Jumat, 13 Januari 2012

Wajah Gerakan Feminisme Modern: Perempuan Melawan Manipulasi

Movie Review

CHANGELING (2008)

“Integritas (Anda) versus Birokrasi (Dunia)”


Kapan terakhir kali kita melihat secercah asa yang nyaris padam oleh gelapnya kesewenang-wenangan dan tiupan angin manipulasi yang begitu dahsyat namun pada akhirnya keteguhan hatilah yang tetap bertahan dan memperoleh kemenangan gemilang?

Jangan sinis dulu. Mungkin terdengar agak naif tapi ini bukan cerita Cinderella yang cengeng. Bukan pula tema mutlak mengenai teologi (surga versus neraka) yang melelahkan. Tapi setidaknya anda perlu tau bahwa seorang filsuf eksistensialis-(anti)humanis seradikal Nietzsche pun mengamini bahwa jika anda percaya pada kekuatan yang ada di dalam diri anda, anda dapat mengalahkan dunia.

Kasus Prita Mulyasari beberapa waktu silam adalah contoh yang sangat baik dan merupakan petunjuk kuat tentang kisah serupa yang menjadi tema drama thriller ini.

Diangkat dari kisah nyata seorang ibu tunggal Christine Collins yang melaporkan anaknya Walter hilang suatu hari sepulang dari bekerja, film ini mengambil seting di Los Angeles tahun 1928 menjelang Masa Depresi Besar yang menghantam ekonomi Amerika dengan amat parah. Berbulan-bulan tak kunjung menerima respon yang memuaskan dari kepolisian serta-merta pihak gereja setempat yang mencermati masalah ini secara frontal mulai menyindir dan mengkritik kinerja kepolisian yang dinilai lamban dan tidak efektif. Sampai suatu ketika Christine yang tak pernah berhenti berharap kembalinya sang anak tiba-tiba menerima telepon yang mengabarkan bahwa putranya telah diketemukan. Sebagaimana seorang ibu yang memendam kerinduan yang sangat besar, Christine amat gembira mendengar kabar tersebut dan tak sabar untuk bergegas menemui putranya.

Tibalah hari besar yang dinanti-nanti itu, di bawah kawalan polisi juga para awak media yang ikut meliput, alangkah Christine sangat terkejut mengetahui bahwa bocah laki-laki yang dibawa ke hadapannya ternyata bukan anaknya. Anehnya, pihak kepolisian malah memaksa Christine mengakui bahwa bocah laki-laki itu sebagai anaknya. Tak tinggal diam, sembari mengumpulkan bukti untuk memastikan bahwa anak yang diserahkan padanya itu bukan anaknya, Christine mulai menggugat pihak kepolisian Los Angeles. Namun tindakannya tersebut rupanya memancing kemarahan departemen penegak hukum itu, selanjutnya mereka justru menyudutkan dan menuduh Christine mengalami gangguan kejiwaan akibat trauma berat pasca kehilangan anaknya hingga berhalusinasi yang bukan-bukan.

Christine Collins yang dilanda kebingungan mewakili perasaan kita semua yang lantas bertanya-tanya: apa yang sebenarnya terjadi? Dan ketika Christine mulai memaksa meminta kejelasan, di bawah perintah “Kode 12”, dia justru dijebloskan ke rumah sakit jiwa dan disiksa di sana.

Untuk dapat mengerti kompleksitas puzzle kasus yang dikisahkan di dalamnya, ada tujuh kepingan terpisah di dalamnya ditambah satu kepingan eksternal yang harus anda temukan dan pahami ketika menonton film ini:

1.       Christine Collins sebagai pihak penggugat
2.      Pihak kepolisian sebagai pihak tergugat
3.      Hilangnya Walter Collins sebagai  kasus 1
4.       Munculnya Walter Collins palsu sebagai kasus 2 
5.      Pelaku kejahatan terhadap anak-anak sebagai bukti
6.       Pihak gereja sebagai jaksa penuntut
 .       Masyarakat kota Los Angeles sebagai saksi
8.      Anda sebagai juri

Sebetulnya kasus Christine Collins dan hilangnya Walter si bocah malang bukan merupakan isu utama kebejatan pihak otoritas tapi ada sebuah skenario besar yang membuat kita (sebagai penonton) sangat prihatin ternyata ada hal-hal yang memang sengaja diciptakan dan direkayasa untuk membohongi publik. Politik telah sedemikian rupa mencekoki masyarakat dengan fakta-fakta palsu sekedar untuk membungkam mulut kita supaya diam dan tak melulu mempertanyakan bagaimana mereka menjalankan kewajiban utama mereka sebagai pelindung masyarakat. Nama Christine Collins kemudian mencuat dan menyita perhatian seisi kota ketika dia memutuskan mencari tau nasib anaknya dan sendirian melawan bayang-bayang hitam kelicikan birokrasi.

Sampai di titik ini, saya melihat Christine Collins bukan sebagai korban yang lemah dan tidak berdaya sampai harus mengemis-emis memohon pertolongan tapi sebagai ibu yang mempertaruhkan segalanya demi ditemukannya si buah hati. Orang-orang yang mengerti betapa menyakitkannya fakta yang terungkap dalam film ini akan bersepakat untuk menolak percaya pada institusi/lembaga penegak hukum yang korup dan tidak transparan. Apapun manifestasi perjuangannya, Christine Collins mewakili Prita, Marsinah, Nirmala Bonat juga berjuta-juta wanita yang diperlakukan secara kejam dan tidak adil. Inilah pesan utama dari film bertema humaniora feminis ini.

Kemunculan Jason Butler Harner sebagai sang penjagal anak dan aktris Amy Ryan yang sebelumnya bermain bagus dalam Gone Baby Gone (2007) dalam jajaran pemain pendukung menjadi nilai plus di dalamnya. Namun tampaknya, kelemahan terbesar film ini justu datang dari dua pelakon utama Angelina Jolie dan John Malkovich yang (menurut kapasitas saya) kurang memuaskan atau barangkali memang salah casting. Menampilkan sosok Christine Collins yang secara psikologis lemah lembut dan pasif, Jolie dengan sorot mata tajam dan sikap yang cenderung percaya diri, terlihat ganjil di mata saya. Dan, selain karena terlalu cantik, barangkali aura kebintangan Jolie memang menjadi kendala utama yang kelewat “dipaksakan” (untuk memerankan Collins). Malkovich lazimnya identik dengan karakter watak yang bermain-main dengan seksualitas dan keluar dari standar umum moralitas, dengan figur sopannya sebagai Pastur Briegleb, justru malah seperti singa yang kehilangan taring. Alhasil, penampilan Malkovich terlihat datar dan tidak mengikat emosi.

Changeling merupakan salah satu film terbaik aktris berbibir tebal yang dijuluki sebagai salah satu perempuan paling cantik di muka bumi, Angelina Jolie, usai sederet panjang kisah-kisah action non-substansial dan monoton seperti saga Tomb Raider (2001&2003), Gone in 60 Seconds (2000), Mr. & Mrs. Smith (2005), Wanted (2008), dan Salt (2010) yang merupakan imitasi murahan trilogi thriller spionase Bourne atau film-film mengecewakan yang menjual sensualitas bombastis semisal The Tourist (2010), Alexander (2005), Original Sin (2000), dan Pushing Tin (2000). Di sini, Jolie kembali berusaha menunjukkan kemampuannya dalam berakting yang menguras emosi setelah A Mighty Heart (2007), The Good Shepherd (2006) dan Girl, Interrupted (1999) yang berhasil memberinya Oscar untuk kategori “Best Supporting Actress”. Sutradara sekaligus aktor veteran Clint Eastwood menampilkan gambar berformat vintage dengan sentuhan matte yang tidak menonjolkan dominasi warna cerah namun tetap tajam dan nyaman untuk dilihat. Ending scene film ini menggambarkan kota Los Angeles lama yang terlihat amat memikat dengan efek dramatis bagai sebuah lukisan. Perlu diakui, ini salah satu karya apiknya dekade ini setelah Mystic River (2003), Million Dollar Baby (2004), Letters from Iwo Jima (2005), dan Flags of Our Fathers (2006).

Sayang, saya agak terlambat menonton film yang menjadi salah satu kontender Film Terbaik Cannes 2008 silam ini. Tapi saya tidak menyesal karena ada sebuah pelajaran penting yang saya petik di dalamnya. Semoga anda menemukannya pula setelah menontonnya.

-          F. Fajaryanto Suhardi


(16 Januari 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar