Movie Review
American Beauty (1999)
Apa yang anda pikirkan ketika diminta membayangkan premis tentang
keluarga Amerika yang ideal?
Bagaimana kalau “wajah cantik” keluarga Amerika sebenarnya adalah sebuah ironi moral yang paradoksikal?
Dua puluh tahun menikah, Lester (Kevin Spacey) dan Carolyn Burnham
(Annette Bening) adalah pasutri yang dihantui stres akibat fase midlife crisis (transisi
paruh baya) berimbas pada suasana rumah tangga mereka yang lebih mirip “Perang
Dingin” antara lain meliputi kejenuhan pernikahan, karir yang monoton
dan tidak berkembang, persoalan ranjang, dan seorang putri dalam masa pubertas
bernama Jane (Thora Birch) yang sinis dan acuh tak acuh. Dirundung bosan selama
14 tahun bekerja di perusahaan periklanan tanpa kenaikan karir, Lester malah
memperburuk keadaan – berseteru dengan atasan barunya. Ujung-ujungnya, dia
dipecat. Lain lagi Carolyn. Gagal menjadi agen real estate sukses, ia malah “terobsesi” dengan saingannya, Buddy “King”
Kane (Peter Gallagher). Carolyn yang merasakan kegersangan dalam mahligai perkawinannya
dan menganggap Lester seorang pecundang kemudian menemukan pelampiasan gairah
dan nafsu pada Kane yang sekonyong-konyong mengajaknya bermitra bersama.
Sementara itu, lewat “perkenalan” aneh dan tak biasa, Jane yang pemurung
tiba-tiba berjumpa dengan Ricky Fitts (Wes Bentley), tetangga sebelah yang
barusan pindah rumah. Ricky, pemuda freak
berwajah serius itu diketahui mempunyai kebiasaan misterius yang cukup
menakutkan: memata-matai kegiatan orang lain dengan handycam. Hal ini tentu membuat Jane gelisah dan merasa tidak aman.
Setelah sekian lama merana akibat “ditelantarkan” oleh sang istri, kehadiran
Angela (Mena Suvari), teman sekolah Jane – si pemandu sorak cantik berambut
pirang dan bertubuh sintal nan menggoda – kontan menggugah jiwa laki-laki
Lester “bangkit” kembali dari “mati suri”. Buruk baginya, perlahan Lester
beralih menjadi pria menyedihkan yang hidup dalam fantasi-fantasi seks di bawah
sihir aura kemudabeliaan Angela yang magis. Tradisi makan malam keluarga rupanya
menjadi ajang pertarungan ego antara si suami dan si istri, tanpa
sungkan-sungkan apatah malu lagi untuk saling melempar makian di hadapan sang anak
– baik Lester maupun Carolyn, meski merasa muak satu sama lain namun dua-duanya
tidak berani mengumbar kata “cerai” karena memikirkan ribetnya proses dan mahalnya
ongkos perceraian di Amerika. Betul, sayang
– dalam hal ini kita sedang berbicara soal uang.
Sering dengar selentingan berita yang mengabarkan tentang selebriti
Hollywood yang bangkrut dan jatuh miskin? Jika ada gurauan pedas yang menyindir
bahwasanya orang Amerika adalah bangsa yang manja, malas, suka berleha-leha, menyukai
service dan segala yang berbau
kemewahan, dan amat konsumtif – kiranya itu benar. Studi survei abad ini
membuktikan bahwa 8 dari setiap 10 orang pekerja aktif di Amerika memiliki
lebih dari satu kartu kedit. Tapi jangan pernah berpikir hidup di Amerika itu enak
dan menyenangkan. Tak perlu kerja susah-susah, bisa sambil ongkang-ongkang
kaki, duit datang. Anda keliru. Kehidupan dunia kapitalis Amerika ibarat rimba
yang buas. Hukum seleksi alam berlaku di sana. Jika anda gagal, maka anda akan
disingkirkan dan dibuang ke jalanan. Tak tahan tekanan manajer, Lester yang
semula staf editor kemudian “turun pangkat” menjadi penjual burger. Faktanya, sangat
banyak orang Amerika harus menjalani profesi ganda untuk menutup pengeluaran
bulanan dan membayar tagihan hipotek dan tunggakan kartu kredit. Pada menit
12:52, adegan dimana Carolyn menangisi kegagalan karirnya – akan membantu anda
untuk memahami kerasnya persaingan bisnis dan pekerjaan di Amerika. Dan sekali lagi,
American Beauty mengajak kita
menyaksikan betapa bagi masyarakat materialis Barat, dalam segala hal, uang “berbicara”
paling powerful dari apapun. Walau
kenyataannya pahit dan getir, dengan segala keramahan tata karma, American Beauty mengucapkan: selamat
datang di dunia “Impian Amerika”.
Buka kembali kitab sejarah perfilman anda – masih ingat genre apa
yang mendominasi film Hollywood akhir dekade ‘90an? Yup. Horor, komedi, dan
kisah percintaan remaja. Pokoknya, all
about teen. Sembari layar MTV kala itu diguncang joget-ria boyband pop seperti Backstreet Boys dan
N Sync didampingi puteri-puteri bubblegum pop usia belasan taun, Britney Spears,
Christina Aguilera, Jessica Simpson, dan Mandy Moore – di kolom serial remaja populer, setelah gemerlap Beverly Hills 90210 milik Aaron Spelling yang muncul awal ‘90an
pudar, masih segar di ingatan bagaimana Dawson’s
Creek yang secara reguler dibintangi kuartet James van der Beek, Katie
Holmes, Michelle Williams, dan Joshua Jackson menjadi salah satu mata rantai simulasi
kesuksesan serial remaja dekade 90an yang cukup digandrungi kalangan ABG dari seluruh
dunia. Anda pasti belum lupa dengan film-film box office akhir 90an – selain dominasi tema-tema disaster seperti Armageddon (1998), Independence
Day (1996), dan Titanic (1997) – melulu
dibombardir film-film penebar pesona romantic
comedy (romcom) khas remaja. Anda tentu masih ingat bagaimana Drew
Barrymoore segera mengakhiri keterpurukan “tragedi bintang cilik” lewat Everafter: A Cinderella Story (1998) dan
Never Been Kissed (1999), bukan? Atau
sensasionalnya kemunculan Julia Stiles bersama (alm.) Heath Ledger dan Joseph
Gordon-Levitt dalam 10 Things I Hate
about You (1999) disusul She’s All
That (1999) dan segudang lagi kisah romcom sejenis lainnya? Lalu komedi puber
dengan sentilan-sentilan “jorok” seperti There’s
Something about Mary (1998) dan American
Pie (1999)? Di dunia horor dan thriller
remaja – seakan meneruskan tongkat estafet seri petualangan horor mistis Louise
Robey (yang sekilas mirip Julia Roberts itu) dalam Friday the 13th akhir ‘80an, kemudian pertengahan ‘90an
muncul seri Buffy the Vampire Slayer yang
menjadikan nama Sarah Michelle Gellar begitu lekat dengan tema-tema horor
remaja. Kemudian muncul film-film remaja berbumbu misteri seperti Urban Legend (1998), The Faculty (1998), Disturbing Behavior (1998), Idle
Hands (1999), The Wild Things
(1998) plus trilogi Scream yang
menghantarkan bintang seri Party of Five,
Neve Campbell memperoleh julukan “The New Queen of Slasher Movie” menggantikan
Jamie Lee Curtis yang dua dekade sebelumnya memperoleh predikat tersebut berkat
horor waralaba serupa yang melegendaris hingga kini: Halloween. Tak mau ketinggalan, sesama rekan mainnya dalam Party of Five, Juminten Love Duit – ups!
maksud saya, Jennifer Love Hewitt – juga ikut-ikutan menjajal archetype horor bunuh-bunuhan semacamnya
dalam I Know What You Did Last Summer
(1997) dan sekuelnya.
Lantas apa hubungannya? Well,
saya tidak akan membahas film-film coming
age di atas tapi American Beauty
agaknya bisa dikatakan “memanfaatkan” booming
momentum tersebut untuk mencuri perhatian kalangan penikmat film dari
generasi yang lebih muda, yakni para remaja. Bagaimana tidak – bayangkan dengan
memasang tiga bintang utama (Birch, Suvari, dan Bentley) yang adalah
aktor-aktris remaja cute di eranya yang
menjadi simbol “kemudaan, kebebasan, pemberontakan, dan aktualisasi jati diri” kemudian
dikisahkan “berselisih” dengan aktor-aktris senior (Spacey, Bening, Cooper,
Janney) pemeran orangtua mereka yang seolah mewakili citra “tua, kolot, jadul,
dan konservatif” (bila ditengok dari kacamata remaja) – maka serta-merta pola
ini seolah merujuk pada arch-story film-film
ABG bertema serupa di masanya sebutlahThe
Faculty dimana sekelompok murid bersatu melawan para guru atau Disturbing Behavior yang mengargumentasi
tindakan disipliner pihak sekolah terhadap anak badung sebagai bentuk
perampasan integritas individu oleh suatu otoritas berkekuasaan. Ini merupakan
simbolisme pemberontakan jiwa remaja yang demikian kuat merefleksikan kenaifan
generasi muda yang senantiasa ingin tumbuh dewasa tanpa kekangan, cambukan, dan
intimidasi. Tapi The Faculty dan
muluk-muluknya konspirasi alien? Disturbing
Behavior yang memperumit ide antara sikap bertanggung jawab dengan
eksesifnya paranoia program cuci otak tersembunyi? Tentu saja dalam aspek
kematangan cerita dan perkembangan plot, level American Beauty tidaklah serendah dua film remaja tersebut.
Jangan lengah, begitu adegan film dibuka, anda tentu akan sungguh-sungguh
“tertipu” mengira American Beauty semurahan
flick film teen-thriller lazimnya – mengambil induk tema besar: juvenile delinquency alias kenakalan
remaja. Perhatikanlah – saat disorot handycam,
Thora Birch yang bermalas-malasan di atas tempat tidur berceloteh dengan lagak
lancang dan sok cool khas ABG,
menantang: “Ayahku benar-benar tidak bisa
dijadikan contoh. Tua bangka yang tidak bisa menyembunyikan nafsu di balik
celana pendeknya saat aku pulang membawa teman cewek dari sekolah. Sungguh
memalukan. Aku ingin orangtua semenyedihkan itu dilenyapkan saja dari dunia ini.
Bersediakah kau membunuhnya untukku?” Prolog sensasional tersebut jelas me-resemble formula “jahat” Leigh Ann
(Katie Holmes) ketika menyajikan premis film Teaching Mrs. Tingle (1999): “Bu Tingle. Guru sialan itu telah menghancurkan
impianku menjadi lulusan terbaik di sekolah. Kini saatnya penyihir wanita itu
menerima balasan setimpal atas perbuatannya.” Atau Cruel Intentions (1999)
dengan perangkap-perangkap busuk dari dua belia kakak-beradik tiri (Ryan
Phillipe dan Sarah Michelle Gellar) yang sama-sama berhati serigala – saking
sugih-gemugihnya gara-gara keturunan aristocrat dan saking engga ada kerjaan dan saking haus dengan permainan-permainan gila penuh
tantangan sampai-sampai memelihara hobi se-“sakit”: “merusak para perawan yang menjadi simbol kebanggaan sekolah mereka”.
Belum lagi kehadiran Angela sebagai tipikalisasi
ABG centil yang banyak oceh dan sok gaul “menambah kuat” kesan kalau ini
benar-benar sebuah film remaja. Lalu partner
in crime Jane, Ricky Fitts – walau tidak hebat tapi diperani cukup meyakinkan
oleh Wes Bentley – menjadi cerminan remaja laki-laki pemberontak yang dingin
dan apatis. Figurnya yang kalem dan tak banyak cingcong bagaimanapun tetap
menjadi sosok dream prince yang
sempurna bagi ABG perempuan pemuja musik grunge
dan punk seperti Kurt Cobain dan Sid
Vicious. Mengapa bisa? Ricky menjadi karakter impian remaja yang berpenampilan nerd, culun, dan pendiam tapi diam-diam
perilakunya bagai api dalam sekam. Sungguh ironis – dengan jurus selihai tupai,
ia kerap menggobloki orang yang lebih tua. Pada awal-awal film, kita tidak akan
menyadari betapa Ricky “sukses” menipu orangtuanya, termasuk kita semua – di
balik wajah manis dan senyum simpatik – ternyata adalah seorang pengedar
narkoba mumpuni. Istilah anak jaman sekarang menyebut Ricky sebagai “cowok yang
kickin’ ass.” Namun agaknya, bagi
para ABG yang demikian tergila-gila dengan predikat “gaul” dan seloroh
senyinyis “masalah buat elo?”, American Beauty akan menjadi tontonan yang
bikin kepala mumet dan otak salto ria. Karena twist remaja terbukti hanya menjadi pemanis saja dalam film ini,
karena sesudah opening scene yang
“gegayaan” itu, cerita dari awal sampai penutupan film ternyata diporsikan dari
sudut pandang Lester, si bapak. (A-ha! Anda tertipu.)
Berangkat dari sineas pertelevisian, drama-drama besutan Sam
Mendes yang baru bercerai dari si cantik Kate Winslet dua tahun lalu dikenal
menyerempet ke arah non-mainstream
sehingga banyak memuat adegan yang terkesan
berani bahkan cenderung seronok bagi sebagian penonton – salah satu
buktinya American Beauty yang menjadi
gebrakan debut layar lebarnya dan langsung memboyong Oscar 1999 untuk “Film
Terbaik” dan “Sutradara Terbaik” untuk Mendes sendiri. Dalam konteks imajinasi - ketika Lester berfantasi tentang mandi kembang mawar merah darah menyimbolkan kebeliaan dan kesegarceriaan Angel si dara jelita yang masih bau kencur - dengan “meminjam” inspirasi sensualitas dan eksotisme dari magical-realism Gabriel Garcia-Marquez lewat sejumlah karyanya,
yaitu kumpulan cerpen La Hojarasca (Leaf Storm) (1955) disusul novel solid One Hundred Year of Solitude (1967) yang
mempopulerkan keberadaan desa fiktif bernama Macondo yang diliputi aura mistis,
film ini disajikan dengan penuh penjiwaan oleh Mendes sebagaimana ia memanglah
seorang sutradara yang dekat dengan tema-tema yang bermuara pada keluarga,
seks, dan konflik pertentangan terhadap nilai-nilai yang ada di dalam
masyarakat – bisa anda tengok dari salah satu drama besutan terakhirnya yang
mengadaptasi novel Richard Yates, Revolutionary
Road (2008) mereunikan dua mega-bintang Titanic
(1997) Leonardo DiCaprio dan mantan istrinya, Kate Winslet – seraya merangkul
pula tema besar film-film romantis dan drama keluarga yang membanjiri sepanjang
dekade 90an.
American Beauty merupakan
kritik satir yang tajam dengan “legowo” mengumbar sisi gelap dan buruk dari
keluarga Amerika yang dipenuhi intrik, kemunafikan, kepura-puraan, tipu-daya,
dan perselingkuhan dirangkum dalam sebuah drama surealis-impulsif tapi tetap
setia menaati pakem – saya lebih suka menyebutnya sebagai dark comedy – berdurasi dua jam penuh. Menyajikan
isu perzinahan dan pedofilia (sadarkah anda bahwa nama Lester Burnham adalah
anagram dari “Humbert learns” mengacu pada novel Lolita Vladimir Nabokov yang demikian kontroversial karena tema
obsesi pedofilia yang panas?) – film
ini akan membikin anda miris, tertawa sinis, bahkan tak jarang (dalam hati)
mengutuki karakter-karakter bejat yang ditampilkan dengan penuh kepiawaian
berkat jajaran cast yang tepat. Namun,
setelah kesucian pernikahan dan esensi maknawiah keluarga sebagai lembaga
paling inti dalam strata sosial dibombardir, diobrak-abrik, ditelanjangi, dan
dipermalukan – secara
mengejutkan, film ini memunculkan suatu energi positif yang tak terbantahkan –
yaitu sebuah pesan hangat yang menutup segala luka: CINTA. Awalnya penuh percekcokan dan goncangan
hebat, namun American Beauty menjadi
ruang meditasi yang hangat bagi jiwa anda untuk menemukan jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan terbesar dalam hidup anda – tentang siapa anda dan
(terutama) bagaimana anda menjalankan peran sebagai orangtua.
Siapa bilang lelaki akan dibilang cengeng dan banci
bila menonton drama? Tengoklah American
Beauty. Beginilah cara Mendes menyajikan drama maskulin yang sensitif –
berbeda dari drama-drama Scorsese yang lazimnya menjanjikan maskulinitas
“garang”. Dengan tiga tema besar:
Heteroseksual Eksklusif (Lester- Carolyn, Jane-Ricky, Buddy-Carolyn, Lester-Angela)
Heteroseksual Abu-abu (Lester-Ricky)
Heteroseksual Palsu (Kolonel Fitts-Nyonya Fitts)
Film ini menggali queer theory (istilah yang lazim dipakai dalam diskusi mengenai homoseksualitas dan seksualitas non-hetero lainnya) secara efektif mengungkapkan apa yang terjadi pada manusia yang sejatinya adalah gay-in-denial [1] perihalnya Kolonel Frank Fitts (Chris Cooper) yang malu mengungkap jati dirinya yang sebenarnya karena kebanggaan dirinya seorang purnawirawan tentara: lalu kawinlah dia dengan seorang perempuan, beranak, berlaku kaku, keras, dan otoriter, dan ikut-ikutan mengejek pasangan homo tetangganya mengimitasi lingkungan sosialnya yang homofobik. Lalu apa hasil akhir dari semua sandiwara ini? Nyonya Fitts (Allison Janney) menjadi contoh istri – perempuan malang – yang terganggu mentalnya akibat menjadi korban potret “keluarga Amerika ideal” yang palsu. Sementara Kolonel Fitts sendiri di balik topeng kemunafikan yang terus dipeliharanya, dalam batin dia tersiksa ketika harus mengkhianati perasaannya sendiri demi menjaga citra agar tidak dicemooh dan dihina masyarakat bahwa sesungguhnya dia juga seorang gay – sama seperti kaum homo yang dia cemooh dan dia anggap menjijikkan selama ini.
Heteroseksual Eksklusif (Lester- Carolyn, Jane-Ricky, Buddy-Carolyn, Lester-Angela)
Heteroseksual Abu-abu (Lester-Ricky)
Heteroseksual Palsu (Kolonel Fitts-Nyonya Fitts)
Film ini menggali queer theory (istilah yang lazim dipakai dalam diskusi mengenai homoseksualitas dan seksualitas non-hetero lainnya) secara efektif mengungkapkan apa yang terjadi pada manusia yang sejatinya adalah gay-in-denial [1] perihalnya Kolonel Frank Fitts (Chris Cooper) yang malu mengungkap jati dirinya yang sebenarnya karena kebanggaan dirinya seorang purnawirawan tentara: lalu kawinlah dia dengan seorang perempuan, beranak, berlaku kaku, keras, dan otoriter, dan ikut-ikutan mengejek pasangan homo tetangganya mengimitasi lingkungan sosialnya yang homofobik. Lalu apa hasil akhir dari semua sandiwara ini? Nyonya Fitts (Allison Janney) menjadi contoh istri – perempuan malang – yang terganggu mentalnya akibat menjadi korban potret “keluarga Amerika ideal” yang palsu. Sementara Kolonel Fitts sendiri di balik topeng kemunafikan yang terus dipeliharanya, dalam batin dia tersiksa ketika harus mengkhianati perasaannya sendiri demi menjaga citra agar tidak dicemooh dan dihina masyarakat bahwa sesungguhnya dia juga seorang gay – sama seperti kaum homo yang dia cemooh dan dia anggap menjijikkan selama ini.
Ricky mungkin sosok rebellious
tapi dapat dikatakan dia adalah pelurusan dari karakter Kolonel Fitts, ayahnya, yang penuh
kepura-puraan. Sebagai karakter maskulin yang menjembatani emosi penonton,
Bentley membantu kita mengerti arti keindahan dari kesederhanaan – dari
obyek-obyek yang ia tangkap melalui lensa handycam.
Saya tidak pernah begitu bersimpatik pada Kevin Spacey: Se7en (1995)? The Usual
Suspects (1995)? Superman Returns (2006)?
21 (2008)? Karakter-karakter
antagonis yang berlagak sok cool?
Meehh… (-_-) – tapi lewat karakter
Lester Burnham yang dia mainkan dengan luar biasa – dia benar-benar layak mendapatkan
Oscar kali ini. Bertepatan dengan peringatan kemerdekaan AS, Spacey mengajak
kita menyelami sebuah keindahan bernama “American Reality” yang tersembunyi di
balik permukaan “American Dream” yang cantik hanya tampilan luarnya saja. Memang, awalnya karakter Lester begitu
menjengkelkan: korup, egois, maniak seks yang berusaha mengambil keuntungan dari
kebingungan seorang gadis muda yang jiwanya tersesat – namun Spacey mengajarkan
kepada kita bagaimana menekan tombol yang benar di saat kesempatan untuk berbuat jahat
itu ada dan tiba-tiba semuanya berbalik arah hingga di akhir cerita, anda akan
memutuskan Lester sebagai seorang pahlawan keluarga. Ayah yang hebat. Suami
yang hebat. (Saya tau ini sudah terlambat tapi bagaimanapun) Selamat hari ayah.
- F. Fajaryanto Suhardi
(31 Desember 2010)
(Revisi: 3 Juli 2012)
Catatan kaki:
[1] The American Psychology Association secara resmi menyatakan:
“Homosexuality is not a mental disorder and thus there is no need for a cure.”
[1] The American Psychology Association secara resmi menyatakan:
“Homosexuality is not a mental disorder and thus there is no need for a cure.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar