Jumat, 13 Januari 2012

Pahlawan (Tidak) Selalu Orang Baik

Movie Review


The Dark Knight (2008)



“Dekonstruksi Archetype Sosok Pahlawan: Tuntutan untuk Menjadi Bengis, Kejam, dan Tak Kenal Kompromi di Tengah Kemelut Politik, Pemerintahan yang Korup, Kejahatan Mafia yang Tak Terkendali, dan Kepercayaan Masyarakat yang Luntur terhadap Hukum”







S
aya tidak pernah membayangkan sebelumnya jika Christopher Nolan berhasil menciptakan film yang notabene diangkat dari komik anak-anak karangan Bob Kane menjadi tontonan dewasa penuh sensasi dan secara intens menegangkan. Dan o-la-la! – walhasil, The Dark Knight menjadi satu dari dua film superhero terbaik yang pernah saya tonton selama ini – satu lagi Watchmen (2009).


Bagi anda yang mengikuti cerita sang manusia kelelawar dari reboot Batman versi Nolan pada warsa 2005, seolah meretas jeda tiga tahun dari installment pertama --- satu tahun setelah Letnan Gordon menunjukkan kartu bergambar joker kepada Batman pada ending Batman Begins, film ini melanjutkan perjuangan milyuner Bruce Wayne memerangi kejahatan di sebuah kota megapolitan fiktif bernama Gotham City. Mengambil kepingan dari dunia nyata, Gotham City merupakan representasi kehidupan sosial-ekonomi-politik kota-kota besar dunia seperti New York, London, Paris – dan Jakarta – yang identik dengan hiruk pikuk dan kekisruhan seputar masalah keadilan, carut-marut politik, brutalisme mafia, transaksi obat bius, dan kejahatan yang merajalela dimana-mana. Masyarakat terabaikan dan pemerintah menutup mata tidak peduli sementara hukum dikebiri dan dibiarkan menggantung tak berdaya.


Dalam situasi penuh ketidakpastian ini, muncullah Bruce Wayne di balik topeng yang gelap dan misterius – identitas barunya sebagai Batman – pada momen ini bertindak bukan sebagai seorang pahlawan kesiangan yang sedang mencari ketenaran atau superhero bersenjata modern yang arogan dan haus pujian tapi anggota masyarakat yang pernah mengalami kekejaman dan ketidakberuntungan dimana ketika masih kecil kedua orangtuanya dibunuh oleh seorang miskin-papa yang hanya ingin segenggam receh dan secuil roti. Menyaksikan orang-orang yang harusnya peduli dan tegas menegakkan kebijakan publik yang melindungi masyarakat justru "loyo”, tak mampu berbuat banyak – malah “main aman” dengan membiarkan mafia berkeliaran di jalan sembari sibuk menjajakan citra diri sebagai elit politik yang pintar – beginilah kiranya Nolan menyampaikan kritiknya pada dunia melalui sosok Bruce Wayne: pria penyendiri yang terus dihantui trauma pahit itu lantas memutuskan menggunakan apa yang ia miliki untuk menumpas kejahatan – dengan caranya sendiri, dengan tangannya sendiri. Nolan pun membangkitkan kesadaran Wayne sepenuhnya akan konsekuensi bahwa di luar sana tidak ada yang bisa dia percayai dan orang-orang pun tidak mudah begitu saja percaya padanya.


Menurut perspektif film ini, Batman lebih diterima dalam sebagai vigilante, yaitu pelaku penumpasan kejahatan di luar dalam sistem penegakan hukum yang berwenang dan diakui secara legal yaitu kepolisian. Jika boleh diasumsikan dalam kehidupan riil – menurut telaah studi perilaku sosial sesuai hukum penyelenggaraan ketatanegaraan sekuler sebagaimana dipaparkan John Locke dan J.J. Rousseau[1] – kelompok atau orang-orang (mengingat status Batman adalah pelaku tunggal) semacam ini dapat dianggap sebagai pelaku non-kejahatan (pihak ke-4) namun mengganggu proses penegakan hukum karena melakukan tindakan keras terhadap pelaku kejahatan (pihak ke-2) berdasarkan evaluasi pribadi yang lemah, rentan subyektivitas, dan tidak berlandaskan peraturan perundangan yang sah. Mereka bisa disamakan dalam kategori sebagai penjahat pula. Meskipun akhirnya diketahui bukan seorang pemburu hadiah (renegade), motivasi Batman sesungguhnya melakukan tindakan radikal semacam ini masih menjadi tanda tanya besar publik dan terutama kepolisian. Sehingga tidak mengherankan jika kemudian dalam setiap menjalankan aksinya, meskipun kedua belah pihak merupakan benda cair – memiliki misi yang sama – oleh karena perbedaan prinsipil yang saling bertentangan, maka secara kongkret Batman dan pihak kepolisian ibarat air dan minyak.


Kadang saya suka ngakak sendiri membaca komik-komik superhero yang serba khayal, otomatis ajaib – tapi Batman berbeda dari Superman atau Spiderman. Batman bukan manusia super dengan kekuatan supranatural yang mematikan. Dia tidak bisa terbang atau mengeluarkan sinar laser dari matanya atau memunculkan jaring dari dalam pori-pori. Dengan cermat memperhitungkan kekuatan, kecepatan, dan ketepatan – dia hanya manusia biasa yang diperlengkapi alat-alat dan senjata dalam memerangi musuh – maka kemudian citra Batman cenderung lebih alami dan dapat berterima di mata orang awam.


“Why so serious?”


Kalimah sakti yang muncul saban kali Joker mulai mendemonstrasikan atraksi biadab dalam aksi badutnya. Sebetulnya itu semacam sindiran pedas penuh kemarahan. Wahai manusia, kenapa kita mesti begitu serius menghadapi problema hidup?


Tanpa membuang waktu bertele-tele menceritakan masa lalu Joker dan penyebab kegilaannya, Nolan mempersiapkan karakter Joker dengan sangat matang untuk tampil sebagai pemain kunci dalam permainan jahat ini. Joker menciptakan teror bukan dari eksploitasi kemahadayaan iblis dalam dirinya, tapi dia membaca ketakutan orang lain dan mewujudkannya. Joker tidak membabi-buta mengeluarkan senjata dan mulai menembaki di keramaian – hanya sekedar memperkenalkan “sedikit” anarki bak melempar bola api ke dalam kilangan minyak – tanpa diduga-duga, dia merangkai perangkap yang mengerikan bagai seorang jenius memainkan bidak catur. Dia akan membuat anda menyerahkan ratu demi keselamatan raja. Jika anda tidak ingin mati, maka akan ada orang lain yang mati untuk menggantikan anda.


Lupakan Bruce Wayne yang bergaya parlente dan charming ala James Bond sebelum era Daniel Craig. Tak perlu didebat, Christian Bale memang bukan aktor yang berwajah jelek tapi di sini anda akan lupa siapa Bale dan pesonanya sebagai bintang papan atas Hollywood. Meskipun memang terlihat resik, Bale membiarkan penampilannya natural sehingga tidak sepantasnya kita membandingkannya dengan Brad Pitt atau Tom Cruise. Sebagai Bruce Wayne baru dengan meniadakan imej lama yang dibawa Michael Keaton, Val Kilmer, dan George Clooney; Bale yang terbiasa berakting dalam film-film bagus dan bermutu non-box office tidak berusaha merebut simpati penonton dengan sikap manis atau kegenitan memainkan sex appeal terhadap lawan jenis. Di tangannya, Batman menjadi figur yang benar-benar berbeda dari Bruce Wayne. Kita akan menemukan karakter yang kompleks di sini. Karakter yang berperang dengan batinnya sendiri – diperhadapkan diskrepansi etik antara kebaikan dengan kebenaran. Untuk kamuflase di depan publik, Bruce Wayne tak ubahnya seperti kebanyakan konglomerat muda – mata keranjang, brengsek, dan apatis. Namun dalam balutan kostum Batman, dia berubah menjadi sosok yang kejam, bengis, dan tak kenal ampun memerangi kejahatan – namun demikian, tampaknya dialah satu-satunya orang yang sensitif dan satu-satunya harapan yang dimiliki oleh masyarakat kota itu di tengah keputusasaan akan keadilan.


Untung saja, Katie Holmes tidak lagi memerankan Rachel Dawes dan digantikan oleh aktris berwajah sayu, Maggie Gyllenhaal – kalau tidak, mungkin itu akan menjadi nila setitik dalam susu sebelanga. Gyllenhaal tidaklah cantik – saya heran jika ada yang bilang demikian – tapi dia jelas berkarakter (sudah pernah nonton Secretary (2002)?) sehingga sosok Rachel versinya jauh terliat lebih menarik ketimbang yang dibawakan Holmes dalam Batman Begins yang malah membuat saya selalu terbayang-bayang pada karakter Joey dalam Dawson’s Creek. Oke, siapa yang bisa menyangkal kalau Holmes memanglah ayu – tapi memerankan sosok perempuan intelek (dengan meyakinkan)? Sayangnya, sejauh ini nona Holmes tidak (belum) berhasil membuat audiens percaya. Jajaran cast pendukung lain juga patut dipuji. Tidak bergantung pada nama besar aktor/aktris tertentu. Sementara Morgan Freeman dan Michael Caine tetap terpelihara statusnya sebagai aktor legendaris, Nolan tidak takut memasang aktor yang biasa bermain di film kelas C seperti Eric Roberts dan Michael Jai White atau yang karirnya kala itu sedang redup-redupnya seperti Gary Oldman. Kredit tertinggi selayaknya diberikan kepada mendiang Heath Ledger. Dianugerahi Oscar sebagai Aktor Pendukung Terbaik (Best Supporting Actor), ia telah dengan begitu cemerlang menghidupkan karakter Joker sehingga di dalam ingatan kita, Joker versi Ledger menjadi salah satu karakter penjahat paling menakutkan yang pernah ada. Ini menandai selama tiga tahun berturut-turut (2007-2009) Oscar “Best Supporting Actor” disematkan pada tiga penjahat paling mematikan yang pernah muncul dalam film: Anton Chigurh (Bardem), Joker (Ledger), dan Hans Landa (Waltz). Ironisnya, tanpa pernah sekalipun menominasikan aktor yang berperan sebagai superhero, Academy Awards yang dikenal demikian “santun”, bermartabat, dan mengagungkan falsafah humanisme justru (diam-diam) malah “mengidolakan” karakter-karakter super villain – menurut anda, sinyal apakah ini?


Saya menyukai konsep realistis yang ditawarkan The Dark Knight. Sosok Batman seolah-olah terasa begitu nyata dan dekat (saya tidak sedang mencontek slogan salah satu provider seluler Tanah Air) dengan kawasan kumuh, saluran pembuangan air atau gang-gang kecil yang gelap dan berbau busuk di pinggiran kota tempat para gembel berteduh dan bermalam. Kehadiran superhero tidak digambarkan sebagai dewa penolong turun dari khayangan dengan kemilau keindahan yang mempesona. Batman tidak dibalut dalam kostum warna-warni atau yang terlalu memusingkan detail tapi justru malah merusak imej suram dan kelam yang sengaja ingin diciptakan. Jika anda dulu sempat menganggap Batman and Robin-nya Michael Bay dan Jerry Bruckheimer keren, maka setelah menonton The Dark Knight, saya yakin anda akan tertawa geli dan memuntahkan ludah yang sudah anda telan. Kostum glossy berbahan lateks lengkap dengan puting palsu, set megah dan sensasional yang menghabiskan dana jutaan dolar, naskah asal jadi dan dialog kacangan – ada lagi yang lebih buruk dari semua itu?


Pun ide Nolan menggunakan Chicago sebagai seting film ini jadi nilai plus tersendiri karena kota tersebut memiliki sense yang misterius dan muram. Tidak seperti New York yang bising dan ramai hingar-bingar atau Los Angeles yang kelewat glamor dan colorful – Chicago adalah kota Midwestern didominasi gedung-gedung tua warna abu-abu – kota tua yang kaya warisan budaya Amerika modern klasik abad 20 seperti musik jazz dan blues serta kisah-kisah detektif misteri dengan semaraknya pemandangan malam kota dan karakter-karakter bermantel gelap, bertopi fedora – sangat cocok dengan gambaran kota Gotham dalam versi komiknya.


Christopher Nolan yang keranjingan merekam film dengan kamera IMAX – membangun adegan emosional dan cinta dalam film ini bukan seperti kebanyakan film Hollywood yang penuh dramatisasi dan romantika hiperbolis tapi melalui pertanyaan-pertanyaan retoris yang getir: Mengapa kematian? Mengapa kehilangan? Mengapa pukulan emosi bertubi-tubi? Tanpa ba-bi-bu basa-basi, Nolan membawa sudut pandang laki-laki dalam menggambarkan kerumitan hubungan antara dua orang kekasih – laki-laki dan perempuan – ketika cinta itu terpenuhi tidak ada bahasa yang lebih indah dari cium mesra dan sisanya adalah kepala yang terangkat – sikap yang tegar dan tidak cengeng menghadapi kehidupan yang keras karena kenyataan yang kita hadapi seringkali teramat pahit dan tragis – terasa begitu sulit untuk dilalui tapi Nolan menepuk pundak kita agar bangkit dari keterpurukan, meluruskan kaki, dan melangkah lagi.


Namun dengan sanjungan tinggi-tinggi, apakah lantas film ini tak bercela? Saya punya argumen tersendiri. Menengok lebih dalam, niscaya kritik terbesar yang patut dilayangkan pada Nolan adalah ideologi EGOSENTRIS yang sengaja ditonjolkannya. Tak ubahnya film-film super materialis yang pol-polan pamer mekanika progresif dan kecanggihan mesin seperti Transformers dan sejenisnya – melulu menjual: SEN-SA-SI – menitikberatkan skema penuh eksplosif, teknik beladiri “tak terkalahkan”, aksi stunt yang sungguh (kelewat) spektakuler seperti melompat dari gedung pencakar langit atau jatuh dari ketinggian super ekstrem tanpa luka berarti, jujur saja, The Dark Knight tetap tak bisa menghilangkan kesan “gagah-gagahan” dan “besar kepala” di mata saya. Namun apa yang bisa anda harapkan dari sebuah film pop dengan gelontoran biaya produksi mencapai 180 juta dolar AS? Warner Bros tentu saja emoh rugi. Meskipun tiap akhir taun studio-studio besar rajin pula merilis film-film berbobot sebagai partisipator dalam perhelatan Oscar, namun tak dapat dipungkiri bahwa dana pembuatannya banyak “dipinjam” dari surplus laba atas pesatnya total pemasukan pada barometer box-office berkat film-film komersil semacam ini – bukan dari film-film nominator bahkan pemenang Oscar yang justru banyak bikin studio film nombok karena drama-drama “sederhana” yang mengangkat tema-tema berat dan susah dicerna, genre model begini umumnya minim sekali dilirik moviegoers. Mayoritas orang engga doyan jamu, lebih suka minum softdrinks. Tak perlu memaksakan selera karena memang demikianlah faktanya. Lagipula, film superhero mana lagi sih yang dapat menggabungkan skrip yang matang, suspense yang rapi, dan akting jahat yang ikonik dikemas sedemikian “cantik” hingga menjadi produk komersil yang berkualitas tinggi? Dalam hal ini, Nolan telah menunjukkan hasil kerja yang sangat baik – lalu, haruskah kita tetap ngotot menyalahkan Nolan?


Sekejap, mitos dan olok-olok bahwa film superhero tidak dewasa dan kekanakan diberangus oleh The Dark Knight yang nyatanya sukses menembus nominasi Oscar untuk “Film Terbaik” bersaing dengan Slumdog Millionaire Danny Boyle yang demikian kuat memancarkan pesona Asia lewat kecantikan orientalisme. Walau secara pribadi lebih menjagokan The Curious Case of Benjamin Button dari seluruh kandidat “Film Terbaik” Oscar taun tersebut, saya tidak keberatan jika The Dark Knight yang memenanginya – sebab rasanya kita tidak akan pernah menjumpai lagi film yang mampu me-“manusia”-kan jagoan kartun sebaik ini – meskipun akhirnya dipupuskan oleh Slumdog Millionaire yang berhasil menyabet gelar tersebut sebagai imbas dari gelombang euforia politik global saat itu pasca terpilihnya Barack Obama menjadi Presiden kulit hitam AS pertama dengan mengedepankan promosi: “Amerika lebih dekat dengan Dunia Ketiga”. Meski seperti yang kita telah ketahui bersama bagaimana Oscar tumbuh besar sebagai ajang penghargaan yang penuh pertimbangan dan tak jarang penuh kejutan – jadi, jangan patah arang bagi anda pecinta film komik, karena ini justru jadi modal kuat bagi sekuel terbaru garapan Nolan untuk menggenggam dan mengobarkan panji tema taunan selanjutnya. Mungkin taun ini jika kiranya AMPAS sudi untuk melirik eksistensi superhero – dan bila memang berkenan, mungkin The Dark Knight Rises yang sekaligus penutup trilogi manusia kelelawar ini akan memperoleh kehormatan itu (Film Terbaik). (Walau terdengar bagai mimpi di siang bolong tapi ini bukan mustahil,) Semoga.

Pesan terkuat dari sekuel ini adalah ketika anda berada di tengah kubangan lumpur, mustahil rasanya untuk menjaga tubuh anda tetap bersih tapi ada hal penting yang harus anda perhatikan agar anda tidak menjadi sama seperti babi. Bermain-main dengan kejahatan, anda tidak dapat bermain dengan lembut dan lunak, tapi anda harus sadar di titik mana anda memutuskan berdiri karena itu akan menjadi satu-satunya hakikat yang menentukan apakah anda berbeda atau tak ubahnya seorang kriminal.

-       F. Fajaryanto Suhardi

(26 Desember 2010)
(Revisi: 10 Juli 2012)


[1] Meskipun Rousseau dan Locke menyiratkan kepercayaannya bahwa manusia adalah mahluk “suci” dan “baik adanya” ketika dilahirkan sebelum terkontaminasi oleh substansi luar, tapi dia tetap menekankan bahwa ketika manusia beranjak dewasa lalu mulai menyadari dan menentukan tujuan-tujuan hidupnya, diperlukan instrumen-instrumen sah berkekuasaan yang berfungsi membatasi manusia dari tindakan sewenang-wenang yang dapat membahayakan keseimbangan kehidupan bermasyarakat, yaitu meliputi negara, hukum, dan aparatur-aparaturnya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar