Movie Review
Inglourious Basterds (2009)
“Humor Hitam Penuh Kekerasan Berdarah-darah tentang Swastika Nazi dan
Pembalasan Yahudi ala Tarantino”
J
|
ika The Pianist-nya
Polanski menonjolkan sisi lembek orang Yahudi yang pasrah menghadapi pembantaian
Nazi, maka Inglourious Basterds yang
digarap oleh sutradara kreatif-idealis yang konon ber-IQ 160, Quentin
Tarantino, adalah ide kontranya.
Alkisah, “The Basterds” adalah sekelompok kecil tentara resistance Yahudi-Amerika swakelola di
bawah komando rahasia NATO bernama “Operasi Kino”. Dipimpin oleh seorang letnan
slengéan
beraksen Tennessee medhog, Aldo “Apache”
Raine (Brad Pitt), dengan teknik penyergapan yang mendadak dan mencengangkan,
secara bergerilya mereka melakukan penyerangan cepat dan efektif terhadap
konvoi-konvoi kavaleri Nazi di daerah pinggiran Perancis.
Uniknya, sebagai bentuk pembalasan terhadap kekejaman Third
Reich, Aldo mewajibkan setiap anak buahnya menyerahkan “upeti” berupa
masing-masing 100 kulit kepala tentara Nazi. Aldo yang juga pecandu heroin
punya partner-partner yang dikenal berbahaya di kalangan Nazi, seperti Donny
Donowitz (Eli Roth) berjulukan “The Bear Jew” si sersan bertubuh tegap dan
kekar yang gemar memukuli kepala tentara Nazi dengan tongkat bisbol hingga pecah
dan otaknya berceceran, seorang pembelot Nazi yang sukses membantai 13 petinggi
Gestapo dalam semalam, Hugo Stiglitz (Til Schweiger) yang berwajah dingin dan
tak pernah tersenyum, dan asisten setianya Utivich (BJ Novak) yang bermuka sepolos bocah
namun dapat membunuh dan menguliti kepala orang tanpa raut ekspresi takut atau
kikuk.
Di luar “The Basterds”, Aldo juga punya mata-mata yang
ternyata adalah seorang bintang film Jerman cantik lagi terkenal, Bridget von
Hammersmark (Diane Kruger) dan “paket bala bantuan” dari sekutunya, Inggris:
seorang utusan bernama Letnan Archie Hicox (Michael Fassbender) yang pintar
tapi tak cukup cerdas dan fasih berbahasa Jerman tanpa bisa menghilangkan logat
British-nya.
Plot cerita berpusat pada isu seputar pemutaran film semi-dokumenter
propaganda Nazi berjudul “Nation’s Pride” dibintangi oleh salah seorang
prajurit yang tengah naik daun setelah dikabarkan berhasil membunuh lebih dari
300 tentara sekutu, Frederick Zollër (Daniel Brůhl). Bermaksud membuat gadis muda
kalem berparas ayu pemilik sebuah teater bioskop di Paris, Emanuelle Mimieux
(Melanie Laurent) terkesan, Zollër yang dilanda kasmaran berat lalu “merayu”
Dr. Joseph Goebbels (Sylvester Groth) Menteri Perfilman dan Propaganda Nazi
untuk melakukan pemutaran perdana di gedung bioskop kecil milik Emanuelle. Dikatakan
pula bahwa premiere film ini akan
dihadiri petinggi-petinggi penting Nazi bahkan buronan nomor satu di muka bumi
berkumis hitam selebar kuku jari Hitler juga dirumorkan akan datang. Rencana
ini tentu mengejutkan sekaligus momen akbar yang paling ditunggu-tunggu oleh
Emanuelle – nama palsu dari Shossana Dreyfus – seorang pelarian Yahudi yang
berhasil lolos dari horor holocaust. Diam-diam
bersama “asisten”-nya Marcel (Jacky Ido), Shossana dengan rapi dan teliti,
merencanakan balas dendam atas kematian seluruh anggota keluarganya yang tewas dibantai
oleh “The Jew Hunter”, Kolonel Hans Landa (Christoph Waltz). Di lain pihak,
kesempatan emas ini tak ingin disia-siakan oleh Aldo, Archie, dan Bridget. Di sebuah
kedai tuak penuh tentara Nazi, mereka kemudian menyamar dan bertemu guna
mengatur siasat untuk menyabotase acara gala-premiere
itu. Celakanya, gara-gara bahasa Jerman beraksen Inggris dan salah memberi kode
ketika memesan minuman, kedok mereka terbongkar.
Jika anda familiar dengan karya-karya fenomenal Tarantino
seperti Reservoir Dogs (1992), Pulp Fiction (1994), Jackie Brown (1997), atau dwilogi Kill Bill (2003 & 2004), maka anda
akan langsung ‘klik’ begitu menonton kisah yang satu ini. Layaknya film-film
Tarantino yang identik dengan aroma kekerasan, kerap kali, adegan-adegan
bombardir senjata dan darah yang terpercik dimana-mana dipertontonkan dengan
vulgar dan hiperbolis. Adegan Donny memberondong wajah Hitler dan para penonton
bioskop dengan senjata M16 segera mengingatkan kita pada adegan ketika pengantin
Kiddo yang tengah hamil besar bersama calon mempelai pria, pendeta dan
istrinya, dan para kerabat sedang berlatih untuk upacara pernikahan di sebuah
kapel kecil tiba-tiba dibantai oleh “Deadly Viper Assassins Squad” dalam laga Kill Bill vol. 2 (2004). Terobsesi
keinginan menciptakan satu adegan kekerasan dengan cara yang unik, Tarantino kemudian
merangkai skenario dimana karakter Aldo bersedia melepaskan tawanan hidup-hidup
dengan mengukir jidat mereka dengan pisau belati membentuk simbol serupa
swastika. Ibarat pepatah: guru kencing berdiri, murid kencing berlari – eksplorasi
gaya berdarah-darah Tarantino kemudian menular pada sang “anak didik”, Eli Roth
yang memulai debut penyutradaan film layar lebarnya pada tahun 2005 dalam
sebuah film kental gore, mutilasi,
dan sadisme tingkat ekstrem, Hostel.
Dengan dialog pintar namun santai dan humor pedas yang
berujung pada ketegangan intens, Tarantino tetap setia memakai gaya penyutradaraan
yang komikal dan main tabrak budaya. Dia rajin memasang credit title pada opening maupun
ending film dengan latar hitam/gelap
dan tulisan besar-besar dengan warna cerah dan mentereng. Jika anda perhatikan lebih detil, hitam, merah, dan
kuning adalah warna-warna kesukaan Tarantino karena selalu muncul dalam
film-film garapannya, seolah mewakili kepribadiannya yang penuh gairah,
meledak-ledak, sekaligus gelap, misterius, dan absurd. Juga kegandrungannya membagi sekuens dalam chapter-chapter tematik yang terpisah
namun masih saling berkaitan. Selain itu, music
scoring pilihan Tarantino juga
tak luput dari perhatian. Lagu-lagu pop/rock kategori non-mainstream yang jarang kita kenal tapi begitu dikumandangkan
terdengar familiar selalu hadir dalam scene
yang tepat sehingga menciptakan simbiosis ikatan emosi yang kuat antara penonton
dan filmnya. Lebih-lebih, dia sering melakukan perkawinan silang lintas-kultur
dan lintas-genre. Misalnya adegan ketika Shossana berdandan menjelang premiere, penonton disuguhi musik rock cadas Amerika era 80an kontras
dengan film itu sendiri yang bersetingkan Paris tahun 40an. Ini merupakan formula
yang sangat tidak lazim dan jarang digunakan oleh sutradara lain yang lumrahnya
cenderung memilih komposisi chanson klasik
yang dipercaya mampu menghadirkan romantika emosional kota Paris. Asimilasi budaya
pop Amerika + tongue-in-cheek rasisme
+ brutalisme gangster yang identik dengan dar-der-dor, drugs, dan junk lifestyle + estetika kungfu Cina +
filosofi samurai Jepang + sentuhan kultur cantik Amerika Latin menjadi kiblat
Tarantino selama ini. Pola tabrak budaya semacam ini terlihat jelas salah
satunya dalam Kill Bill yang menampilkan
pertarungan samurai antara si pirang bermata biru Uma Thurman (simbolis dunia
Oksidental) berkostum balap kuning ngejreng
yang pernah dipopulerkan Bruce Lee dan ikon geisha
bermata sipit dan tajam Lucy Liu (simbolis dunia Oriental) dalam balutan anggun
kimono diiringi genjrengan gitar
Latin (simbolis Dunia Baru) yang ritmis nan eksotis.
Yang membuat Inglourious
Basterds keren di mata saya karena faktor penggunaan multi-bahasa yang
mampu menjembatani pemahaman penonton untuk mengerti (sedikit) tentang budaya
masing-masing negara yang bahasanya muncul di film ini. Setidaknya ada tiga
bahasa aktif bahkan empat yang turut diucapkan di dalamnya; Inggris, Jerman,
Perancis, dan Italia. Dan sang aktor Austria, Christoph Waltz, yang terlahir
dengan lidah seorang master
linguistik alami bercas-cis-cus keempat bahasa tersebut (damn!) dengan sangat mengesankan dan mampu bertransisi dari satu
bahasa ke bahasa lain tanpa kesulitan sama sekali bahkan dapat dengan luwesnya melebur ke dalam gaya masing-masing bahasa
tersebut. Ketika berbahasa Inggris, dia seperti bangsawan Inggris. Saat ngomong Perancis, dia terlihat intuitif
layaknya orang Perancis. Dalam tuturan Italia, secara natural dia turut
memainkan tangan untuk menyalurkan emosi dalam berbicara. Berbicara dalam bahasa
Jerman, dia adalah perwira SS yang senyumannya luar biasa mengintimidasi. Wajar
saja, jika penampilannya dalam film ini kemudian diganjar Academy Award sebagai
“Best Supporting Actor”. Ngomong-ngomong,
Hans Landa menjadi karakter Nazi kedua setelah Hanna Schmidtz dalam The Reader (diperankan oleh Kate Winslet)
yang meraih Oscar.
Untuk sebuah keuntungan ganda yang langka anda dapati: kualitas
(profesionalisme) dan kenyamanan (pertemanan) – rupanya telah menciptakan
kedekatan personal antara sang sutradara dengan mayoritas aktor yang pernah
bekerjasama dengannya, salah satunya aktor kulit hitam terkemuka Samuel L.
Jackson. Tarantino – sama seperti Woody Allen – tau bagaimana memaksimalkan
potensi para aktornya lewat karakter-karakter yang meyakinkan. Jika Diane
Keaton, Dianne Wiest, Mira Sorvino, dan Penelopé Cruz tampaknya “berhutang
budi” pada Allen atas piala Oscar yang mereka peroleh, maka tangan dingin
Tarantino telah berhasil mengabadikan Bruce Willis, John Travolta, Uma Thurman,
Michael Parks, dan Samuel L. Jackson sebagai wajah-wajah tak terlupakan berkat peran-peran ikonik rekaannya. Pulp Fiction berhasil menunjukkan pada
kita sisi macho Willis yang tidak tacky.
Ketampanan dan “kegaringan” Travolta dalam Saturday
Night Fever (1977) dan Grease
(1978) juga terulang kembali di situ, tapi tentu saja karakternya lebih smooth dan “mantap” karena kedunguannya.
Parks sang aktor kawakan pun sukses membikin kita terkejut (baca: terkesima)
dengan dua peran super kontras dalam Kill
Bill: si tua bangka Earl McGraw sheriff Texas bermulut cabul dan Esteban
Vihaio mucikari Meksiko berwajah mesum. Thurman selain sebagai Mia Wallace atau
Beatrix Kiddo? Duh! Jackson pun setali tiga uang sialnya dengan Thurman yang
tampil tak berkesan bahkan buruk di luar film-film Tarantino. Setelah
sebelumnya turut membintangi Pulp Fiction
dan Jackie Brown, Jackson kemudian
cuma kepengen icip-icip peran cameo sebagai pianis gereja yang
wajahnya tersamarkan oleh siluet topi dan asap rokok dalam Kill Bill seperti halnya kemunculan tak terduga komedian Mike Myers
dalam film ini yang memainkan cameo
sebagai atase militer Inggris, Jenderal Ed Fenech. Lalu dalam Inglourious Basterds, meski wajah
Jackson tak muncul, kita tetap dapat mendengar suara bas khasnya sebagai
narator cerita.
Akhir kata –
kenapa Tarantino? He’s the devil on the game.
Tanpa tedeng aling-aling, senantiasa memberikan kejutan mencengangkan dalam
setiap film garapannya kalamana muncul di saat-saat tak terduga yang lantas
bikin kita terbengong-bengong sekaligus terkagum-kagum sekaligus terkekeh-kekeh
oleh keekstreman, keanehan, dan kejeniusan seorang Tarantino yang norak,
hiperbolis, kasar, sadis, tapi lucu dan masuk akal. Anda akan langsung
menyadari trademark yang menjadi
“nyawa” Tarantino tersebut begitu adegan film dibuka. Masih ingat bagaimana mengagetkannya
(Kill
Bill vol. 1): Vivica A. Fox tiba-tiba “disambut” bogem mentah dari Uma
Thurman begitu membuka pintu rumah? Atau sensasionalnya (Pulp Fiction): Tim Roth
dan Amanda Plummer berceloteh, berciuman mesra singkat, lalu dengan beringas bangkit
sambil bersumpah-serapah menodongkan pistol ke arah para pengunjung restoran?
----- 0.o
------
Saya mengenal sejumlah rekan yang mengaku muak dengan “kebengalan”
Tarantino dan aksi brutalnya yang kelihatan dieksploitasi berlebih-lebihan
dalam film. Kritikus film profesional pun tak jarang yang berkomentar “miring”.
Tapi hitam di atas putih, Pulp Fiction
nyatanya menjadi satu dari (hanya)
segelintir film berating tertinggi di situs IMDb dengan perolehan skor ≥ 9
dan sejauh ini tak satupun film besutannya yang meraih poin di bawah 7.
Berbekal “bakat super” dalam mengolah konsep konkret (teknik, naskah, dialog)
dan konsep abstrak (plot, visualisasi, suspensi) menjadi menu santapan yang
amat cerdas dan berani, setujukah anda bahwa sepertinya elemen shock-therapy ala Tarantino dalam film-film
mendatang berikutnya sangat patut dinantikan, betul?
Oia, saya punya pesan khusus untuk anda yang belum menonton
film ini. Meski menjual sejumlah nama historical
figures nyata, jangan percaya dengan “fakta” yang disajikan film ini karena
semuanya fiktif belaka. Wajar saja kalau anda mungkin akan protes. Tapi, simpan dulu semua (fakta yang ada) itu ke dalam buku, masukkan laci dan lupakan
selama setidaknya 2 ½ jam, karena (film) ini merupakan tontonan full-action yang spontan dan fun, sangat oke untuk menyegarkan otak sejenak
karena tampaknya Tarantino yang liberalis membuat film ini untuk tujuan hiburan
semata tanpa ingin memperumit spekulasi penanaman ideologi tertentu di kepala
anda. Enjoy.
-
F. Fajaryanto Suhardi
(5 Maret 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar