Jumat, 13 Januari 2012

FIKSI vs. FAKTA

Movie Review

Michael Clayton (2007)

"FIKSI REALISTIS: Sesosok Pengacara Bernama Michael Clayton (Fiktif) dan Legitimasi Hukum yang Abu-abu (Realistis)"

Bagi anda yang pernah belajar hukum yuridisial tingkat dasar (preliminary) atau setidaknya secara teori sedikit tau tentang hukum praktis, maka itu akan sangat membantu anda untuk dapat memahami film ini. Namun bila anda sama sekali tidak mengerti hukum barang secuil pun, jangan berkecil hati. Yang anda butuhkan hanya satu: curiosity (sebagaimana hasrat naluriah manusia yang selalu ingin tahu).

Film ini memang penuh tantangan. Jika anda pernah menonton seri Law and Order, ada gambaran serupa dengan format yang lebih kompleks dan tentu saja lebih “membumi”. Apa yang membuat film ini menarik? Pastinya, jalan cerita yang tidak mudah ditebak. Jujur, sepanjang film diputar, sekuens-sekuens yang muncul cenderung menguras otak untuk berpikir. Diramu dalam dialog yang rumit dan (sangat) sulit dicerna sempat membuat saya pusing dan mual-mual (untung tidak sampai muntah). Harapan saya, semoga anda tidak sampai demikian saat nanti memutuskan untuk menontonnya.

Lalu apa dan bagaimana sebenarnya plot ceritanya? Sederhananya, Michael Clayton mengisahkan tentang si baik dan si jahat yang bersembunyi di bawah satu atap perlindungan bernama “firma hukum”. Kenner, Bach & Ledeen adalah kantor asosiasi pengacara yang selama enam tahun telah bergulat berusaha menangani sebuah kasus yang ibarat kertas yang telah hangus terbakar. Kliennya, sebuah korporasi besar mengalami ancaman tuntutan publik atas malpraktek mega-proyek bertajuk “U/North” (abreviasi dari “United North”) yang mengembangbiakkan agrobisnis melalui proses pembudidayaan tanaman pangan secara sintesa kimiawi. Kesamaan dengan Erin Brockovich­-nya Julia Roberts, proyek ini pada akhirnya menjadi bencana yang menyebabkan ratusan orang mati akibat kanker setelah mengkonsumsi produk tersebut.

Arthur Edens (Tom Wilkinson) sebelumnya adalah seorang prosekutor senior dari Kenner, Bach & Ledeen yang tadinya dibayar untuk membela U/North dengan imbalan 50 juta dolar untuk membuktikan bahwa produk itu tidak berbahaya di tengah ancaman tuntutan dari para konsumen. Enam tahun ia berkecimpung dalam kasus ini yang selanjutnya terjadi adalah ketakutan dan perasaan bersalah hingga akhirnya dia memutuskan berhenti dari karirnya dan mulai hidup menyendiri akibat depresi berat setelah bukti-bukti yang ada justru semakin menunjukkan indikasi kuat bahwa produk itu mengandung molekul racun karsinogenik. Dengan semakin bertambah anehnya perilaku Edens, hal ini menimbulkan kecemasan bagi Marty Bach (Sidney Pollack) salah seorang pendiri firma yang kemudian mengutus Michael Clayton (George Clooney) untuk memantau keadaan dan memastikan Edens tidak sembarangan buka mulut ke media.

Masalahnya Clayton sendiri bukan tipe pengacara yang mumpuni. Pasca bercerai, kehidupan pribadinya amburadul. Bisnis restorannya bangkrut ditambah kegemarannya berjudi di kawasan pecinan, Clayton selama 17 tahun berkarir hanya menjadi “kacung” yang kerjanya menyerahkan jaminan untuk klien atau mewakili firma melakukan kesepakatan. Tapi Clayton benar-benar pria yang beruntung. Keadaan berubah 180 derajat ketika dia mencium ketidakberesan di balik misteri kematian Edens. Dengan cukup “bukti” di tangan, perlahan tapi pasti Clayton menuntaskan masalah ini.

Yang membuat Michael Clayton unggul sebagai film yang kental nuansa hukum dengan penggarapan yang apik adalah kemampuan sang sutradara Tony Gilroy menciptakan dan kemudian mengurai kasus dari angle yang tidak klise. Michael Clayton memang tidak lebih dari sekedar fiksi, tapi kita dibuat yakin bahwa sepanjang memantau film tersebut persepsi yang timbul di otak kita adalah realita. Adegan yang dibangun, dialog yang tercipta, semuanya terasa hidup dan tidak ganjil. Ini yang saya sebut sebagai “fiksi realistis”. Kebalikan dari kebanyakan perkara delik yang muncul di Tanah Air dan telah jutaan kali menghiasi layar kaca dan artikel surat kabar – entah itu skandal korupsi, suap, dan segala bentuk kroni-kroninya – opini publik yang terbentuk cenderung bersifat “realita fiktif”. Misalnya, ketika surat pemanggilan Pejabat A yang diduga kuat terlibat kasus korupsi dana pendidikan senilai Rp 14 miliar dikeluarkan untuk keperluan hearing dan BAP, kita kerap menjumpai situasi dimana si pejabat dikabarkan berhalangan hadir untuk diinterogasi dikarenakan sakit dan sedang menjalani perawatan di Rumah Sakit X. Juru bicaranya akan serta-merta menunjukkan bukti surat berobat sang klien. Bahwa si pejabat tidak mengikuti pemeriksaan tentu adalah fakta, tapi apakah benar si pejabat sakit atau tidak itu sebuah premis yang mungkin saja fiktif sehingga perlu pembuktian yang jelas dan bukan sekedar selembar surat keterangan dokter yang bisa saja dipesan.

Teringat pada hikmah yang terpetik dari teori Apology yang diajarkan oleh sesepuh SPM (Sejarah Pemikiran Modern) dari perguruan tinggi tempat saya menimba ilmu, Ms. Elza, yaitu ketika Socrates dipaksa meminum racun oleh Miletus dan kaumnya atas tuduhan bahwa Socrates menghasut murid-muridnya untuk menjadi ateis, kita perlu mempertahankan sisi obyektivitas kita.  Terlepas dari hujatan dan sentimen negatif yang cenderung berkembang anarkis belakangan ini, kita memang perlu bukti hitam di atas putih untuk menyeret para ‘oknum’ (istilah yang diwariskan oleh pemerintahan Orde Baru) ini yang lazimnya tak gentar lantas mempersenjatai diri dengan sekompi pasukan berani mati alias tim pengacara dengan nama besar dan tentu saja fee yang tidak murah.

Truth is never a static value but it’s absolute. Dengan perkembangan demokrasi di negara kita, saya berharap dengan mengikuti fakta persidangan yang ada bahkan ketika verdict dijatuhkan dan palu hakim diketukkan, berbekal analisis yang jeli, asah dan pertahankan integritas pikiran anda. Jadilah generasi yang cerdas.

Tribute to Sidney Pollack (July 1, 1934 – May 26, 2008)


-          F. Fajaryanto Suhardi


(12 February 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar