatah: guru kencing berdiri, murid kencing berlari – eksplorasi gaya berdarah-darah Tarantino kemudian menular pada sang “anak didik”, Eli Roth yang memulai debut penyutradaan film layar lebarnya pada tahun 2005 dalam sebuah film kental gore, mutilasi, dan sadisme tingkat ekstrem, Hostel.

Dengan dialog pintar namun santai dan humor pedas yang berujung pada ketegangan intens, Tarantino tetap setia memakai gaya penyutradaraan yang komikal dan main tabrak budaya. Dia rajin memasang credit title pada opening maupun ending film dengan latar hitam/gelap dan tulisan besar-besar dengan warna cerah dan mentereng. Jika anda perhatikan lebih detil, hitam, merah, dan kuning adalah warna-warna kesukaan Tarantino karena selalu muncul dalam film-film garapannya, seolah mewakili kepribadiannya yang penuh gairah, meledak-ledak, sekaligus gelap, misterius, dan absurd. Juga kegandrungannya membagi sekuens dalam chapter-chapter tematik yang terpisah namun masih saling berkaitan. Selain itu, music scoring pilihan Tarantino juga tak luput dari perhatian. Lagu-lagu pop/rock kategori non-mainstream yang jarang kita kenal tapi begitu dikumandangkan terdengar familiar selalu hadir dalam scene yang tepat sehingga menciptakan simbiosis ikatan emosi yang kuat antara penonton dan filmnya. Lebih-lebih, dia sering melakukan perkawinan silang lintas-kultur dan lintas-genre. Misalnya adegan ketika Shossana berdandan menjelang premiere, penonton disuguhi musik rock cadas Amerika era 80an kontras dengan film itu sendiri yang bersetingkan Paris tahun 40an. Ini merupakan formula yang sangat tidak lazim dan jarang digunakan oleh sutradara lain yang lumrahnya cenderung memilih komposisi chanson klasik yang dipercaya mampu menghadirkan romantika emosional kota Paris. Asimilasi budaya pop Amerika + tongue-in-cheek rasisme + brutalisme gangster yang identik dengan dar-der-dor, drugs, dan junk lifestyle + estetika kungfu Cina + filosofi samurai Jepang + sentuhan kultur cantik Amerika Latin menjadi kiblat Tarantino selama ini. Pola tabrak budaya semacam ini terlihat jelas salah satunya dalam Kill Bill yang menampilkan pertarungan samurai antara si pirang bermata biru Uma Thurman (simbolis dunia Oksidental) berkostum balap kuning ngejreng yang pernah dipopulerkan Bruce Lee dan ikon geisha bermata sipit dan tajam Lucy Liu (simbolis dunia Oriental) dalam balutan anggun kimono diiringi genjrengan gitar Latin (simbolis Dunia Baru) yang ritmis nan eksotis.
Yang membuat Inglourious Basterds keren di mata saya karena faktor penggunaan multi-bahasa yang mampu menjembatani pemahaman penonton untuk mengerti (sedikit) tentang budaya masing-masing negara yang bahasanya muncul di film ini. Setidaknya ada tiga bahasa aktif bahkan empat yang turut diucapkan di dalamnya; Inggris, Jerman, Perancis, dan Italia. Dan sang aktor Austria, Christoph Waltz, yang terlahir dengan lidah seorang master linguistik alami bercas-cis-cus keempat bahasa tersebut (damn!) dengan sangat mengesankan dan mampu bertransisi dari satu bahasa ke bahasa lain tanpa kesulitan sama sekali bahkan dapat dengan luwesnya melebur ke dalam gaya masing-masing bahasa tersebut. Ketika berbahasa Inggris, dia seperti bangsawan Inggris. Saat ngomong Perancis, dia terlihat intuitif layaknya orang Perancis. Dalam tuturan Italia, secara natural dia turut memainkan tangan untuk menyalurkan emosi dalam berbicara. Berbicara dalam bahasa Jerman, dia adalah perwira SS yang senyumannya luar biasa mengintimidasi. Wajar saja, jika penampilannya dalam film ini kemudian diganjar Academy Award sebagai “Best Supporting Actor”. Ngomong-ngomong, Hans Landa menjadi karakter Nazi kedua setelah Hanna Schmidtz dalam The Reader (diperankan oleh Kate Winslet) yang meraih Oscar.

Untuk sebuah keuntungan ganda yang langka anda dapati: kualitas (profesionalisme) dan kenyamanan (pertemanan) – rupanya telah menciptakan kedekatan personal antara sang sutradara dengan mayoritas aktor yang pernah bekerjasama dengannya, salah satunya aktor kulit hitam terkemuka Samuel L. Jackson. Tarantino – sama seperti Woody Allen – tau bagaimana memaksimalkan potensi para aktornya lewat karakter-karakter yang meyakinkan. Jika Diane Keaton, Dianne Wiest, Mira Sorvino, dan Penelopé Cruz tampaknya “berhutang budi” pada Allen atas piala Oscar yang mereka peroleh, maka tangan dingin Tarantino telah berhasil mengabadikan Bruce Willis, John Travolta, Uma Thurman, Michael Parks, dan Samuel L. Jackson sebagai wajah-wajah tak terlupakan berkat peran-peran ikonik rekaannya. Pulp Fiction berhasil menunjukkan pada kita sisi macho Willis yang tidak tacky. Ketampanan dan “kegaringan” Travolta dalam Saturday Night Fever (1977) dan Grease (1978) juga terulang kembali di situ, tapi tentu saja karakternya lebih smooth dan “mantap” karena kedunguannya. Parks sang aktor kawakan pun sukses membikin kita terkejut (baca: terkesima) dengan dua peran super kontras dalam Kill Bill: si tua bangka Earl McGraw sheriff Texas bermulut cabul dan Esteban Vihaio mucikari Meksiko berwajah mesum. Thurman selain sebagai Mia Wallace atau Beatrix Kiddo? Duh! Jackson pun setali tiga uang sialnya dengan Thurman yang tampil tak berkesan bahkan buruk di luar film-film Tarantino. Setelah sebelumnya turut membintangi Pulp Fiction dan Jackie Brown, Jackson kemudian cuma kepengen icip-icip peran cameo sebagai pianis gereja yang wajahnya tersamarkan oleh siluet topi dan asap rokok dalam Kill Bill seperti halnya kemunculan tak terduga komedian Mike Myers dalam film ini yang memainkan cameo sebagai atase militer Inggris, Jenderal Ed Fenech. Lalu dalam Inglourious Basterds, meski wajah Jackson tak muncul, kita tetap dapat mendengar suara bas khasnya sebagai narator cerita.

Akhir kata – kenapa Tarantino? He’s the devil on the game. Tanpa tedeng aling-aling, senantiasa memberikan kejutan mencengangkan dalam setiap film garapannya kalamana muncul di saat-saat tak terduga yang lantas bikin kita terbengong-bengong sekaligus terkagum-kagum sekaligus terkekeh-kekeh oleh keekstreman, keanehan, dan kejeniusan seorang Tarantino yang norak, hiperbolis, kasar, sadis, tapi lucu dan masuk akal. Anda akan langsung menyadari trademark yang menjadi “nyawa” Tarantino tersebut begitu adegan film dibuka. Masih ingat bagaimana mengagetkannya (Kill Bill vol. 1): Vivica A. Fox tiba-tiba “disambut” bogem mentah dari Uma Thurman begitu membuka pintu rumah? Atau sensasionalnya (Pulp Fiction): Tim Roth dan Amanda Plummer berceloteh, berciuman mesra singkat, lalu dengan beringas bangkit sambil bersumpah-serapah menodongkan pistol ke arah para pengunjung restoran?

----- 0.o ------

Saya mengenal sejumlah rekan yang mengaku muak dengan “kebengalan” Tarantino dan aksi brutalnya yang kelihatan dieksploitasi berlebih-lebihan dalam film. Kritikus film profesional pun tak jarang yang berkomentar “miring”. Tapi hitam di atas putih, Pulp Fiction nyatanya menjadi satu dari (hanya) segelintir film berating tertinggi di situs IMDb dengan perolehan skor ≥ 9 dan sejauh ini tak satupun film besutannya yang meraih poin di bawah 7. Berbekal “bakat super” dalam mengolah konsep konkret (teknik, naskah, dialog) dan konsep abstrak (plot, visualisasi, suspensi) menjadi menu santapan yang amat cerdas dan berani, setujukah anda bahwa sepertinya elemen shock-therapy ala Tarantino dalam film-film mendatang berikutnya sangat patut dinantikan, betul?

Oia, saya punya pesan khusus untuk anda yang belum menonton film ini. Meski menjual sejumlah nama historical figures nyata, jangan percaya dengan “fakta” yang disajikan film ini karena semuanya fiktif belaka. Wajar saja kalau anda mungkin akan protes. Tapi, simpan dulu semua (fakta yang ada) itu ke dalam buku, masukkan laci dan lupakan selama setidaknya 2 ½ jam, karena (film) ini merupakan tontonan full-action yang spontan dan fun, sangat oke untuk menyegarkan otak sejenak karena tampaknya Tarantino yang liberalis membuat film ini untuk tujuan hiburan semata tanpa ingin memperumit spekulasi penanaman ideologi tertentu di kepala anda. Enjoy.

-          F. Fajaryanto Suhardi

(5 Maret 2011)                                                                                         

Wajah Gerakan Feminisme Modern: Perempuan Melawan Manipulasi

Movie Review

CHANGELING (2008)

“Integritas (Anda) versus Birokrasi (Dunia)”


Kapan terakhir kali kita melihat secercah asa yang nyaris padam oleh gelapnya kesewenang-wenangan dan tiupan angin manipulasi yang begitu dahsyat namun pada akhirnya keteguhan hatilah yang tetap bertahan dan memperoleh kemenangan gemilang?

Jangan sinis dulu. Mungkin terdengar agak naif tapi ini bukan cerita Cinderella yang cengeng. Bukan pula tema mutlak mengenai teologi (surga versus neraka) yang melelahkan. Tapi setidaknya anda perlu tau bahwa seorang filsuf eksistensialis-(anti)humanis seradikal Nietzsche pun mengamini bahwa jika anda percaya pada kekuatan yang ada di dalam diri anda, anda dapat mengalahkan dunia.

Kasus Prita Mulyasari beberapa waktu silam adalah contoh yang sangat baik dan merupakan petunjuk kuat tentang kisah serupa yang menjadi tema drama thriller ini.

Diangkat dari kisah nyata seorang ibu tunggal Christine Collins yang melaporkan anaknya Walter hilang suatu hari sepulang dari bekerja, film ini mengambil seting di Los Angeles tahun 1928 menjelang Masa Depresi Besar yang menghantam ekonomi Amerika dengan amat parah. Berbulan-bulan tak kunjung menerima respon yang memuaskan dari kepolisian serta-merta pihak gereja setempat yang mencermati masalah ini secara frontal mulai menyindir dan mengkritik kinerja kepolisian yang dinilai lamban dan tidak efektif. Sampai suatu ketika Christine yang tak pernah berhenti berharap kembalinya sang anak tiba-tiba menerima telepon yang mengabarkan bahwa putranya telah diketemukan. Sebagaimana seorang ibu yang memendam kerinduan yang sangat besar, Christine amat gembira mendengar kabar tersebut dan tak sabar untuk bergegas menemui putranya.

Tibalah hari besar yang dinanti-nanti itu, di bawah kawalan polisi juga para awak media yang ikut meliput, alangkah Christine sangat terkejut mengetahui bahwa bocah laki-laki yang dibawa ke hadapannya ternyata bukan anaknya. Anehnya, pihak kepolisian malah memaksa Christine mengakui bahwa bocah laki-laki itu sebagai anaknya. Tak tinggal diam, sembari mengumpulkan bukti untuk memastikan bahwa anak yang diserahkan padanya itu bukan anaknya, Christine mulai menggugat pihak kepolisian Los Angeles. Namun tindakannya tersebut rupanya memancing kemarahan departemen penegak hukum itu, selanjutnya mereka justru menyudutkan dan menuduh Christine mengalami gangguan kejiwaan akibat trauma berat pasca kehilangan anaknya hingga berhalusinasi yang bukan-bukan.

Christine Collins yang dilanda kebingungan mewakili perasaan kita semua yang lantas bertanya-tanya: apa yang sebenarnya terjadi? Dan ketika Christine mulai memaksa meminta kejelasan, di bawah perintah “Kode 12”, dia justru dijebloskan ke rumah sakit jiwa dan disiksa di sana.

Untuk dapat mengerti kompleksitas puzzle kasus yang dikisahkan di dalamnya, ada tujuh kepingan terpisah di dalamnya ditambah satu kepingan eksternal yang harus anda temukan dan pahami ketika menonton film ini:

1.       Christine Collins sebagai pihak penggugat
2.      Pihak kepolisian sebagai pihak tergugat
3.      Hilangnya Walter Collins sebagai  kasus 1
4.       Munculnya Walter Collins palsu sebagai kasus 2 
5.      Pelaku kejahatan terhadap anak-anak sebagai bukti
6.       Pihak gereja sebagai jaksa penuntut
 .       Masyarakat kota Los Angeles sebagai saksi
8.      Anda sebagai juri

Sebetulnya kasus Christine Collins dan hilangnya Walter si bocah malang bukan merupakan isu utama kebejatan pihak otoritas tapi ada sebuah skenario besar yang membuat kita (sebagai penonton) sangat prihatin ternyata ada hal-hal yang memang sengaja diciptakan dan direkayasa untuk membohongi publik. Politik telah sedemikian rupa mencekoki masyarakat dengan fakta-fakta palsu sekedar untuk membungkam mulut kita supaya diam dan tak melulu mempertanyakan bagaimana mereka menjalankan kewajiban utama mereka sebagai pelindung masyarakat. Nama Christine Collins kemudian mencuat dan menyita perhatian seisi kota ketika dia memutuskan mencari tau nasib anaknya dan sendirian melawan bayang-bayang hitam kelicikan birokrasi.

Sampai di titik ini, saya melihat Christine Collins bukan sebagai korban yang lemah dan tidak berdaya sampai harus mengemis-emis memohon pertolongan tapi sebagai ibu yang mempertaruhkan segalanya demi ditemukannya si buah hati. Orang-orang yang mengerti betapa menyakitkannya fakta yang terungkap dalam film ini akan bersepakat untuk menolak percaya pada institusi/lembaga penegak hukum yang korup dan tidak transparan. Apapun manifestasi perjuangannya, Christine Collins mewakili Prita, Marsinah, Nirmala Bonat juga berjuta-juta wanita yang diperlakukan secara kejam dan tidak adil. Inilah pesan utama dari film bertema humaniora feminis ini.

Kemunculan Jason Butler Harner sebagai sang penjagal anak dan aktris Amy Ryan yang sebelumnya bermain bagus dalam Gone Baby Gone (2007) dalam jajaran pemain pendukung menjadi nilai plus di dalamnya. Namun tampaknya, kelemahan terbesar film ini justu datang dari dua pelakon utama Angelina Jolie dan John Malkovich yang (menurut kapasitas saya) kurang memuaskan atau barangkali memang salah casting. Menampilkan sosok Christine Collins yang secara psikologis lemah lembut dan pasif, Jolie dengan sorot mata tajam dan sikap yang cenderung percaya diri, terlihat ganjil di mata saya. Dan, selain karena terlalu cantik, barangkali aura kebintangan Jolie memang menjadi kendala utama yang kelewat “dipaksakan” (untuk memerankan Collins). Malkovich lazimnya identik dengan karakter watak yang bermain-main dengan seksualitas dan keluar dari standar umum moralitas, dengan figur sopannya sebagai Pastur Briegleb, justru malah seperti singa yang kehilangan taring. Alhasil, penampilan Malkovich terlihat datar dan tidak mengikat emosi.

Changeling merupakan salah satu film terbaik aktris berbibir tebal yang dijuluki sebagai salah satu perempuan paling cantik di muka bumi, Angelina Jolie, usai sederet panjang kisah-kisah action non-substansial dan monoton seperti saga Tomb Raider (2001&2003), Gone in 60 Seconds (2000), Mr. & Mrs. Smith (2005), Wanted (2008), dan Salt (2010) yang merupakan imitasi murahan trilogi thriller spionase Bourne atau film-film mengecewakan yang menjual sensualitas bombastis semisal The Tourist (2010), Alexander (2005), Original Sin (2000), dan Pushing Tin (2000). Di sini, Jolie kembali berusaha menunjukkan kemampuannya dalam berakting yang menguras emosi setelah A Mighty Heart (2007), The Good Shepherd (2006) dan Girl, Interrupted (1999) yang berhasil memberinya Oscar untuk kategori “Best Supporting Actress”. Sutradara sekaligus aktor veteran Clint Eastwood menampilkan gambar berformat vintage dengan sentuhan matte yang tidak menonjolkan dominasi warna cerah namun tetap tajam dan nyaman untuk dilihat. Ending scene film ini menggambarkan kota Los Angeles lama yang terlihat amat memikat dengan efek dramatis bagai sebuah lukisan. Perlu diakui, ini salah satu karya apiknya dekade ini setelah Mystic River (2003), Million Dollar Baby (2004), Letters from Iwo Jima (2005), dan Flags of Our Fathers (2006).

Sayang, saya agak terlambat menonton film yang menjadi salah satu kontender Film Terbaik Cannes 2008 silam ini. Tapi saya tidak menyesal karena ada sebuah pelajaran penting yang saya petik di dalamnya. Semoga anda menemukannya pula setelah menontonnya.

-          F. Fajaryanto Suhardi


(16 Januari 2011)

Ada Apa dengan YAHUDI?


Movie Review
The Pianist (2002)

“Memoir Seorang Yahudi sebagai Keturunan dari Bangsa yang Paling Dibenci di Seluruh Dunia”



M
ari kita mengingat kembali apa yang kita lakukan sepuluh tahun lalu. Pada tahun 2002, rasanya sebagian besar dari anda telah melewatkan film ini dan lebih memilih menonton film garapan Sam Raimi yang diangkat dari komik spektakuler Stan Lee, Spider-Man. Padahal jika kita kesampingkan konteks dangkal tentang gegap gempita special effects tercanggih Hollywood saat itu yang dipamerkan dalam seri pertama Spider-Man, ada sesuatu yang luar biasa yang akan anda bawa pulang setelah menyaksikan The Pianist. Bagi anda yang tertarik untuk melakukan studi sejarah tentang “Holocaust” yaitu aksi pembantaian massal ras Yahudi oleh Nazi, maka drama humaniora ini menjadi salah satu rekomendasi paling berbobot dari sejumlah film bertema genosida yang rilis sepanjang satu dekade terakhir. Berdasarkan kisah nyata, seorang pianis berdarah Yahudi, Wladyslaw Szpilman, mengalami serangkaian peristiwa mengerikan selama bertahun-tahun yang kemudian mengubahkan hidupnya selamanya. Berseting di ibukota Polandia, Warsawa yang merupakan salah satu pusat komunitas Yahudi terbesar di Eropa sampai Perang Dunia II, film berdurasi 142 menit ini menyajikan gambaran yang sangat indah sekaligus memilukan tentang keadaan perang di kota itu.

Sebagai pemuda keturunan Yahudi, Szpilman dan keluarganya – ayah, ibu, dua saudarinya Halina dan Regina, dan Hendryk adik laki-lakinya – bersama ratusan ribu orang Yahudi lainnya mengungsi keluar Warsawa setelah tentara Jerman mengambil alih kota itu di bawah rezim Nazi. Mereka diharuskan tinggal di distrik ghetto yang diisolasi tembok pembatas berkawat duri setinggi lima meter untuk mencegah mereka bersosialisasi dengan masyarakat non-Yahudi dan terutama agar mereka tidak kabur. Setiap malam diadakan inspeksi dadakan di kawasan ghetto dan kemudian selalu ada mayat bergelimpangan di jalanan pada pagi harinya. Semua bisnis dan usaha orang-orang Yahudi ditutup, tabungan mereka disita. Mereka juga dilarang makan di restoran umum dan dilarang berbelanja bahan makanan di pasar umum. Secara sengaja, mereka perlahan-lahan dibiarkan melarat dan mati kelaparan. Sehingga pemandangan mayat-mayat kurus kering tinggal kulit pembalut tulang yang ditumpuk dan dibakar dengan bensin akan kita jumpai sepanjang film.

Ada sepenggal kisah ironis yang muncul menjelang film berakhir namun justru menjadi benang merah cerita, yaitu ketika Wladyslaw berada di sebuah rumah tak bertuan – dalam persembunyian di tengah kelaparan yang dahsyat – secara tak sengaja bertemu seorang petinggi SS (Schutzstaffel) yang rupanya amat mengagumi kepiawaiannya berpiano lewat nomor klasik Chopin, Ballad No. 1 Op.23. Bisa anda bayangkan betapa menegangkannya scene ini. Ada pergulatan psikologis yang luar biasa hebat dimana seorang Yahudi tak berdaya tanpa senjata bertemu dengan seorang perwira bersenjata lengkap dari kesatuan SS yang terkenal sangat kejam. Di sinilah sisi kemanusiaan kita dipertaruhkan dan diuji. Apakah perwira SS itu akhirnya membunuhnya atau mungkinkah Wladyslaw berhasil lolos dari maut yang sudah ada di depan mata?

Penghargaan tertinggi Cannes “Palm d’Or” 2002 akhirnya jatuh ke pangkuan Roman Polanski berkat film ini dan nominasi Oscar untuk “Film Terbaik” di taun yang sama. Tapi tunggu dulu – Oscar “hanya” sebatas nominasi? Bukan pemenang? Apa tidak salah tuch? Padahal film ini merupakan kontender terkuat di antara nominator lainnya. Dari segala sisi, The Pianist teruji jauh lebih baik dari musikal Chicago (2002) film kuda hitam yang nyatanya sukses mencuri kategori tertinggi Oscar tersebut – kecuali, tentu saja, untuk urusan unjuk vokal dan goyangan seksi. Siapa yang bisa lupa dengan momen flashback “potret sejarah” pada pembukaan film yang mengambil footage dokumenter lama kota Warsawa akhir dekade 30an dalam format hitam putih diiringi opening menjanjikan dari Polanski dengan menghadirkan “nafas” jemari Adrien Brody memainkan piano melantunkan gubahan komposisi klasik “Nocturne C# minor, B.49” milik Chopin sesaat sebelum digempur mortir hingga kemudian menjadi salah satu adegan film paling klasik sepuluh taun terakhir ini; belum lagi horor agorafobik kala Szpilman berjalan sendirian di antara gedung-gedung hancur sepanjang jangkauan perspektif kamera; atau betapa menggelikan sekaligus mengenaskannya adegan-adegan ketika Szpilman melarikan diri dari tembakan tentara Nazi di atas genteng, ngumpet di sebuah rumah sakit terbengkalai, lalu berbaring di tengah jalan pura-pura mati di samping mayat suster yang sujud kaku saat sepeleton pasukan panzer lari melintas; plus, konser tunggal Brody sebagai Szpilman diiringi credit title menjadi closing scene yang sempurna. Benarkah Chicago Rob Marshall dapat mengalahkan itu semua? Saya rasa AMPAS pun tau apa jawabannya. Silakan protes. Tapi apa yang menyebabkan mereka secara “sepihak” meng-“kudeta” kans kemenangan The Pianist adalah unsur kepentingan theme of the year. Selama dua tahun berturut-turut (2001-2002) Hollywood tengah dilanda demam musikal kabaret yang didominasi cast perempuan mulai dari Moulin Rouge! (2001) sampai Chicago – ketika Moulin Rouge! Baz Luhrmann jatuh dijegal biopik sup dingin A Beautiful Mind (2001) Ron Howard, maka AMPAS “buru-buru” menghadiahkan Oscar “Film Terbaik” 2002 pada Chicago mumpung tema “karaoke” hingar-bingar tersebut belum basi.

Tampaknya alasan terkuat gagalnya The Pianist mengeksekusi piala emas tersebut karena persepsi after-effect bahwa esensi film tersebut merupakan “pencomotan elemen” dari Schindler’s List (1993) peraih Oscar sembilan taun sebelumnya untuk tema serupa: holocaust bangsa Yahudi. Sama halnya mengapa AMPAS tak memenangkan Atonement (2007) karena adanya unsur historical reflection pada The English Patient (1996) mengakar pada dilema dan trauma PD II dalam drama romantik beraroma British. Lalu Babel (2006) yang dikandaskan The Departed (2006) imitasi thriller dari Hong-Kong seolah menegaskan bahwa film omnibus garapan Alejandro González Iñárritu tersebut adalah déjà vu dari Crash (2004) film urban-rasialis yang pretensius dan miskin akurasi yang setaun sebelumnya di ajang Oscar berhasil mempermalukan kisah cinta sepasang laki-laki paling dahsyat abad ini, Brokeback Mountain (2005). Jika untuk keputusan tematik secara general ditengarai adanya campur tangan banyak pihak hingga menjadi ruwet, tapi hal itu tidak berlaku dalam urusan teknik dan skill. Well, Polanski adalah Polanski. Marshall boleh saja bangga filmnya menang Oscar, tapi itu “hanyalah” berkat sengketa permainan politik yang bergantung pada faktor luck alias untung-untungan. Coba bandingkan kecakapan Marshall seorang pemain relatif “baru” di jagat perfilman yang aslinya koreografer itu dengan Roman Polanski yang telah melahirkan karya-karya jenius abad ini, Rosemary’s Baby (1968), Repulsion (1965), The Tenant (1976), dan tentu saja Chinatown (1974) yang nyantol di memori berkat line mengejutkan yang diucapkan Faye Dunaway setelah berkali-kali ditampar Jack Nicholson: “She’s my daughter. She’s my sister. She’s my daughter. She’s my sister and my daughter!” (Saya pikir mabok nich perempuan, tapi ternyata...??) – wajarlah jika Oscar “Sutradara Terbaik” jatuh ke tangannya. Lalu Adrien Brody? Sebagai Wladyslaw Szpilman, dia dituntut memiliki: hidung dan aksen Polandia (catat: Brody asli Amerika) yang mengingatkan kita pada Meryl Streep dalam Sophie’s Choice (1982) + tubuh kerempeng yang lapar terlunta-lunta, mengais-ais makanan dari tong sampah + kumis, brewok, dan jambang + terutama jari-jari “lentik”-nya yang begitu gemulai menari-nari di atas jajaran tuts  piano itu memang lebih dari layak menerima piala Oscar sebagai Aktor Terbaik.
By the way, sedikit info tentang sang sutradara yang berdarah Polandia, Roman Polanski, kabarnya hingga kini tidak mengambil pialanya karena ancaman pencekalan oleh pemerintah federal Amerika Serikat atas tuntutan dan dakwaan pencabulan terhadap gadis di bawah umur yang membuatnya terus bersembunyi di salah satu negara di Eropa.

Terjun ke pokok permasalahan: tapak tilas “singkat” tentang riwayat bangsa Yahudi. Saya yakin sebagian besar anda pernah mendengar tentang ras Yahudi sebagai salah satu bangsa paling populer sekaligus paling kontroversial di muka bumi. Satu hal yang pasti yang melatarbelakangi sentimen ekstra tinggi Fuhrer Hitler untuk kemudian membenci dan membantai orang Yahudi di seluruh penjuru daratan Eropa dan memerintahkan pembakaran Alkitab Kristen adalah kecemburuan dan penolakan terhadap ideologi tersembunyi yang ditanamkan dalam Alkitab yang mengatakan bahwa bangsa Yahudi adalah satu-satunya bangsa pilihan JEHOVAH/YAHWEH (sebutan “tuhan” dalam bahasa Ibrani), yang dibuktikan melalui nabi-nabi/raja-raja/rasul-rasul terkemuka yang semuanya dilahirkan dari bangsa ini, sebagaimana tertulis dalam Torah/Alkitab/Al Qur’an, sebutlah Musa (Moses), Daud (David), Salomo (Solomon) atau Sulaiman (dalam Islam), Yesaya (Isaiah)[1], Yunus (Jonah), Yosua (Joshua)[2], Paulus (Paul)[3], Yohanes penulis kitab Wahyu (John of the Patmos)[4], Petrus (Peter)[5], dll. Di dunia modern di berbagai bidang/ilmu/studi, anda pasti tidak asing dengan nama-nama Yahudi yang menjadi tokoh terkemuka di dunia seperti Albert Einstein, Sigmund Freud, George Gershwin, Allen Ginsberg, Isaac Stern, Niels Bohr, Felix Mendelssohn, Frida Kahlo, Elizabeth Taylor, Stanley Kubrick, atau Karl Marx.

“Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa muridku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.” (ucapan Yesus sebagaimana dikutip dari Kitab Matius 28: 19-20)

Kitab Kisah Para Rasul (Act of Apostles) dan Kitab Roma (Romans) juga catatan sejarah Barat menuliskan rasul-rasul Kristen terkemuka seperti Paulus, Petrus, dan masih banyak pengikut Yesus lain usai pengangkatan Kristus (konon) kembali ke surga melakukan penyebaran Injil (bukan kitab tapi tentang pengajaran Yesus semasa masih hidup di bumi karena hingga pada saat itu kitab suci orang Kristen belum terbentuk) ke Roma dan Asia Kecil. Dianggap berbahaya terhadap stabilitas negara dan mengancam keberadaan agama politeisme bangsa Romawi, pada masa itu oleh kebanyakan Kaisar Roma terutama Kaisar Nero, orang Kristen dianggap musuh dan dibantai di seluruh Semenanjung Italia. Paulus dan Petrus kemungkinan tewas dalam peristiwa ini. Beberapa abad kemudian setelah Kaisar Konstantin memeluk Kristen dan menjadikan Kristen sebagai agama negara, barulah pembantaian itu berhenti. Kemudian pada Abad Pertengahan dimana Eropa memasuki “masa kegelapan” ketika agama Katolik mendominasi dan terjadi perburuan dan pembunuhan massal atas nama agama terhadap orang-orang non-Kristen, pemeluk paganisme yang dianggap kafir, tukang sihir dan okultis. Masa ini berakhir ditandai dengan terjadinya perpecahan dalam tubuh Kristen diprakarsai Martin Luther yang hingga kini dikenal sebagai Kaum Protestan disusul masa kejayaan sains dan pesatnya perkembangan penemuan dimana bangsa-bangsa Eropa memasuki masa eksplorasi dengan semboyan 3G (Gold-Gospel-Glory) ke Afrika, Dunia Timur (Asia), dan Dunia Baru (Amerika) dimulai dari ditutupnya Jalur Sutera yang menghubungkan Istambul hingga Cina paska Perang Salib sekitar abad ke-12 kemudian berlangsung hingga abad ke-19 ketika kolonialisme bangsa Eropa di Dunia Timur dan Afrika mencapai puncak keemasannya, agama Kristen pun lantas tersebar ke berbagai belahan dunia dan otomatis kebudayaan Yahudi sebagaimana yang termaklumat di Alkitab Kristen (terutama pada paruh Perjanjian Lama) ikut populer. Akibat kemiskinan masa kecil dan kebencian terhadap orang-orang Yahudi yang menguasai perekonomian Jerman dan Eropa juga budaya Yahudi yang turut disebarluaskan melalui propaganda Alkitab, komoditas sekuler, dan film-film Hollywood menyebabkan Hitler bertekad bulat menghapuskan eksistensi bangsa Yahudi dari muka bumi. Dengan terus melakukan ekspansi ke seluruh Eropa, Soviet, Afrika, Asia Barat hingga Asia Selatan, Hitler berhasrat menihilkan ideologi Kristen, Islam, Hindu, Budha, Confucius yang sebelumnya telah ribuan tahun ada dan menggantinya dengan “agama” baru, yaitu Nazi yang mendoktrin bahwa bangsa pilihan sesungguhnya adalah bangsa Arya.

Anda mungkin bertanya: bagaimana bisa ras Yahudi ada di Jerman, Amerika Serikat, Inggris, Polandia, Perancis, Italia, dan tersebar di seluruh dunia? Jawabannya tak lain dan tak bukan adalah akibat dari eksodus (dalam teori kritik sastra disebut “diaspora”) lebih dari tiga milenia silam sejak Abraham atau Ibrahim (dalam Islam) yang secara luas diterima sebagai leluhur bangsa Yahudi dan bangsa Arab merupakan seorang penggembala ternak yang hidup nomaden, lalu cucunya, Yakub (dari anaknya, Ishak) memiliki 12 anak yang menjadi cikal-bakal suku-suku utama Israel dan seluruh keluarganya pindah ke Mesir setelah salah satu anaknya, Yosef atau Yusuf (versi Islam) diangkat menjadi petinggi penting di Mesir. Beberapa abad kemudian Israel tumbuh menjadi salah satu bangsa yang paling besar di Mesir dan mengakibatkan kekhawatiran orang Mesir sehingga mereka dijadikan budak sampai tiba hari Musa yang menjadi pahlawan pembebas bangsa Israel dari perbudakan muncul dan membawa bangsa itu keluar dari Mesir menuju “Tanah Perjanjian” (promise land), yaitu “tanah yang telah dijanjikan oleh tuhan, sebuah negeri yang berlimpah anggur, susu, dan madu.” Namun “negeri impian” itu tidaklah kosong tanpa penghuni sehingga sesudah masa kepemimpinan Musa usai, Israel dipimpin Yosua yang mengkomandani perebutan tanah itu dari tangan bangsa-bangsa yang mendiami kawasan sekitar lembah Sungai Yordan. Sepanjang sejarah yang tercatat dalam paruh Perjanjian Lama, berdirinya Israel sebagai kerajaan berdaulat senantiasa diwarnai peperangan dengan negara-negara lain di sekitarnya. Israel yang terpecah menjadi dua kerajaan, Israel dan Yehuda, pasca wafatnya Raja Salomo pun sempat mengalami masa pembuangan kala Raja Babylonia, Nebukadnezar menjajah bangsa itu tapi kemudian diijinkan kembali dari pembuangan dan disensus. Namun, peristiwa pengusiran bangsa Yahudi dari Tanah Palestina (Kanaan) oleh tentara Romawi di bawah pimpinan Jenderal Titus pada tahun 70 Masehi atau tepatnya 33 tahun sejak Yesus Kristus disalibkan di Golgotha menjadi puncak piramida diaspora bangsa Israel. Mental baja bangsa Yahudi terbentuk melalui pengalaman panjang selama ribuan tahun oleh berbagai penolakan, penyiksaan, dan penindasan – klimaksnya adalah pembantaian jutaan orang Yahudi Eropa oleh Nazi – sehingga ketika Theodore Herlz[1] [2] mensponsori gerakan Zionisme[3] kembali ke tanah Palestina dan mendirikan kembali negara Israel pada tanggal 8 Mei 1948, hingga kini mereka disibukkan dengan aksi perebutan sengit melawan bangsa Palestina – “tetangga”-nya yang telah mendiami “rumah kosong” itu selama 1878 tahun terhitung sejak hari terakhir mereka tinggalkan.


Ngomong-ngomong, kira-kira 2000 tahun jauh sebelum Nazi dan Hitler ada, sebagai bangsa yang terkenal demikian cerdas sekaligus demikan keras kepala dan bebal, dalam catatan mantan pemungut cukai bernama Matius yang diketahui menjadi salah satu pengikut mula-mula Yesus, orang-orang Yahudi pernah dengan lantang berteriak ketika Yesus dihadapkan pada Pontius Pilatus sesaat sebelum peristiwa Golgotha:

“Salibkan dia! Biarlah darahnya ditanggungkan atas kami dan atas anak-anak kami!”
(Matius 27: 23-25)

Saya tidak mengatakan bahwa saya percaya pada kutukan – tidak pula berusaha mengafirmasi status keilahian Yesus – tapi mungkin kini orang Yahudi menyadari karma itu. Konsekuensi yang harus mereka bayar mahal. Ya, orang Yahudi menyadari itu.
-       
F. Fajaryanto Suhardi.

Catatan kaki:

[1] Bein, Alex. 1941. Theodor Herzl: A Biography of the Founder of the Modern Zionism. trans. Maurice Samuel.
[2] Kornberg, Jacques. December 1, 1993. Theodor Herzl: From Assimilation to Zionism. Jewish Literature and Culture. Bloomington, Indiana: Indiana University Press. pp. 193–194.
[3] Vital, David. 1980. The Origins of Zionism. Oxford University Press.

(24 Desember 2010)
(12 Juni 2012) (revisi)


[1] Hanya diakui dalam Judaisme dan Kristen
[2] Ibid.
[3] Hanya diakui dalam Kristen
[4] Ibid.
[5] Ibid.