Jumat, 13 Januari 2012

Mari Tertawa Sebelum Mati...


Movie Review
Inglourious Basterds (2009)

“Humor Hitam Penuh Kekerasan Berdarah-darah tentang Swastika Nazi dan Pembalasan Yahudi ala Tarantino”



J
ika The Pianist-nya Polanski menonjolkan sisi lembek orang Yahudi yang pasrah menghadapi pembantaian Nazi, maka Inglourious Basterds yang digarap oleh sutradara kreatif-idealis yang konon ber-IQ 160, Quentin Tarantino, adalah ide kontranya.

Alkisah, “The Basterds” adalah sekelompok kecil tentara resistance Yahudi-Amerika swakelola di bawah komando rahasia NATO bernama “Operasi Kino”. Dipimpin oleh seorang letnan slengéan beraksen Tennessee medhog, Aldo “Apache” Raine (Brad Pitt), dengan teknik penyergapan yang mendadak dan mencengangkan, secara bergerilya mereka melakukan penyerangan cepat dan efektif terhadap konvoi-konvoi kavaleri Nazi di daerah pinggiran Perancis.

Uniknya, sebagai bentuk pembalasan terhadap kekejaman Third Reich, Aldo mewajibkan setiap anak buahnya menyerahkan “upeti” berupa masing-masing 100 kulit kepala tentara Nazi. Aldo yang juga pecandu heroin punya partner-partner yang dikenal berbahaya di kalangan Nazi, seperti Donny Donowitz (Eli Roth) berjulukan “The Bear Jew” si sersan bertubuh tegap dan kekar yang gemar memukuli kepala tentara Nazi dengan tongkat bisbol hingga pecah dan otaknya berceceran, seorang pembelot Nazi yang sukses membantai 13 petinggi Gestapo dalam semalam, Hugo Stiglitz (Til Schweiger) yang berwajah dingin dan tak pernah tersenyum, dan asisten setianya Utivich (BJ Novak) yang bermuka sepolos bocah namun dapat membunuh dan menguliti kepala orang tanpa raut ekspresi takut atau kikuk.

Di luar “The Basterds”, Aldo juga punya mata-mata yang ternyata adalah seorang bintang film Jerman cantik lagi terkenal, Bridget von Hammersmark (Diane Kruger) dan “paket bala bantuan” dari sekutunya, Inggris: seorang utusan bernama Letnan Archie Hicox (Michael Fassbender) yang pintar tapi tak cukup cerdas dan fasih berbahasa Jerman tanpa bisa menghilangkan logat British-nya.

Plot cerita berpusat pada isu seputar pemutaran film semi-dokumenter propaganda Nazi berjudul “Nation’s Pride” dibintangi oleh salah seorang prajurit yang tengah naik daun setelah dikabarkan berhasil membunuh lebih dari 300 tentara sekutu, Frederick Zollër (Daniel Brůhl). Bermaksud membuat gadis muda kalem berparas ayu pemilik sebuah teater bioskop di Paris, Emanuelle Mimieux (Melanie Laurent) terkesan, Zollër yang dilanda kasmaran berat lalu “merayu” Dr. Joseph Goebbels (Sylvester Groth) Menteri Perfilman dan Propaganda Nazi untuk melakukan pemutaran perdana di gedung bioskop kecil milik Emanuelle. Dikatakan pula bahwa premiere film ini akan dihadiri petinggi-petinggi penting Nazi bahkan buronan nomor satu di muka bumi berkumis hitam selebar kuku jari Hitler juga dirumorkan akan datang. Rencana ini tentu mengejutkan sekaligus momen akbar yang paling ditunggu-tunggu oleh Emanuelle – nama palsu dari Shossana Dreyfus – seorang pelarian Yahudi yang berhasil lolos dari horor holocaust. Diam-diam bersama “asisten”-nya Marcel (Jacky Ido), Shossana dengan rapi dan teliti, merencanakan balas dendam atas kematian seluruh anggota keluarganya yang tewas dibantai oleh “The Jew Hunter”, Kolonel Hans Landa (Christoph Waltz). Di lain pihak, kesempatan emas ini tak ingin disia-siakan oleh Aldo, Archie, dan Bridget. Di sebuah kedai tuak penuh tentara Nazi, mereka kemudian menyamar dan bertemu guna mengatur siasat untuk menyabotase acara gala-premiere itu. Celakanya, gara-gara bahasa Jerman beraksen Inggris dan salah memberi kode ketika memesan minuman, kedok mereka terbongkar.

Jika anda familiar dengan karya-karya fenomenal Tarantino seperti Reservoir Dogs (1992), Pulp Fiction (1994), Jackie Brown (1997), atau dwilogi Kill Bill (2003 & 2004), maka anda akan langsung ‘klik’ begitu menonton kisah yang satu ini. Layaknya film-film Tarantino yang identik dengan aroma kekerasan, kerap kali, adegan-adegan bombardir senjata dan darah yang terpercik dimana-mana dipertontonkan dengan vulgar dan hiperbolis. Adegan Donny memberondong wajah Hitler dan para penonton bioskop dengan senjata M16 segera mengingatkan kita pada adegan ketika pengantin Kiddo yang tengah hamil besar bersama calon mempelai pria, pendeta dan istrinya, dan para kerabat sedang berlatih untuk upacara pernikahan di sebuah kapel kecil tiba-tiba dibantai oleh “Deadly Viper Assassins Squad” dalam laga Kill Bill vol. 2 (2004). Terobsesi keinginan menciptakan satu adegan kekerasan dengan cara yang unik, Tarantino kemudian merangkai skenario dimana karakter Aldo bersedia melepaskan tawanan hidup-hidup dengan mengukir jidat mereka dengan pisau belati membentuk simbol serupa swastika. Ibarat pepatah: guru kencing berdiri, murid kencing berlari – eksplorasi gaya berdarah-darah Tarantino kemudian menular pada sang “anak didik”, Eli Roth yang memulai debut penyutradaan film layar lebarnya pada tahun 2005 dalam sebuah film kental gore, mutilasi, dan sadisme tingkat ekstrem, Hostel.

Dengan dialog pintar namun santai dan humor pedas yang berujung pada ketegangan intens, Tarantino tetap setia memakai gaya penyutradaraan yang komikal dan main tabrak budaya. Dia rajin memasang credit title pada opening maupun ending film dengan latar hitam/gelap dan tulisan besar-besar dengan warna cerah dan mentereng. Jika anda perhatikan lebih detil, hitam, merah, dan kuning adalah warna-warna kesukaan Tarantino karena selalu muncul dalam film-film garapannya, seolah mewakili kepribadiannya yang penuh gairah, meledak-ledak, sekaligus gelap, misterius, dan absurd. Juga kegandrungannya membagi sekuens dalam chapter-chapter tematik yang terpisah namun masih saling berkaitan. Selain itu, music scoring pilihan Tarantino juga tak luput dari perhatian. Lagu-lagu pop/rock kategori non-mainstream yang jarang kita kenal tapi begitu dikumandangkan terdengar familiar selalu hadir dalam scene yang tepat sehingga menciptakan simbiosis ikatan emosi yang kuat antara penonton dan filmnya. Lebih-lebih, dia sering melakukan perkawinan silang lintas-kultur dan lintas-genre. Misalnya adegan ketika Shossana berdandan menjelang premiere, penonton disuguhi musik rock cadas Amerika era 80an kontras dengan film itu sendiri yang bersetingkan Paris tahun 40an. Ini merupakan formula yang sangat tidak lazim dan jarang digunakan oleh sutradara lain yang lumrahnya cenderung memilih komposisi chanson klasik yang dipercaya mampu menghadirkan romantika emosional kota Paris. Asimilasi budaya pop Amerika + tongue-in-cheek rasisme + brutalisme gangster yang identik dengan dar-der-dor, drugs, dan junk lifestyle + estetika kungfu Cina + filosofi samurai Jepang + sentuhan kultur cantik Amerika Latin menjadi kiblat Tarantino selama ini. Pola tabrak budaya semacam ini terlihat jelas salah satunya dalam Kill Bill yang menampilkan pertarungan samurai antara si pirang bermata biru Uma Thurman (simbolis dunia Oksidental) berkostum balap kuning ngejreng yang pernah dipopulerkan Bruce Lee dan ikon geisha bermata sipit dan tajam Lucy Liu (simbolis dunia Oriental) dalam balutan anggun kimono diiringi genjrengan gitar Latin (simbolis Dunia Baru) yang ritmis nan eksotis.
Yang membuat Inglourious Basterds keren di mata saya karena faktor penggunaan multi-bahasa yang mampu menjembatani pemahaman penonton untuk mengerti (sedikit) tentang budaya masing-masing negara yang bahasanya muncul di film ini. Setidaknya ada tiga bahasa aktif bahkan empat yang turut diucapkan di dalamnya; Inggris, Jerman, Perancis, dan Italia. Dan sang aktor Austria, Christoph Waltz, yang terlahir dengan lidah seorang master linguistik alami bercas-cis-cus keempat bahasa tersebut (damn!) dengan sangat mengesankan dan mampu bertransisi dari satu bahasa ke bahasa lain tanpa kesulitan sama sekali bahkan dapat dengan luwesnya melebur ke dalam gaya masing-masing bahasa tersebut. Ketika berbahasa Inggris, dia seperti bangsawan Inggris. Saat ngomong Perancis, dia terlihat intuitif layaknya orang Perancis. Dalam tuturan Italia, secara natural dia turut memainkan tangan untuk menyalurkan emosi dalam berbicara. Berbicara dalam bahasa Jerman, dia adalah perwira SS yang senyumannya luar biasa mengintimidasi. Wajar saja, jika penampilannya dalam film ini kemudian diganjar Academy Award sebagai “Best Supporting Actor”. Ngomong-ngomong, Hans Landa menjadi karakter Nazi kedua setelah Hanna Schmidtz dalam The Reader (diperankan oleh Kate Winslet) yang meraih Oscar.

Untuk sebuah keuntungan ganda yang langka anda dapati: kualitas (profesionalisme) dan kenyamanan (pertemanan) – rupanya telah menciptakan kedekatan personal antara sang sutradara dengan mayoritas aktor yang pernah bekerjasama dengannya, salah satunya aktor kulit hitam terkemuka Samuel L. Jackson. Tarantino – sama seperti Woody Allen – tau bagaimana memaksimalkan potensi para aktornya lewat karakter-karakter yang meyakinkan. Jika Diane Keaton, Dianne Wiest, Mira Sorvino, dan Penelopé Cruz tampaknya “berhutang budi” pada Allen atas piala Oscar yang mereka peroleh, maka tangan dingin Tarantino telah berhasil mengabadikan Bruce Willis, John Travolta, Uma Thurman, Michael Parks, dan Samuel L. Jackson sebagai wajah-wajah tak terlupakan berkat peran-peran ikonik rekaannya. Pulp Fiction berhasil menunjukkan pada kita sisi macho Willis yang tidak tacky. Ketampanan dan “kegaringan” Travolta dalam Saturday Night Fever (1977) dan Grease (1978) juga terulang kembali di situ, tapi tentu saja karakternya lebih smooth dan “mantap” karena kedunguannya. Parks sang aktor kawakan pun sukses membikin kita terkejut (baca: terkesima) dengan dua peran super kontras dalam Kill Bill: si tua bangka Earl McGraw sheriff Texas bermulut cabul dan Esteban Vihaio mucikari Meksiko berwajah mesum. Thurman selain sebagai Mia Wallace atau Beatrix Kiddo? Duh! Jackson pun setali tiga uang sialnya dengan Thurman yang tampil tak berkesan bahkan buruk di luar film-film Tarantino. Setelah sebelumnya turut membintangi Pulp Fiction dan Jackie Brown, Jackson kemudian cuma kepengen icip-icip peran cameo sebagai pianis gereja yang wajahnya tersamarkan oleh siluet topi dan asap rokok dalam Kill Bill seperti halnya kemunculan tak terduga komedian Mike Myers dalam film ini yang memainkan cameo sebagai atase militer Inggris, Jenderal Ed Fenech. Lalu dalam Inglourious Basterds, meski wajah Jackson tak muncul, kita tetap dapat mendengar suara bas khasnya sebagai narator cerita.

Akhir kata – kenapa Tarantino? He’s the devil on the game. Tanpa tedeng aling-aling, senantiasa memberikan kejutan mencengangkan dalam setiap film garapannya kalamana muncul di saat-saat tak terduga yang lantas bikin kita terbengong-bengong sekaligus terkagum-kagum sekaligus terkekeh-kekeh oleh keekstreman, keanehan, dan kejeniusan seorang Tarantino yang norak, hiperbolis, kasar, sadis, tapi lucu dan masuk akal. Anda akan langsung menyadari trademark yang menjadi “nyawa” Tarantino tersebut begitu adegan film dibuka. Masih ingat bagaimana mengagetkannya (Kill Bill vol. 1): Vivica A. Fox tiba-tiba “disambut” bogem mentah dari Uma Thurman begitu membuka pintu rumah? Atau sensasionalnya (Pulp Fiction): Tim Roth dan Amanda Plummer berceloteh, berciuman mesra singkat, lalu dengan beringas bangkit sambil bersumpah-serapah menodongkan pistol ke arah para pengunjung restoran?

----- 0.o ------

Saya mengenal sejumlah rekan yang mengaku muak dengan “kebengalan” Tarantino dan aksi brutalnya yang kelihatan dieksploitasi berlebih-lebihan dalam film. Kritikus film profesional pun tak jarang yang berkomentar “miring”. Tapi hitam di atas putih, Pulp Fiction nyatanya menjadi satu dari (hanya) segelintir film berating tertinggi di situs IMDb dengan perolehan skor ≥ 9 dan sejauh ini tak satupun film besutannya yang meraih poin di bawah 7. Berbekal “bakat super” dalam mengolah konsep konkret (teknik, naskah, dialog) dan konsep abstrak (plot, visualisasi, suspensi) menjadi menu santapan yang amat cerdas dan berani, setujukah anda bahwa sepertinya elemen shock-therapy ala Tarantino dalam film-film mendatang berikutnya sangat patut dinantikan, betul?

Oia, saya punya pesan khusus untuk anda yang belum menonton film ini. Meski menjual sejumlah nama historical figures nyata, jangan percaya dengan “fakta” yang disajikan film ini karena semuanya fiktif belaka. Wajar saja kalau anda mungkin akan protes. Tapi, simpan dulu semua (fakta yang ada) itu ke dalam buku, masukkan laci dan lupakan selama setidaknya 2 ½ jam, karena (film) ini merupakan tontonan full-action yang spontan dan fun, sangat oke untuk menyegarkan otak sejenak karena tampaknya Tarantino yang liberalis membuat film ini untuk tujuan hiburan semata tanpa ingin memperumit spekulasi penanaman ideologi tertentu di kepala anda. Enjoy.

-          F. Fajaryanto Suhardi

(5 Maret 2011)                                                                                         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar