Jumat, 13 Januari 2012

Selamat Datang di Dunia “American Dream”: Membongkar Kebusukan di Balik Topeng “KELUARGA AMERIKA YANG IDEAL”


Movie Review
American Beauty (1999)

“INIKAH SISI ‘INDAH’ DARI POTRET KEBOBROKAN MORAL KELUARGA AMERIKA?”




Apa yang anda pikirkan ketika diminta membayangkan premis tentang keluarga Amerika yang ideal?

Sepasang suami-istri rupawan ala Tom Cruise dan Katie Holmes dianugerahi anak yang cantik dan menggemaskan seperti Suri Cruise. Tinggal di rumah idaman dengan fasilitas semewah istana raja dilengkapi kolam renang, jacuzzi, lift, taman tropis, lapangan tenis dan lapangan golf. Karir mapan dengan bayaran tinggi sehingga uang bukan lagi persoalan berarti – terlebih sekedar untuk memanjakan diri dengan bedah kosmetik dan botox agar terliat forever young dan memenuhi isi lemari dan koleksi sepatu buah hati yang mencapai nilai tiga juta dolar. Oh, apalagi? Keluarga panutan. Keluarga kristiani yang taat. Rumah tangga yang harmonis dimana para anggota keluarga satu sama lain saling mendukung. Tak ada percekcokan. Jauh dari ancaman perceraian (?). Yang ada hanyalah wajah-wajah ceria dengan senyum menawan seperti yang biasa kita temui di talkshow Oprah atau di sampul depan majalah People atau dalam iklan komersil di TV. Jika memang demikian persepsi anda, maaf, sayangnya kali ini ANDA SALAH BESAR.

Bagaimana kalau “wajah cantik” keluarga Amerika sebenarnya adalah sebuah ironi moral yang paradoksikal?

Dua puluh tahun menikah, Lester (Kevin Spacey) dan Carolyn Burnham (Annette Bening) adalah pasutri yang dihantui stres akibat fase midlife crisis (transisi paruh baya) berimbas pada suasana rumah tangga mereka yang lebih mirip “Perang Dingin” antara lain meliputi kejenuhan pernikahan, karir yang monoton dan tidak berkembang, persoalan ranjang, dan seorang putri dalam masa pubertas bernama Jane (Thora Birch) yang sinis dan acuh tak acuh. Dirundung bosan selama 14 tahun bekerja di perusahaan periklanan tanpa kenaikan karir, Lester malah memperburuk keadaan – berseteru dengan atasan barunya. Ujung-ujungnya, dia dipecat. Lain lagi Carolyn. Gagal menjadi agen real estate sukses, ia malah “terobsesi” dengan saingannya, Buddy “King” Kane (Peter Gallagher). Carolyn yang merasakan kegersangan dalam mahligai perkawinannya dan menganggap Lester seorang pecundang kemudian menemukan pelampiasan gairah dan nafsu pada Kane yang sekonyong-konyong mengajaknya bermitra bersama. Sementara itu, lewat “perkenalan” aneh dan tak biasa, Jane yang pemurung tiba-tiba berjumpa dengan Ricky Fitts (Wes Bentley), tetangga sebelah yang barusan pindah rumah. Ricky, pemuda freak berwajah serius itu diketahui mempunyai kebiasaan misterius yang cukup menakutkan: memata-matai kegiatan orang lain dengan handycam. Hal ini tentu membuat Jane gelisah dan merasa tidak aman. Setelah sekian lama merana akibat “ditelantarkan” oleh sang istri, kehadiran Angela (Mena Suvari), teman sekolah Jane – si pemandu sorak cantik berambut pirang dan bertubuh sintal nan menggoda – kontan menggugah jiwa laki-laki Lester “bangkit” kembali dari “mati suri”. Buruk baginya, perlahan Lester beralih menjadi pria menyedihkan yang hidup dalam fantasi-fantasi seks di bawah sihir aura kemudabeliaan Angela yang magis. Tradisi makan malam keluarga rupanya menjadi ajang pertarungan ego antara si suami dan si istri, tanpa sungkan-sungkan apatah malu lagi untuk saling melempar makian di hadapan sang anak – baik Lester maupun Carolyn, meski merasa muak satu sama lain namun dua-duanya tidak berani mengumbar kata “cerai” karena memikirkan ribetnya proses dan mahalnya ongkos perceraian di Amerika. Betul, sayang – dalam hal ini kita sedang berbicara soal uang.

Sering dengar selentingan berita yang mengabarkan tentang selebriti Hollywood yang bangkrut dan jatuh miskin? Jika ada gurauan pedas yang menyindir bahwasanya orang Amerika adalah bangsa yang manja, malas, suka berleha-leha, menyukai service dan segala yang berbau kemewahan, dan amat konsumtif – kiranya itu benar. Studi survei abad ini membuktikan bahwa 8 dari setiap 10 orang pekerja aktif di Amerika memiliki lebih dari satu kartu kedit. Tapi jangan pernah berpikir hidup di Amerika itu enak dan menyenangkan. Tak perlu kerja susah-susah, bisa sambil ongkang-ongkang kaki, duit datang. Anda keliru. Kehidupan dunia kapitalis Amerika ibarat rimba yang buas. Hukum seleksi alam berlaku di sana. Jika anda gagal, maka anda akan disingkirkan dan dibuang ke jalanan. Tak tahan tekanan manajer, Lester yang semula staf editor kemudian “turun pangkat” menjadi penjual burger. Faktanya, sangat banyak orang Amerika harus menjalani profesi ganda untuk menutup pengeluaran bulanan dan membayar tagihan hipotek dan tunggakan kartu kredit. Pada menit 12:52, adegan dimana Carolyn menangisi kegagalan karirnya – akan membantu anda untuk memahami kerasnya persaingan bisnis dan pekerjaan di Amerika. Dan sekali lagi, American Beauty mengajak kita menyaksikan betapa bagi masyarakat materialis Barat, dalam segala hal, uang “berbicara” paling powerful dari apapun. Walau kenyataannya pahit dan getir, dengan segala keramahan tata karma, American Beauty mengucapkan: selamat datang di dunia “Impian Amerika”.

Buka kembali kitab sejarah perfilman anda – masih ingat genre apa yang mendominasi film Hollywood akhir dekade ‘90an? Yup. Horor, komedi, dan kisah percintaan remaja. Pokoknya, all about teen. Sembari layar MTV kala itu diguncang joget-ria boyband pop seperti Backstreet Boys dan N Sync didampingi puteri-puteri bubblegum pop usia belasan taun, Britney Spears, Christina Aguilera, Jessica Simpson, dan Mandy Moore – di kolom serial remaja populer, setelah gemerlap Beverly Hills 90210 milik Aaron Spelling yang muncul awal ‘90an pudar, masih segar di ingatan bagaimana Dawson’s Creek yang secara reguler dibintangi kuartet James van der Beek, Katie Holmes, Michelle Williams, dan Joshua Jackson menjadi salah satu mata rantai simulasi kesuksesan serial remaja dekade 90an yang cukup digandrungi kalangan ABG dari seluruh dunia. Anda pasti belum lupa dengan film-film box office akhir 90an – selain dominasi tema-tema disaster seperti Armageddon (1998), Independence Day (1996), dan Titanic (1997) – melulu dibombardir film-film penebar pesona romantic comedy (romcom) khas remaja. Anda tentu masih ingat bagaimana Drew Barrymoore segera mengakhiri keterpurukan “tragedi bintang cilik” lewat Everafter: A Cinderella Story (1998) dan Never Been Kissed (1999), bukan? Atau sensasionalnya kemunculan Julia Stiles bersama (alm.) Heath Ledger dan Joseph Gordon-Levitt dalam 10 Things I Hate about You (1999) disusul She’s All That (1999) dan segudang lagi kisah romcom sejenis lainnya? Lalu komedi puber dengan sentilan-sentilan “jorok” seperti There’s Something about Mary (1998) dan American Pie (1999)? Di dunia horor dan thriller remaja – seakan meneruskan tongkat estafet seri petualangan horor mistis Louise Robey (yang sekilas mirip Julia Roberts itu) dalam Friday the 13th akhir ‘80an, kemudian pertengahan ‘90an muncul seri Buffy the Vampire Slayer yang menjadikan nama Sarah Michelle Gellar begitu lekat dengan tema-tema horor remaja. Kemudian muncul film-film remaja berbumbu misteri seperti Urban Legend (1998), The Faculty (1998), Disturbing Behavior (1998), Idle Hands (1999), The Wild Things (1998) plus trilogi Scream yang menghantarkan bintang seri Party of Five, Neve Campbell memperoleh julukan “The New Queen of Slasher Movie” menggantikan Jamie Lee Curtis yang dua dekade sebelumnya memperoleh predikat tersebut berkat horor waralaba serupa yang melegendaris hingga kini: Halloween. Tak mau ketinggalan, sesama rekan mainnya dalam Party of Five, Juminten Love Duit – ups! maksud saya, Jennifer Love Hewitt – juga ikut-ikutan menjajal archetype horor bunuh-bunuhan semacamnya dalam I Know What You Did Last Summer (1997) dan sekuelnya.

Lantas apa hubungannya? Well, saya tidak akan membahas film-film coming age di atas tapi American Beauty agaknya bisa dikatakan “memanfaatkan” booming momentum tersebut untuk mencuri perhatian kalangan penikmat film dari generasi yang lebih muda, yakni para remaja. Bagaimana tidak – bayangkan dengan memasang tiga bintang utama (Birch, Suvari, dan Bentley) yang adalah aktor-aktris remaja cute di eranya yang menjadi simbol “kemudaan, kebebasan, pemberontakan, dan aktualisasi jati diri” kemudian dikisahkan “berselisih” dengan aktor-aktris senior (Spacey, Bening, Cooper, Janney) pemeran orangtua mereka yang seolah mewakili citra “tua, kolot, jadul, dan konservatif” (bila ditengok dari kacamata remaja) – maka serta-merta pola ini seolah merujuk pada arch-story film-film ABG bertema serupa di masanya sebutlahThe Faculty dimana sekelompok murid bersatu melawan para guru atau Disturbing Behavior yang mengargumentasi tindakan disipliner pihak sekolah terhadap anak badung sebagai bentuk perampasan integritas individu oleh suatu otoritas berkekuasaan. Ini merupakan simbolisme pemberontakan jiwa remaja yang demikian kuat merefleksikan kenaifan generasi muda yang senantiasa ingin tumbuh dewasa tanpa kekangan, cambukan, dan intimidasi. Tapi The Faculty dan muluk-muluknya konspirasi alien? Disturbing Behavior yang memperumit ide antara sikap bertanggung jawab dengan eksesifnya paranoia program cuci otak tersembunyi? Tentu saja dalam aspek kematangan cerita dan perkembangan plot, level American Beauty tidaklah serendah dua film remaja tersebut.

Jangan lengah, begitu adegan film dibuka, anda tentu akan sungguh-sungguh “tertipu” mengira American Beauty semurahan flick film teen-thriller lazimnya – mengambil induk tema besar: juvenile delinquency alias kenakalan remaja. Perhatikanlah – saat disorot handycam, Thora Birch yang bermalas-malasan di atas tempat tidur berceloteh dengan lagak lancang dan sok cool khas ABG, menantang: “Ayahku benar-benar tidak bisa dijadikan contoh. Tua bangka yang tidak bisa menyembunyikan nafsu di balik celana pendeknya saat aku pulang membawa teman cewek dari sekolah. Sungguh memalukan. Aku ingin orangtua semenyedihkan itu dilenyapkan saja dari dunia ini. Bersediakah kau membunuhnya untukku?” Prolog sensasional tersebut jelas me-resemble formula “jahat” Leigh Ann (Katie Holmes) ketika menyajikan premis film Teaching Mrs. Tingle (1999): “Bu Tingle. Guru sialan itu telah menghancurkan impianku menjadi lulusan terbaik di sekolah. Kini saatnya penyihir wanita itu menerima balasan setimpal atas perbuatannya.” Atau Cruel Intentions (1999) dengan perangkap-perangkap busuk dari dua belia kakak-beradik tiri (Ryan Phillipe dan Sarah Michelle Gellar) yang sama-sama berhati serigala – saking sugih-gemugihnya gara-gara keturunan aristocrat dan saking engga ada kerjaan dan saking haus dengan permainan-permainan gila penuh tantangan sampai-sampai memelihara hobi se-“sakit”: “merusak para perawan yang menjadi simbol kebanggaan sekolah mereka”.

Belum lagi kehadiran Angela sebagai tipikalisasi ABG centil yang banyak oceh dan sok gaul “menambah kuat” kesan kalau ini benar-benar sebuah film remaja. Lalu partner in crime Jane, Ricky Fitts – walau tidak hebat tapi diperani cukup meyakinkan oleh Wes Bentley – menjadi cerminan remaja laki-laki pemberontak yang dingin dan apatis. Figurnya yang kalem dan tak banyak cingcong bagaimanapun tetap menjadi sosok dream prince yang sempurna bagi ABG perempuan pemuja musik grunge dan punk seperti Kurt Cobain dan Sid Vicious. Mengapa bisa? Ricky menjadi karakter impian remaja yang berpenampilan nerd, culun, dan pendiam tapi diam-diam perilakunya bagai api dalam sekam. Sungguh ironis – dengan jurus selihai tupai, ia kerap menggobloki orang yang lebih tua. Pada awal-awal film, kita tidak akan menyadari betapa Ricky “sukses” menipu orangtuanya, termasuk kita semua – di balik wajah manis dan senyum simpatik – ternyata adalah seorang pengedar narkoba mumpuni. Istilah anak jaman sekarang menyebut Ricky sebagai “cowok yang kickin’ ass.” Namun agaknya, bagi para ABG yang demikian tergila-gila dengan predikat “gaul” dan seloroh senyinyis “masalah buat elo?”, American Beauty akan menjadi tontonan yang bikin kepala mumet dan otak salto ria. Karena twist remaja terbukti hanya menjadi pemanis saja dalam film ini, karena sesudah opening scene yang “gegayaan” itu, cerita dari awal sampai penutupan film ternyata diporsikan dari sudut pandang Lester, si bapak. (A-ha! Anda tertipu.)

Berangkat dari sineas pertelevisian, drama-drama besutan Sam Mendes yang baru bercerai dari si cantik Kate Winslet dua tahun lalu dikenal menyerempet ke arah non-mainstream sehingga banyak memuat adegan yang terkesan berani bahkan cenderung seronok bagi sebagian penonton – salah satu buktinya American Beauty yang menjadi gebrakan debut layar lebarnya dan langsung memboyong Oscar 1999 untuk “Film Terbaik” dan “Sutradara Terbaik” untuk Mendes sendiri. Dalam konteks imajinasi - ketika Lester berfantasi tentang mandi kembang mawar merah darah menyimbolkan kebeliaan dan kesegarceriaan Angel si dara jelita yang masih bau kencur - dengan “meminjam” inspirasi sensualitas dan eksotisme dari magical-realism Gabriel Garcia-Marquez lewat sejumlah karyanya, yaitu kumpulan cerpen La Hojarasca (Leaf Storm) (1955) disusul novel solid One Hundred Year of Solitude (1967) yang mempopulerkan keberadaan desa fiktif bernama Macondo yang diliputi aura mistis, film ini disajikan dengan penuh penjiwaan oleh Mendes sebagaimana ia memanglah seorang sutradara yang dekat dengan tema-tema yang bermuara pada keluarga, seks, dan konflik pertentangan terhadap nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat – bisa anda tengok dari salah satu drama besutan terakhirnya yang mengadaptasi novel Richard Yates, Revolutionary Road (2008) mereunikan dua mega-bintang Titanic (1997) Leonardo DiCaprio dan mantan istrinya, Kate Winslet – seraya merangkul pula tema besar film-film romantis dan drama keluarga yang membanjiri sepanjang dekade 90an.

American Beauty merupakan kritik satir yang tajam dengan “legowo” mengumbar sisi gelap dan buruk dari keluarga Amerika yang dipenuhi intrik, kemunafikan, kepura-puraan, tipu-daya, dan perselingkuhan dirangkum dalam sebuah drama surealis-impulsif tapi tetap setia menaati pakem – saya lebih suka menyebutnya sebagai dark comedy – berdurasi dua jam penuh. Menyajikan isu perzinahan dan pedofilia (sadarkah anda bahwa nama Lester Burnham adalah anagram dari “Humbert learns” mengacu pada novel Lolita Vladimir Nabokov yang demikian kontroversial karena tema obsesi pedofilia yang panas?) – film ini akan membikin anda miris, tertawa sinis, bahkan tak jarang (dalam hati) mengutuki karakter-karakter bejat yang ditampilkan dengan penuh kepiawaian berkat jajaran cast yang tepat. Namun, setelah kesucian pernikahan dan esensi maknawiah keluarga sebagai lembaga paling inti dalam strata sosial dibombardir, diobrak-abrik, ditelanjangi, dan dipermalukan –  secara mengejutkan, film ini memunculkan suatu energi positif yang tak terbantahkan – yaitu sebuah pesan hangat yang menutup segala luka: CINTA. Awalnya penuh percekcokan dan goncangan hebat, namun American Beauty menjadi ruang meditasi yang hangat bagi jiwa anda untuk menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan terbesar dalam hidup anda – tentang siapa anda dan (terutama) bagaimana anda menjalankan peran sebagai orangtua.

Siapa bilang lelaki akan dibilang cengeng dan banci bila menonton drama? Tengoklah American Beauty. Beginilah cara Mendes menyajikan drama maskulin yang sensitif – berbeda dari drama-drama Scorsese yang lazimnya menjanjikan maskulinitas “garang”.  Dengan tiga tema besar:
Heteroseksual Eksklusif (Lester- Carolyn, Jane-Ricky, Buddy-Carolyn, Lester-Angela)
Heteroseksual Abu-abu (Lester-Ricky)
Heteroseksual Palsu (Kolonel Fitts-Nyonya Fitts)
Film ini menggali queer theory (istilah yang lazim dipakai dalam diskusi mengenai homoseksualitas dan seksualitas non-hetero lainnya) secara efektif mengungkapkan apa yang terjadi pada manusia yang sejatinya adalah gay-in-denial [1] perihalnya Kolonel Frank Fitts (Chris Cooper) yang malu mengungkap jati dirinya yang sebenarnya karena kebanggaan dirinya seorang purnawirawan tentara: lalu kawinlah dia dengan seorang perempuan, beranak, berlaku kaku, keras, dan otoriter, dan ikut-ikutan mengejek pasangan homo tetangganya mengimitasi lingkungan sosialnya yang homofobik.  Lalu apa hasil akhir dari semua sandiwara ini? Nyonya Fitts (Allison Janney) menjadi contoh istri – perempuan malang – yang terganggu mentalnya akibat menjadi korban potret “keluarga Amerika ideal” yang palsu. Sementara Kolonel Fitts sendiri di balik topeng kemunafikan yang terus dipeliharanya, dalam batin dia tersiksa ketika harus mengkhianati perasaannya sendiri demi menjaga citra agar tidak dicemooh dan dihina masyarakat bahwa sesungguhnya dia juga seorang gay – sama seperti kaum homo yang dia cemooh dan dia anggap menjijikkan selama ini.

Ricky mungkin sosok rebellious tapi dapat dikatakan dia adalah pelurusan dari karakter Kolonel Fitts, ayahnya, yang penuh kepura-puraan. Sebagai karakter maskulin yang menjembatani emosi penonton, Bentley membantu kita mengerti arti keindahan dari kesederhanaan – dari obyek-obyek yang ia tangkap melalui lensa handycam. Saya tidak pernah begitu bersimpatik pada Kevin Spacey: Se7en (1995)? The Usual Suspects (1995)? Superman Returns (2006)? 21 (2008)? Karakter-karakter antagonis yang berlagak sok cool? Meehh… (-_-)  – tapi lewat karakter Lester Burnham yang dia mainkan dengan luar biasa – dia benar-benar layak mendapatkan Oscar kali ini. Bertepatan dengan peringatan kemerdekaan AS, Spacey mengajak kita menyelami sebuah keindahan bernama “American Reality” yang tersembunyi di balik permukaan “American Dream” yang cantik hanya tampilan luarnya saja.  Memang, awalnya karakter Lester begitu menjengkelkan: korup, egois, maniak seks yang berusaha mengambil keuntungan dari kebingungan seorang gadis muda yang jiwanya tersesat – namun Spacey mengajarkan kepada kita bagaimana menekan tombol yang benar di saat kesempatan untuk berbuat jahat itu ada dan tiba-tiba semuanya berbalik arah hingga di akhir cerita, anda akan memutuskan Lester sebagai seorang pahlawan keluarga. Ayah yang hebat. Suami yang hebat. (Saya tau ini sudah terlambat tapi bagaimanapun) Selamat hari ayah.

-   F. Fajaryanto Suhardi

(31 Desember 2010)
(Revisi: 3 Juli 2012)

Catatan kaki:

[1] The American Psychology Association secara resmi menyatakan:
“Homosexuality is not a mental disorder and thus there is no need for a cure.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar