Jumat, 13 Januari 2012

Tuhan Menakdirkan Manusia sebagai Makhluk yang Saling Membenci (?)

Movie Review

Babel (2006)

"Distopia Imperium Global: Jurang Diskriminasi Manusia di Tengah Konflik Peradaban akibat Ketakmafhuman Antar-Budaya, Islamophobia & Xenophobia sebagai Manifestasi Arogansi Ras Kaukasoid, dan Stigma Ambivalen terhadap Orientalisme Dunia Ketiga"



B : Bangsa
A : Agama
B : Budaya
E : Etnisitas
L : Linguistika

Lima faktor besar yang memicu terjadinya konflik dan perpecahan di muka bumi ini pada umumnya.  Anda boleh saja membantahnya tapi mari kita uji bersama lewat sebuah pertanyaan sederhana: Apakah di dalam hati yang paling jujur, anda memiliki kecurigaan/sentimen negatif/kebencian terhadap ras atau suku atau orang-orang dari latar belakang agama tertentu? Bila iya, maka kisah yang satu ini memang tepat untuk anda.

Meksiko-Amerika Serikat-Maroko-Jepang.

Ada apa dengan keempat negara tersebut?

Mulanya sepasang turis suami istri Richard (Brad Pitt) dan Susan Jones (Cate Blanchett) dari San Diego yang bergabung berlibur ke Maroko bersama  bis rombongan turis bule lainnya. Lumrahnya turis Amerika angkuh yang menganggap dirinya sebagai bagian masyarakat kulit putih yang ‘beradab’ dan well-educated, Susan yang sebetulnya enggan menghabiskan liburan di negeri antah-berantah sunyi, gersang dan tak ada indah-indahnya itu lantas menolak minuman kaleng bersoda pesanannya ditambahkan es dari gubuk makan setempat – buru-buru mengoleskan hand-sanitizer, dia bahkan tak sudi memakai perkakas makan mereka. “Buang esnya dari gelasmu. Kita tak tau es itu dibikin dari air apa,” hardiknya seraya menyambar dan membuang coke bercampur es dari gelas sang suami.

Tak jauh di situ ada dua bocah lokal kakak-beradik Ahmed (Said Tarchini) dan Yussef (Boubker Ait El Caid) sedang menggembalakan ternak di dataran tinggi berbatu. Mereka baru saja memperoleh sebuah senapan laras panjang jenis Winchester M70 kaliber 270 pemberian ayah Abdullah (Mustapha Rachidi) mereka yang dibeli dari seorang kerabat dekat bernama Hassan (Abdelkader Bara), untuk membunuh dan mengusir kawanan serigala yang kerap memangsa kambing-kambing mereka. Senapan berburu tentu bukanlah barang berbahaya jika ada di tangan orang dewasa yang dianggap mengerti akan tanggung jawab, namun bila diberikan pada anak-anak maka akan lain ceritanya. Layaknya bocah polos yang masih senang bermain-main dan tak faham resiko, keduanya kemudian tak sabar mengetes jarak tembak senjata itu. Mengira senapan itu tak mampu menjangkau jarak tiga kilometer sebagaimana yang dikatakan oleh Hassan, dengan sembrono mereka mulai main tembak-tembakan dengan “sasaran tembak” jarak jauh. Mulanya batu kecil lalu batu besar kemudian beralih ke mobil jip sampai bis turis yang sedang melintasi jalan raya pun tak ayal menjadi sasaran tembak mereka.

Di Jepang, seorang gadis belia tuna rungu (Rinko Kikuchi) Chieko Wataya yang baru saja ditinggal ibunya yang tewas bunuh diri mengalami frustasi secara seksual karena tak ada satupun lelaki yang mau menjadi pacarnya. Kebanyakan laki-laki yang didekatinya kabur menjauh karena  ketidaksempurnaan fisiknya itu. Bersama sahabatnya yang juga bisu-tuli, dia pergi dari satu tempat ke tempat lain, dari taman kota sampai ke kelab malam berpetualang mencari pelampiasan seks. Dengan hampa, dia kembali ke apartemen dan bertemu dua orang detektif polisi yang ingin bertemu dengan ayahnya. Dirundung kecemasan dan tanda tanya atas perkara delik yang tengah menjerat sang ayah, gadis itu tiba-tiba merasa tertarik pada salah seorang polisi yang masih muda dan tampan. Mengira polisi memburu ayahnya atas sangkaan keterlibatan di balik kematian ibunya, sendirian, dia pun mengundang polisi muda (Satoshi Nikaido) itu kembali ke sana kemudian seraya merangkai jaring erotika yang nelangsa, dia memberikan keterangan palsu. Tapi ternyata polisi itu hanya ingin menginterogasi ayahnya atas status kepemilikan sebuah senapan laras panjang yang digunakan untuk “kegiatan terorisme” oleh dua orang bocah Maroko yang masih ingusan.

Di San Diego, Amelia (Adriana Barraza) yang mengasuh Mike (Nathan Gamble) dan Debbie Jones (Elle Fanning) sejak bayi dilanda kebingungan karena keinginannya mudik ke Meksiko untuk menghadiri pernikahan putranya tidak direstui oleh majikannya, Richard yang tengah panik berada dalam situasi genting di Maroko. Setelah meminta pertolongan teman-teman sesama PRT untuk menitipkan mereka berdua sementara waktu tidak membuahkan hasil, dia pun akhirnya menghubungi keponakannya yang begundal, Santiago (Gael Garcia Bernal), lalu nekat memboyong kedua bocah itu melakukan perjalanan lintas negara penuh resiko menuju Meksiko yang terkenal di seluruh dunia sebagai sarang mafia narkotik, kejahatan penyelundupan manusia, perdagangan wanita dan anak-anak, dan maraknya aksi pembantaian ala gangster.

Pertama kali menyaksikan film ini, saya terhenyak oleh refleksi visional sang sutradara dalam konteks cerdas namun tak terikat berhasil menyajikan tayangan yang sanggup memompa emosi secara frontal melalui tutur cerita sehari-hari yang dinyana amatlah sederhana dan lumrah menjadi sebuah alur yang disatukan dari kepingan-kepingan cerita yang demikian kompleks dan menyentuh. Film ini unggul sebagai sebuah tontonan yang sarat muatan rasial-politis multidimensional. Ada banyak hal yang bisa kupas di sini seperti kegagalan dunia Barat memahami budaya non-Barat yang tercermin melalui sikap arogan ras Kaukasoid terhadap teritori lingkungan Islamis dan nuansa orientalis penduduk ibukota negara tergolong terbelakang seperti Meksiko dan Maroko yang ramai diwarnai hiruk-pikuk warga lokal, kesemrawutan, dan antusiasme spontan. Sebagai orang Barat yang melek wawasan dan perkembangan informasi terkini, Susan yang mewakili cara pandang puluhan turis bule lainnya dalam rombongan bis tentu sadar dengan kemungkinan ancaman penculikan, pembunuhan, serangan bom bunuh diri terhadap warga kulit putih oleh kaum Muslim radikal dan ekstremis Timur Tengah seperti yang rutin dibesar-besarkan oleh media Barat lantas melihat Maroko – representasi dunia Islam yang lazimnya diwarnai pemandangan warga laki-lakinya berjubah putih dan kaum wanitanya memakai kerudung dan cadar hitam – sebagai lubang sarang serigala yang menakutkan. Sehingga subconsciously mereka pun lantas menginternalisasi fobia terhadap dunia Muslim yang berakibat pada ketakutan orang bule pada setiap orang asing yang dianggap mencurigakan dan terkesan membahayakan (xenophobia). Hal serupa juga berlaku pada masyarakat Kaukasoid Amerika yang notabene memandang rendah imigran miskin dari Meksiko yang dianggap tidak terdidik, bodoh, kumuh, tidak taat aturan, beringas, dan liar. Namun justru ketakutan-ketakutan itu sendiri muncul karena ketidakmafhuman Dunia Barat pada masyarakat dan budaya Islam dan geliat Orientalisme Dunia Ketiga. Seperti sekuens yang sengaja menyorot jajanan Meksiko yang dijajakan di pinggir jalanan berdebu dan penuh dikerubungi lalat untuk tujuan memprovokasi reaksi miris penonton (terutama orang Barat, masyarakat modernis, dan kaum fasis yang demikian mengagungkan kemewahan, kecantikan, dan keresikan) atau sekuens di jalanan perbatasan antar-negara yang memampang rambu-rambu bergambar laki-laki, wanita dan anak-anak yang tampak sedang menyeberang jalan tapi secara semiotik justru menegaskan peringatan keras terhadap kejahatan imigrasi gelap karena dibubuhi kata “WANTED”. Isu-isu politis relijius semacam ini tidak diumbar secara eksplisit dalam Babel namun menjadi ambivalensi psikologis utama dimana karakter Richard dan Susan memang tidak terang-terangan menegaskan kebencian mereka terhadap Islam dan Hispanik yang konon penuh kekerasan, tapi tanpa terbantahkan lagi, stigma itu jelas tercermin dari reaksi dan perilaku mereka. Fobia tersebut bahkan sengaja mereka tularkan pada anak-anak mereka.

“Mama bilang Meksiko adalah negara yang sangat berbahaya.”
-          Mike Jones (Nathan Gamble)

Sebagai sebuah kisah anarki tanpa mengumbar kekerasan membabi-buta, Babel mengajak kita merenungkan kembali makna hakiki jati diri sebuah bangsa. Bagaimana sebuah kecerobohan “ringan” menyulut reaksi yang luar biasa kejam dan mencabik-cabik harga diri. Saya tidak sedang berusaha membenarkan apa yang diperbuat Yussef maupun Amelia, tapi melalui film ini, anda akan disuguhi fakta tentang betapa timpang dan lalimnya perlakuan Dunia Barat terhadap Dunia Ketiga. Kita tak ubahnya seperti keset bagi mereka. Seiring gencarnya politik luar negeri Amerika memerangi isu terorisme paska Tragedi 11 September dan Bom Bali yang berimbas pada pelaksanaan misi penghancuran Taliban di Afghanistan dan operasi militer di Irak, media asing dan para rombongan turis bule yang neurotik hiperbolis dan mudah terpancing kepanikan dengan entengnya menyimpulkan penembakan yang terjadi sebagai serangan teroris. Lalu atas desakan pemerintah federal AS, pemerintah setempat mengirimkan sebuah heli khusus demi untuk menolong Susan yang terkena peluru nyasar secara jelas menunjukkan gambaran eksklusivitas status kewarganegaraan AS yang berbanding terbalik dengan perlakuan yang diterima keluarga Hassan dan si bocah Yussef yang ditangkap dan digebuki seperti maling sementara dia dipaksa “menelan pil pahit” kehilangan abangnya yang terbunuh oleh berondongan peluru polisi internasional Maroko. Atau bagaimana zholim-nya kebijakan regional Amerika dalam upaya membendung gelombang imigran gelap terutama dari Meksiko yang terus bertambah dari tahun ke tahun yang dianggap membahayakan, atas nama penegakan hukum federal yang tegas dan tak pandang bulu, nasib Mike dan Debbie lantas “terselamatkan” berkat jaminan hukum federal yang berpihak pada kepentingan kulit putih sementara Amelia kehilangan hak atas rumah hasil kerja kerasnya selama 16 tahun dan harus merelakan diri dideportasi dari negara adidaya tersebut selamanya. Semua ketidakadilan yang dialami Yussef dan Amelia itu terjadi usai sebuah kesalahan sesaat yang mengubah segalanya. Sebuah keisengan anak-anak dan keinginan sederhana seorang ibu yang harus diganjar hukuman amat berat ketika tiba-tiba memicu sebuah peristiwa antar-manusia antar-keluarga antar-bangsa yang sungguh tragis dan menyesakkan dada.

Anda keliru jika mengira kita beruntung ketika teknologi Barat/Jepang datang dan menyentuh setiap sendi kehidupan masyarakat Dunia Ketiga. Lihat bagaimana si bocah malang Yussef yang tak mengerti apa-apa dan besar oleh didikan alam yang keras tiba-tiba menjadi seorang tersangka utama pelaku terorisme setelah “tanpa sengaja” menembak seorang turis asing. Pistol bukan mainan. Samuel Colt yang menciptakan pistol Revolver paham itu. Tapi anak-anak (termasuk orang dewasa) terutama di negara konsumeris-postkolonialis seperti Maroko dan Indonesia yang dengan mudahnya mencintai barang impor entah itu senjata berbahaya atau gadget canggih jelas tak menyadari atau mempedulikan resikonya. Mereka hanya menginginkan kesenangan. Sehingga tak heran video kamera ponsel beralih fungsi dari alat rekam momen pribadi menjadi moda distribusi cybersex dan pornografi seperti kasus yang menjerat seorang vokalis band ternama Tanah Air yang sangat menghebohkan tahun silam juga ribuan kasus video asusila serupa lainnya yang kini dengan suka hati dan tanpa malu-malu lagi dilakonkan oleh kawula muda dan para pelajar Indonesia. Saya rasa mendiang Steve Jobs pun akan sependapat. Mungkin kegagapan teknologi inilah yang pantas diselorohkan sebagai “ndeso”.

Dan lucunya, film ini seakan menampilkan ironi atas ekspektasi Barat untuk melakukan revolusi modernisasi dunia [1]: SENJATA MAKAN TUAN.
Senjata buatan Amerika Serikat à seorang turis Jepang yang gemar berburu mengapresiasi dan membelinya à senjata itu diberikan sebagai hadiah kepada penduduk lokal Maroko à senjata diuji coba à seorang warga Amerika sekarat setelah tak sengaja tertembak oleh senjata tersebut.

<blah!>

Di luar sutradara ternama Hollywood yang dalam film-filmnya justru menjual rationale du capital et dulce yang terbukti sukses menghipnotis publik dunia – terutama masyarakat di negara-negara Dunia Ketiga yang dengan tabah menelan bulat-bulat brainwashing idea Barat lewat iming-iming keindahan visual dan godaan materi – untuk mengamini superioritas ras kulit putih dan Yahudi melalui penegakan dan pelanggengan budaya sekuler Barat melalui struktur, gambar, komoditi, perilaku, dan sudut pandang; kita masih punya sejumlah nama yang memperlihatkan gairah tak jemu-jemu untuk membedah tema-tema kritis seputar isu global, salah satunya Alejandro Gonzalez Inarritu. Film yang menggabungkan empat lokasi pengambilan gambar yang berbeda di empat negara dengan menerapkan sistem ensemble cast dimana selama proses penyutingan para aktor yang berada dalam scene berbeda tidak bertemu satu sama lain (misalnya meskipun memerankan orangtua dan anak, prakteknya Brad Pitt dan Cate Blanchett tidak pernah satu frame dengan Elle Fanning dan Nathan Gamble) ini merupakan karya sang sutradara berdarah Meksiko yang memperoleh sambutan positif dari kritikus film internasional setelah 21 Grams (2003) dan Amores perros (2000). Secara pribadi, saya menilai film ini berdasarkan ketelitian penggarapan, plot dan naturalitas cerita, dan pewatakan karakter (terutama penampilan bagus aktor anak-anak amatir Maroko pemeran Yussef, Boubker Ait El Caid, serta dua aktris non-Kaukasoid, Adriana Barraza dan Rinko Kikuchi) lebih baik daripada film bertema serupa garapan Paul Haggis yang secara tak terduga berhasil menyabet Oscar untuk “Best Picture” tahun 2005 silam, Crash, setelah berhasil menyingkirkan drama beraroma homoseksualis besutan sutradara Taiwan Ang Lee namun justru banyak dijagokan oleh kalangan kritikus film, Brokeback Mountain. Meskipun berhasil memenangi kategori “Best Drama” dalam ajang Golden Globe awal tahun 2007 silam, konon ketika Babel dirilis, film ini kabarnya mendapat sambutan “dingin” dari publik Amerika sehingga pemasukan dari penjualan tiket bioskop di Amerika Utara cukup rendah jika dibandingkan dengan animo penonton dari luar AS yang justru lebih antusiastis. Hal ini mengindikasikan gairah penonton di Amerika terhadap drama bernuansa rasial-politis yang secara tajam menyindir dunia Barat menurun drastis. Entah bosan atau barangkali masyarakat AS sebal terus-menerus dikritik sehingga juri Oscar pun akhirnya memutuskan kategori Film Terbaik tahun 2006 jatuh pada The Departed yang kemudian menuai kontroversi karena dinilai menjiplak mentah-mentah Internal Affairs (2002), film drama thriller Asia dibintangi Andy Lau dan Tony Leung Chiu-Wai.

Menengok pada judul film ini, anda mungkin bertanya-tanya: apa itu BABEL? Bagi anda umat Nasrani (atau yang pernah memeluk agama tersebut) tentu tak asing lagi dengan istilah tersebut (setidaknya jika ketika kanak-kanak dulu anda rajin mengikuti Sekolah Minggu). Nama “Babel” mengacu pada legenda sebuah kota kuno dimana terdapat suatu menara yang konon pernah dibangun hingga puncaknya mencapai langit di masa Bumi Muda menurut perhitungan Alkitab diperkirakan pada 3000 SM.

Kejadian 11:1-9 (Terjemahan Baru):

11:1 Adapun seluruh bumi, satu bahasanya dan satu logatnya.
11:2 Maka berangkatlah mereka ke sebelah timur dan menjumpai tanah datar di tanah Sinear, lalu menetaplah mereka di sana.
11:3 Mereka berkata seorang kepada yang lain: "Marilah kita membuat batu bata dan membakarnya baik-baik." Lalu bata itulah dipakai mereka sebagai batu dan tér gala-gala sebagai tanah liat.
11:4 Juga kata mereka: "Marilah kita dirikan bagi kita sebuah kota dengan sebuah menara yang puncaknya sampai ke langit, dan marilah kita cari nama, supaya kita jangan terserak ke seluruh bumi."
11:5 Lalu turunlah TUHAN untuk melihat kota dan menara yang didirikan oleh anak-anak manusia itu,
11:6 dan Ia berfirman: "Mereka ini satu bangsa dengan satu bahasa untuk semuanya. Ini barulah permulaan usaha mereka; mulai dari sekarang apa pun juga yang mereka rencanakan, tidak ada yang tidak akan dapat terlaksana.
11:7 Baiklah Kita turun dan mengacaubalaukan di sana bahasa mereka, sehingga mereka tidak mengerti lagi bahasa masing-masing."
11:8 Demikianlah mereka diserakkan TUHAN dari situ ke seluruh bumi, dan mereka berhenti mendirikan kota itu.
11:9 Itulah sebabnya sampai sekarang nama kota itu disebut Babel, karena di situlah dikacaubalaukan TUHAN bahasa seluruh bumi dan dari situlah mereka diserakkan TUHAN ke seluruh bumi.

Jika memang politik global demikian diskriminatif dan tanpa keniscayaan, lalu, apakah perdamaian dunia sebagaimana yang ingin digapai bersama dalam Piagam PBB hanya sekedar cita-cita luhur palsu? Mengamini tagline film tersebut, LISTEN (dengarkan) ….. Di tengah kenestapaan akan saling ketaksepahaman budaya yang cenderung membawa perpecahan, dalam perbedaan yang begitu kontras – barangkali jika untuk dapat saling mencintai dirasa sebuah usaha yang hampir mustahil dan amatlah muluk – maka tanpa berlebihan, setidaknya manusia dapat belajar untuk saling memahami satu sama lain. Barangkali itulah ungkapan sederhana yang secara nyata merangkum segenap kegalauan hati seorang manusia yang hidup di tengah dunia dengan segala perbedaan latar belakang ras, agama, dan budaya. Dan tampaknya, begitulah harapan kita.


Catatan kaki :

[1] Said, E.W. 1978. Orientalism. London: Routledge and Kegan Paul.
Said (hal. 207) mengutip pernyataan John Westlake dalam buku Chapters on the Principles of International Law (1894) yang menganjurkan bahwa masyarakat yang mendiami wilayah di bagian bumi yang dianggap masih “primitif” sebaiknya diambilalih dan dinaungi oleh pemerintahan modern yang lebih “beradab”.(*)

(*) terjemahan penulis



-          F. Fajaryanto Suhardi



(16 Desember 2011)

MARRIAGE R.I.P.

Movie Review


Blue Valentine (2010)

“(Cinta) Sampai Maut Memisahkan?”
                                                                                                                                                          


For you I was a flame, love is a losing game
A five-story fired as you came, love is a losing game
One I wish I never played, oh, what a mess we made
And now the final frame, love is a losing game

J
angan terkecoh dengan embel-embel kata “valentine” layaknya kebanyakan film percintaan yang menyajikan manisnya gula-gula romantisme hingga membikin perut mual. Sebaliknya, seperti penggalan lirik balada Amy Winehouse berjudul Love is a Losing Game di atas, drama post-romanticism ini menyajikan premis cerita tentang mahligai perkawinan yang sulit dan kenyataan resiko kegagalan berumah tangga yang (ternyata) memanglah pahit.

Sebelum bertemu Dean (Ryan Gosling), Cindy (Michelle Williams) adalah mahasiswi jurusan kedokteran yang kemudian mengambil spesialisasi obstetri. Lazimnya perempuan Amerika masa kini yang hidup di tengah keluarga yang kaku dan acuh tak acuh – telah belajar mengenali dorongan seksualitas sejak berusia 13 tahun – Cindy tumbuh menjadi gadis yang mencari kesenangan di luaran, salah satunya dengan sang kekasih Bobby Ontario (Mike Vogel) yang sesama mahasiswa sekaligus atlet gulat.

Tak berapa lama kemudian, di sebuah panti jompo Cindy dan Dean bertemu – Cindy tengah mengunjungi neneknya dan Dean yang bekerja di biro jasa angkut barang membantu menata kamar seorang pria tua – tumbuhlah percikan api asmara di antara keduanya. Masalahnya kemudian adalah mencocokkan karakter keduanya. Cindy tadinya gadis yang murah tawa dan penuh letupan spontanitas lalu berubah menjadi wanita kaku dan dingin yang sehari-harinya disibukkan dengan tetek-bengek peran ibu yang mengurusi anak setelah menikah. Dean pasca menikah tetaplah Dean pra menikah: lucu, hangat, penuh perhatian, apa adanya – pria yang kadang temperamental tapi tetap menomorsatukan keluarga. Cindy yang kompulsif dan cenderung berhati-hati terbiasa hidup teratur sedangkan Dean yang impulsif lebih suka hidup tanpa aturan. Cindy seorang obstetrician dengan penghasilan yang lebih dari memadai tentulah tak sebanding dengan pendapatan Dean yang sebetulnya penuh talenta ini tapi justru bahagia dengan profesinya yang (hanya) sebagai seorang tukang cat. Meskipun ketimpangan kemapanan finansial tidak pernah disinggung sebagai masalah besar sampai-sampai menyulut pertengkaran hebat di antara keduanya, tapi sulit disangkal ini telah menjadi salah satu benturan keras yang menimbulkan memar yang terus membayangi kehidupan rumah tangga mereka sebagai pasangan muda. Namun beban terberat sesungguhnya adalah memikirkan bagaimana menjelaskan arti kata “perceraian” pada buah hati mereka yang masih kecil, Frankie, yang selanjutnya akan kehilangan gambaran orangtua secara utuh.
CindyYou’re so good at so many things, you could do anything you wanted to do. You’re good at everything that you do, isn’t there something else you wanna do?
DeanThan what? Than be your husband, to be Frankie’s dad? What do you want me to do? In your dream scenario of me doing what I’m good at, what would that be?
CindyI don’t know. You’re so good at so many things, you can do so many things. You have such capacity.
DeanFor what?
CindyI don’t know. You can sing, you can draw, you can… dance.
DeanListen, I didn’t wanna be a somebody’s husband and I didn’t wanna be somebody’s dad. That wasn’t my goal in life. For some guys it is… wasn’t mine. But somehow, it was what I wanted and now it’s all I wanna do. I don’t want to do anything else. It’s what I want to do.


Film ini kaya adegan-adegan dengan naturalitas seting dan akting yang cantik. Selain konsisten menyuguhkan permainan fokus lensa, Derek Cianfrance sengaja memanfaatkan perspektif penonton dan menjadikannya keuntungan sinematografis untuk melibatkan emosi audiens secara efektif dan mendalam. Seperti saat recital di sekolah Frankie, kamera menyorot Dean dari kursi barisan belakang dan Cindy dari samping kanan seolah berada di antara para orangtua yang hadir menyaksikan putra-putri mereka tampil. Lalu pengambilan adegan Dean dan Cindy bertengkar di pelataran parkir, angle kamera seperti tersembunyi dari balik kaca mobil atau di balik rerumputan. Cahaya matahari sore yang memperindah bias warna juga mempertegas penekanan aksentuasi adegan. Secara keseluruhan, film yang menerapkan alur maju-mundur ini menampilkan kepaduan cerita yang kuat dan drama yang tidak melulu membombardir adegan-adegan bertangis-tangisan – kecuali di penghujung cerita – namun pada akhirnya tetap mampu memancing simpati penonton.

Jangan katakan anda tidak tersentuh menyaksikan rentetan sajian visual berikut: dengarkan komposisi “You and Me” milik grup soul indie Penny and the Quarters pada adegan hangat saat Dean masuk dan berbaring di kamar Cindy – tapi tunggu saja sampai closing part dimana Cianfrance menggamit musisi Grizzly Bear memainkan komposisi glam rock dengan suguhan slideshow portofolio foto-foto manis yang berhasil diabadikan demi kepentingan publisitas film muncul dari latar gelap mengikuti blitz cahaya kembang api – sebagai selebrasi yang “merayakan” matinya perkawinan sebagai simbol keabadian cinta. Namun, momen tak terlupakan dari Blue Valentine adalah ketika Dean menyanyikan repertoir “You Always Hurt the One You Love” dengan suara sengau diiringi uke (gitar kecil) di depan sebuah butik dan Cindy dengan canggung dan malu-malu menari tap – cantik sekali – benar-benar sebuah adegan romantis paling orisinil yang pernah saya saksikan. Dilengkapi memori-memori bagaimana keduanya saling menjajaki kemungkinan mengenal apa itu “cinta” dalam serangkaian “tur” kencan dalam bis, kereta subway, lalu di pinggiran jalan yang sama sekali jauh dari kesan wah – hanya bermodal banyolan “garing” dan es krim – tapi sangat, sangat indah. Betapa dua orang anak manusia belajar mencintai dalam perbedaan, menggelandang dan bercinta di sembarang tempat tanpa peduli tentang atribut kemunafikan kesantunan atau apapun pendapat orang. Sungguh pilihan screenplay yang amat jitu - sukses memerah emosi penonton sampai (saya pun hampir) menitikkan airmata ketika memantau potongan-potongan gambar yang mengharu biru ini.

Dengan keduanya turut memproduseri film ini, baik Michelle Williams maupun Ryan Gosling dua-duanya menjadi magnet utama yang berhasil menyedot seluruh perhatian saya sepanjang memantau film tersebut. Williams yang janda Heath Ledger rupanya mengikuti jejak almarhum mantan suami (tunangan). Setelah sebelumnya unjuk gigi dalam Brokeback Mountain (2005), I’m Not There (2007), dan Synecdoche, New York (2008), kemampuan aktingnya terbukti semakin terasah. Bisa diasumsikan bila penampilan memikat kaya ekspresi Williams dalam film ini merupakan refleksi kegagalan hubungannya dengan Ledger yang bubar tahun 2005 silam. Dua tahun back-to-back dinominasikan dalam Oscar sebagai “Aktris Terbaik” setelah secara otentik menghidupkan kembali simbol seks Hollywood sepanjang masa, Marilyn Monroe dalam memoir My Week with Marilyn akhir 2011 lalu dan sebagai perempuan yang frustasi dengan pernikahannya lewat film ini setaun sebelumnya – Williams menorehkan catatan karir yang sangat cemerlang sebagai bintang muda bermasa depan cerah dan semakin menandaskan kelasnya di jajaran aktris unggulan setaraf Meryl Streep, Viola Davis, Nicole Kidman, dan Natalie Portman. Ini membuktikan Williams telah melampaui pencapaian sesama aktris serial remaja dekade 90-an sebayanya seperti Jennifer Love Hewitt, Sarah Michelle Gellar, dan Katie Holmes yang sepertinya malah tenggelam dalam kisah cinta-cintaan dangkal dan film-film horor yang menampilkan hantu-hantu perempuan berambut hitam panjang serupa Sadako dari saga The Ring. Cenderung selektif dalam memilih dan memainkan peran, Ryan Gosling adalah salah satu pelakon muda Hollywood paling brilian yang saya tahu. Sadar diri memiliki paket fisik dari ujung rambut sampai ujung kaki bernilai plus, tapi dia mampu menyajikannya sesuai dengan porsi dan kapasitas yang dibutuhkan, sesuai tuntutan peran – sehingga ketampanannya itu tak sempat menutupi kedahsyatan talenta aktingnya. Saya hampir selalu terkesan dengan setiap penampilannya dalam film-film yang semakin lama semakin menunjukkan berkelasnya selera aktor muda itu, antara lain ketika berperan sebagai guru drug addict dalam Half Nelson (2006), stuntman tanpa nama dalam Drive (2011), dan suami “sakit” Kristen Dunst dalam All Good Things (2010). Dengan jejak rekam aneka peran yang berdinamika dan kaya tantangan seperti ini – lalu, aktor muda mana yang bisa menandingi Gosling? Ryan Reynolds? Chris Evans? Daniel Radcliffe? Robert Pattinson? Biarkan Gosling dan sorot mata sendunya yang misterius itu “bertutur” kepada anda – tanpa lagak narsistik cengar-cengir atau mesam-mesem – dia selalu saja berhasil menguasai seluruh fokus kamera dan fokus anda.

“Sedikit” bocoran, berakhir dengan kesan yang secara eksplisit seolah pro perceraian, namun film ini justru menghadirkan suatu renungan remedial – proses pendewasaan dan mawas diri bagi Dean dan Cindy bahwa seiring berjalan waktu yang mana kehidupan pernikahan keduanya menjadi semakin dingin dan hambar, untuk mengakhiri keterpurukan atas klimaks perbedaan yang sudah tak dapat dipersatukan lagi itu, keduanya menyadari bahwa perpisahan adalah “rekonsiliasi” sempurna – satu-satunya jalan damai yang harus ditempuh. Scene paling kuat muncul di akhir film dimana terdapat sekelumit kenangan flashback dari bersatunya Cindy dan Dean dalam janji suci pernikahan kemudian dalam sekejap berubah menjadi badai perpisahan yang menghancurkan segala jerih-payah yang telah dibangun bersama. Sebuah ironi.

Cindy, Dean, dan saya sepakat dengan pesan utama film ini. Ketika madu cinta semerah anggur itu telah habis dan tinggallah sepah-sepah membiru yang tersisa – jangan pernah memimpikan segalanya akan sempurna sebagaimana sensasi valentine merah jambu merona yang kian hari kian komersil karena propaganda cinta semanis kembang gula itu – rasanya – hanya ada di layar kaca.

-          F. Fajaryanto Suhardi

(4 Maret 2011)
(Revisi: 13 Juli 2012)

Menengok Perspektif Oksidental dalam Memaknai Cinta (dan Seks)

Movie Review

Vicky Cristina Barcelona (2008)

"Perspektif Kontradiktif tentang Nilai Estetika Cinta dalam Kultur Barat"



Bukankah sebuah ide yang sangat menarik jika kita membayangkan premis melancong ke suatu negara di belahan Eropa pada satu musim panas yang hangat dan tak dinyana bertemu manusia-manusia lokal yang indah – cantik dan tampan – dengan suka hati, bebas, dan tanpa malu-malu mengutarakan keinginan mereka untuk bercinta dengan kita? Hmm, (sungguh) tawaran yang sulit ditolak.

Adalah Vicky (Rebecca Hall) dan Cristina (Scarlett Johansson), dua sahabat yang berlibur ke Barcelona untuk mengisi waktu senggang selama musim panas. Sementara Cristina murni ingin bersenang-senang, sebagai mahasiswi S2 jurusan sosiologi yang mempersiapkan observasi terhadap kultur masyarakat Spanyol, Vicky punya agenda tersendiri – selain mempelajari strata dan keunikan budaya Catalan, rupanya dia juga sedang “bermeditasi” menjelang hari H pernikahan dengan tunangannya Doug (Chris Messina) yang tinggal hitungan minggu. Dengan menumpang tinggal di rumah kerabat jauh Vicky yang tinggal di Barcelona, suami-istri Mark (Kevin Dunn) dan Judy Nash (Patricia Clarkson), keduanya memulai petualangan “tamasya” di kota eksotis tersebut. Tak hanya sekedar mengabadikan bangunan-bangunan karya arsitek fenomenal seperti Gaudi dan peninggalan raja Miro lewat jepretan kamera, mereka berdua juga kemudian terlibat jaring romantika yang rumit dengan seorang pelukis bohemian berkarisma dengan pembawaan tenang dan penuh percaya diri, Juan Antonio Gonzalo (Javier Bardem).

Berada di Oviedo, mulanya si impulsif Cristina yang begitu menggebu-gebu ingin segera merasakan gairah percintaan penuh gelora dengan Juan Antonio, beda halnya dengan si skeptis Vicky  yang berusaha mempertahankan rasionalitas lantas mentah-mentah menolak ajakan threesome yang ditawarkan oleh sang Casanova ­yang meskipun tampan dan memiliki sorot mata membius – namun bagi Vicky,  dia tetaplah orang asing yang baru mereka kenal. Akan tetapi keadaan berubah 180 derajat saat Cristina sekonyong-konyong jatuh sakit dan tinggallah Vicky sendirian bersama Juan Antonio dan terjadilah sebuah “insiden”. Vicky dan Juan Antonio lalu bersepakat untuk merahasiakan cinta terlarang tersebut dari Cristina – dan terutama dari tunangan Vicky, Doug. Polemik lucu hadir ketika ternyata Vicky menyadari bahwa dia tidak bisa melupakan Juan Antonio meskipun telah menikahi Doug yang menyusul ke Barcelona tak berselang lama kemudian. Keadaan bahkan bertambah runyam kala mantan istri Juan Antonio, Maria Elena (Penélope Cruz) yang cantik sekaligus sinis, kasar, dan destruktif tiba-tiba muncul di saat hubungan asmara antara Cristina dengan Juan Antonio tengah berada di puncak.

Jangan buru-buru menyimpulkan film ini sebagai kisah petualangan dua turis Amerika mencari kepuasan seks yang berujung pada tontonan erotis semata. Tampil dalam dwi bahasa (Inggris dan Latin), secara menarik, film ini menyoroti perspektif Barat dalam memandang prinsip estetika tentang cinta, kesetiaan, dan perkawinan. Sebagai sentra film, Vicky dan Cristina menjadi dua karakter utama yang sengaja diciptakan untuk mewakili sudut pandang penonton yang secara garis besar terbagi dalam dua haluan: konservatif dan liberal. Vicky yang percaya pada komitmen, norma, dan nilai-nilai dalam struktur kemasyarakatan yang teratur jelas bertolak belakang dengan Cristina yang mengagungkan kebebasan berekspresi individu apapun bentuknya terlebih menyangkut perihal asmara. Oposisi sudut pandang antara Vicky dan Cristina lebih lanjut terepresentasi melalui cara masing-masing mendefinisikan kepentingan dalam urusan ranjang dan memilih pria. Doug dalam kacamata Vicky adalah pria berkomitmen; seorang pegawai kantoran yang ganteng, pintar, resik, necis dengan bonus tahunan dan pendapatan tetap – dengan kata lain, tipikal sosok pria Amerika modern – kemudian memunculkan mimesis harafiah1 sebagai imitasi corpus tipe lelaki idaman para perempuan modern di dunia nyata. Berdasarkan teori tersebut, kita dapat memahami mengapa Vicky yang berhaluan konservatif dan percaya pada sistem kemasyarakatan terstruktur memilih menikah dengan Doug yang tak lain adalah produk dari sistem itu sendiri karena kemudian kesimpulan yang muncul mengindikasikan bahwa penggabungan karakter antara Vicky dan Doug yang memiliki kongruensi secara ideologi lebih mudah dilakukan ketimbang jika Vicky harus berpasangan dengan karakter yang secara konkret berlawanan dengan dirinya, Juan Antonio. Di pihak lain, mengusung pemberontakan terhadap etika dan norma-norma sosial yang dianggap sebagai bentuk kemunafikan tidak berguna dan justru membatasi ruang gerak kebebasan manusia seutuhnya, Cristina yang diam-diam membenci tipe laki-laki model Doug yang disebutnya sebagai factory-made zombies dan cookie-cutter mold menemukan kecocokan persepsi dengan Juan Antonio yang menjunjung tinggi toleransi dan tidak membatasi diri dalam pemaknaan seluas-luasnya cinta hingga menjadi lumrahlah urusan semen-leven, lalu tidak lagi menabukan gaya bercinta hetero-biseksual antara mantan suami dan kekasih baru; mantan suami dan mantan istri; dan mantan istri dan kekasih baru. Dua perempuan yang berseberangan karakter ini awalnya saling membanggakan hierarki perspektif masing-masing, namun pada akhirnya, keduanya menyadari batasan-batasan atas standar yang mereka percayai selama ini ternyata semakin bias seiring makin jauh waktu berlalu – bahkan menjurus ke arah kontradiktif. Benarkah Vicky akan hidup bahagia dengan laki-laki yang berasal dari dunia yang sama dengannya? Atau seperti apakah klimaks kepuasan batiniah yang Cristina rasakan atas kehidupan berbagi ranjang dengan Juan Antonio dan Maria Elena? Benarkah semudah itu kita dapat mengumbar seks pada orang asing? Ragam pertanyaan moril seperti inilah yang kemudian dilemparkan kepada audiens yang secara denotatif hanya duduk di kursi, menonton, dan tidak terlibat langsung di dalam layar namun mampu menangkap esensi pemahaman yang sama dengan bahasa yang berbeda.

Vicky Cristina Barcelona merupakan film comeback sang sutradara multi-talenta berwajah geek Woody Allen paska pasang-surut karir sepanjang dekade 2000an setelah menelurkan komedi-komedi yang unik dan memorable seperti Annie Hall (1977), Manhattan (1979), Hannah and Her Sisters (1986), Mighty Aphrodite (1995), dan Sweet and Lowdown (1999). Dengan menggunakan teknik penggambaran karakter yang dinarasikan oleh seorang narator, film ini kemudian merangkai cerita dari sudut pandang orang ketiga (serba-tahu). Berpusat pada pengalaman wisata diwarnai kisah cinta yang seru di suatu negeri asing, Vicky Cristina Barcelona bagai sebuah dokumentasi jurnal yang dituturkan dalam ragam bahasa yang lugas dan santai – hampir menyerupai diari atau memoir (secara meyakinkan). Alur dan dialog mengalir (seperti) tanpa paksaan. Alamiah dan tanpa beban. Di atas semua itu, film ini segar dan ceria. Dibantu oleh music scoring tematik bertajuk “Barcelona” berupa perpaduan antara ketukan perkusi, oboe, dan ritme dinamis gitar Spanyol dibalut vokal feminis yang whispery hingga nyaris sesempurna lagu ninabobo, prahara yang rapat dan adegan-adegan seserius apapun dirangkul dengan aksentuasi yang mencairkan emosi, bukan sebaliknya. Anda akan diajak tersenyum dan tertawa melalui dialog-dialog yang muncul antar pemain serta gurat kompleksitas emosi manusia yang terbaca dan ditampilkan dengan apik oleh para aktor di sini (terutama oleh Penélope Cruz) dan asyiknya, tanpa membuat dahi berkerut. Namun demikian, bukan berarti anda bisa mengesampingkan komedi ini sebagai pepesan kosong berbumbu romantis. Percayalah, pesan yang terselip dalam film ini memang “ringan” tapi akan tetap anda ingat kala malam menjelang tidur.


-          F. Fajaryanto Suhardi

Catatan kaki:
1 Mimesis: the Representation of Reality in Western Literature (1953) oleh Erich Auerbach (Princeton University Press).

Sedikit anekdot:
Saya punya pengalaman lucu ketika pergi ke sebuah penyewaan video sehubungan dengan film ini sekitar dua tahun lalu. Karena penasaran sementara lupa-lupa ingat dengan judulnya, begitu ditanyai oleh seorang pegawai, spontan saya berceletuk:
“Ada film Britney Christina Madonna ga?” (teringat insiden MTV VMA 2003)
Sang petugas rental: ????


(17 September 2011)

Haruskah Kesempurnaan Sebuah Dongeng Anak Selalu Ditutup dengan "Happy Ending"?

Movie Review

Pan’s Labyrinth (El Laberinto del Fauno) (2006)

"Lembar Putih yang Terkoyak dalam Lumpur: Tawa Ceria Anak-anak yang Terenggut oleh Kegelapgulitaan Dunia yang Menyesakkan dan Menggelisahkan"



Apakah (dulu) anda seorang pecinta dongeng? Puluhan tahun lalu, masih terekam jelas dalam ingatan betapa saya semasa kecil dulu adalah satu di antara jutaan anak-anak yang amat menggemari bacaan terutama dongeng. Mulai dari cerita tokoh-tokoh besar dalam kitab suci seperti Nuh, Musa, Daud, atau Samson dan Delilah; epos kepahlawanan dari India seperti Ramayana dan Mahabarata; mitos populer dan dongeng klasik dunia seperti Cinderella, Abu Nawas, Hercules, Romus & Romulus, Son Go Kong si Kera Sakti; sampai fabel lokal seperti Si Kancil yang nakal, legenda Jaka Tingkir dan 7 Bidadari, Sangkuriang, juga kisah Petruk yang unik dan menyentil. Jika kita kesampingkan epos Alkitabiah dan legenda heroik bermuatan ideologi dan filosofi yang sudah barang tentu terlalu rumit untuk dimengerti oleh anak-anak, maka kita masih punya sederet dongeng populer “ringan” yang mayoritas cerita tradisional kumpulan Grimms Bersaudara seperti Puteri Salju, Rapunzel, Hans dan Gretel, Si Tudung Merah; juga karya-karya Bapak Dongeng Dunia, Hans Christian Andersen, sebutlah Anak Itik Buruk Rupa, Thumbelina, Gadis Penjual Korek Api, Sepatu Merah, dan masih banyak lagi. Namun, sementara anak-anak lain menyukai kisah-kisah protagonis yang pada awal cerita didera kemalangan bertubi-tubi namun kemudian mendapatkan “upah tertinggi” yaitu “living happily ever after” pada lembar penutupan buku, tidak demikian halnya saya. Cenderung agak selektif, dari sekian banyak dongeng populer Barat, jujur, barangkali dua kisah favorit saya (dan sampai sekarang masih saya gemari) adalah Pinokio dan Puteri Duyung. Lalu sejumlah teman pernah bertanya: Alasannya? Karena sejatinya menurut konsep sudut pandang yang rasional, keduanya tidak menawarkan akhir yang “happy ending.”

Hmm, apa yang terjadi di Spanyol era Perang Dunia II barangkali bukan kecemasan kita karena pada saat itu negara kita juga sedang berada terjepit dalam situasi panas perang Asia Pasifik; di antara tekanan Jepang dan ancaman serangan Sekutu – lagipula antara Indonesia-Spanyol terbentang jarak sejauh puluhan ribu mil, akan tetapi (peristiwa) itu menjadi rel landasan yang kuat bagi alur film ini. Bertepatan dengan gonjang-ganjing Perang Eropa yang dimotori Jerman plus Italia melawan Inggris, Perancis, dan sekutunya, pecah Perang Sipil di Spanyol menjelang akhir dekade 1930an dan berlangsung selama lebih dari lima tahun.[1] Spanyol tahun 1944, Perang Sipil baru usai, dikisahkan seorang protagonis cilik bernama Ofelia, seorang gadis yatim yang hidup berdua saja dengan ibunya yang baru dinikahi oleh seorang perwira militer, Kapten Vidal. Bermaksud menumpas sisa-sisa kaum pemberontak terhadap rezim fasisme yang bersembunyi di hutan-hutan di  pinggiran Spanyol, Kapten Vidal bersiaga sebagai kepala sebuah pos militer yang dibangun untuk menghancurkan lokasi di sebuah hutan yang diperkirakan kuat menjadi titik persembunyian para gerilyawan. Di tengah situasi politik yang kacau dan persiapan perang gerilya yang memanas, sang kapten kemudian memboyong istrinya yang tengah hamil besar dan Ofelia untuk tinggal bersamanya di hutan tersebut. Sebagai anak pendiam dan tak punya teman, Ofelia yang selalu diliputi ketakutan pada ayah tiri barunya yang berwatak dingin dan kejam itu, kemudian lebih memilih membaca buku-buku dongeng kesukaannya atau menghabiskan waktu bermain di luar sendirian.

Suatu ketika, Ofelia menjumpai serangga aneh sejenis belalang yang membawanya masuk ke dalam sebuah labirin tak jauh dari pos militer. Di sana, secara gaib dia ditemui sesosok mahluk serupa monster separuh manusia separuh kambing bernama Faun (mengacu pada mitologi Yunani, Pan, sang dewa penggembala). Disambut sebagai titisan Puteri Moanna dari Kerajaan Bawah Tanah yang selama ini dinantikan oleh Faun, gadis cilik itu kemudian diceritakan kembali tentang dunia masa lalunya. Untuk dapat mewujudkan masa depan yang tenteram dan kembali bersatu dengan “keluarga”-nya di kehidupan lampau, Ofelia kemudian diberikan sebuah buku kuno berisi tiga teka-teki yang harus diselesaikannya sebelum bulan purnama berikutnya tiba. Buku itu hanya boleh dibuka ketika Ofelia sendirian dan tulisan petunjuk akan muncul dalam lembar buku itu hanya ketika waktunya telah tepat. Dari sinilah petualangan magis nan mistis Ofelia dimulai namun mulai dari situ jugalah nasib Ofelia dan orang-orang yang dicintainya ditentukan.

Jika anda kecewa dengan Hellboy (2004) dan sekuel Hellboy II: The Golden Army (2008) yang barangkali memuaskan secara detil efek visual dan teknik manipulasi gambar tapi lemah dalam segi pewatakan karakter dan kualitas plot, hadir full dalam bahasa Spanyol (Latin), Pan’s Labyrinth (El Laberinto del Fauno) merupakan karya sutradara Guillermo del Toro yang secara signifikan menebus “dosa” del Toro atas segala “kelalaian”-nya dan menjadi jawaban atas ketidakpuasan para kritikus dan masyarakat pecinta film akan kehadiran film fantasi yang memiliki bobot cerita yang tidak klise. Jika anda cerdik mencermati, melalui karya-karyanya, del Toro dikenal sebagai sutradara yang menyukai kecenderungan untuk merekam gambar dalam tampilan layar yang gelap dan muram. Kebanyakan sekuens yang ada dalam film-filmnya menunjukkan kekuatan sinematografis del Toro yang sesungguhnya bertumpu pada siluet dan background bernuansa hitam dan absurd. Selain itu, del Toro juga identik dengan kisah-kisah imajinasi yang berkenaan dengan mitos, dongeng, dan komik lalu untuk mewujudkan cerita yang tak lazim dan lebih menggugah, dia sengaja menciptakan twist dengan mengaitkannya dengan kejadian nyata yang tercatat di dalam sejarah. Semisal bocah iblis bertubuh kera, Hellboy, diceritakan merupakan mahluk dari neraka yang berhasil dipungut oleh para ahli nujum nomor satu Hitler pada masa Nazi; atau bagaimana del Toro sukses menyelipkan fantasi petualangan seorang gadis kecil bersama monster Faun di tengah polemik Perang Sipil yang sempat melanda Spanyol. Memicu reaksi pro maupun kontra dari penonton, sang sutradara juga kerap melakukan pembalikan penanaman ideologi terhadap penokohan karakter yang muncul dalam film-filmnya dimana tokoh yang secara “normal” biasanya dianggap jahat dan mengerikan justru menjadi sosok protagonis (semisal Hellboy dan Faun) sementara yang tampak sempurna dan indah justru dijadikan tokoh antagonis (contoh teraktual, Kapten Vidal).

Belakangan generasi kita seolah dininabobokan oleh ide-ide khayalan tentang sihir dan mantera-mantera dan betapa kerennya bersekolah di sebuah sekolah sihir bersama sekumpulan penyihir tampan dan cantik atau indahnya impian untuk hidup abadi dikelilingi klan vampir yang bak jelmaan dewa-dewi dari nirwana. Tak dapat disalahkan. Dan memang tak dapat disangkal bahwa kehadiran film fantasi turut mendongkrak penjualan tiket bioskop meningkat puluhan bahkan sampai ratusan kali lipat, seperti fenomena membludaknya penonton dan pesatnya angka pemesanan tiket bioskop yang gila-gilaan pada pemutaran perdana seri terakhir Harry Potter: The Deathly Hallows part II pada pertengahan tahun ini. Satu alasan pasti mengapa film fantasi cenderung lebih menarik untuk ditonton ketimbang film drama atau film genre lain: EFEK VISUAL YANG CANGGIH. Dan mungkin untuk alasan ini pulalah plus iming-iming sokongan dana dari pihak studio film dalam jumlah luar biasa menggiurkan, seperti halnya sutradara Hollywood spesialis film bergenre serupa lain, orang seidealis del Toro yang tahun lalu sempat ikut memproduseri drama apik Biutiful dibintangi Javier Bardem pun tak kuasa menolak dan kemudian memutuskan mengangkat Hellboy dari komik ke dalam layar lebar. Memilih tenggat rilis pada waktu liburan seperti musim panas atau musim dingin untuk membidik lebih banyak moviegoers, alasan pihak studio tak segan-segan menggelontorkan dana besar untuk menelurkan film fantasi yang fantastis sudah barang tentu jelas: dengan bermodal tipuan efek CGI yang memanjakan mata dan telinga, film fantasi pastilah menguntungkan secara finansial karena lebih “menjual”. Kejelian produser Barat menebak hasil survei hingga menjadi resep kelanggengan kesuksesan industri perfilman Hollywood sama sekali bukanlah barang baru. Hal semacam ini telah terjadi terus-menerus dan turun-temurun. Itu artinya minat penonton begitu mudah ditebak. Ya, Hollywood mengetahui keinginan anda dan menjadikannya mesin pencetak uang. Masalahnya apa kita ini terlalu bodoh untuk menyadari atau sudah terlanjur “terjebak” terlalu dalam hingga susah untuk berpaling?

Anda mungkin menyangka bahwa Pan’s Labyrinth tak ubahnya seperti film fantasi lainnya yang beredar di bioskop beberapa tahun belakangan ini, seperti halnya saga Harry Potter, Twilight, Clash of Titans, Eragon, The Last Airbender, The Sorcerer’s Apprentice, Thor, atau Green Lantern, tapi saya di sini memastikan kekeliruan anda. Meski dibungkus dalam kemasan bergenre “FANTASI”, dalam Pan’s Labyrinth, anda bahkan akan menemukan cerita yang jauh lebih gelap dan lebih misterius ketimbang dalam film The Golden Compass (2007) yang diangkat dari novel Phillip Pullman bertajuk Northern Lights walaupun dua-duanya sama-sama bersentral pada petualangan fantasi seorang gadis cilik. Anda akan melihat para monster yang divisualisasikan di sini terlihat cukup menjijikkan dan tak sedap dipandang mata – sama sekali kontras dengan beruang daemon yang ditunggangi Lyra dalam The Golden Compass atau singa Aslan dari saga Chronicle of Narnia yang tampak cemerlang dan gagah. Pan’s Labyrinth mengedepankan tema pelanggaran dan konsekuensi serta hukuman terhadap dosa-dosa manusia. Bahkan sebagai orang dewasa, pembunuhan dan kematian yang digambarkan begitu suram di dalamnya akan terasa menyesakkan jika anda bayangkan terjadi di dunia nyata. Seperti adegan yang menggambarkan metode penyiksaan tubuh dengan palu lalu pemotongan jari menggunakan tang oleh Kapten Vidal terhadap salah seorang anggota gerilyawan yang tertangkap atau adegan ketika para bawahan Kapten Vidal menangkap seorang laki-laki tua dan anak laki-lakinya yang dikira penyusup, sang kapten kemudian meremukkan tengkorak lelaki itu dengan botol anggur dan menembak mati si bapak. Sungguh bukan cerita yang layak untuk disuguhkan pada anak-anak. Disebut-sebut sebagai Film Terbaik 2006 oleh koran Inggris The Observer dan kritikus film terkenal Roger Ebert, Pan’s Labyrinth adalah sebuah perenungan yang menggelisahkan.

Ofelia menjadi bukti penjembatanan psikologi yang kuat antara harapan dan realita. Kehilangan ayah, kemudian ibu meninggal pula di saat melahirkan, kesepian yang dirasakan Ofelia terasa begitu menyeluruh. Di tengah kecamuk pertempuran, satu-satunya kesempatan yang dimiliki oleh Ofelia adalah pergi dan menyelamatkan adik laki-lakinya yang baru lahir dengan memohon pertolongan Faun tapi sang monster justru mengisyaratkan bayi mungil itu dibunuh sebagai penebusan atas “kesalahan”-nya dalam menjalankan tugas untuk bisa kembali ke kerajaannya dulu. Dengan rumitnya dunia ini yang seperti lumpur nista dipenuhi kebencian, melalui Ofelia, kita lalu menyadari bahwa dalam skema sebenar-benarnya, perang tidak akan berhenti sebelum ada darah orang yang tidak bersalah ditumpahkan. Untuk dapat mengakhiri pertumpahan darah dibutuhkan pengorbanan. Nah, pesan moral abadi seperti inilah yang ditawarkan oleh “dongeng” ini kepada anda. Pinokio, pada kenyataannya hanyalah seonggok boneka kayu, mungkinkah dia bisa berubah menjadi seorang bocah manusia sungguhan? Bukankah Pinokio hanya bisa selamanya bermimpi? Dan Puteri Duyung, wujud sesungguhnya seekor monster ikan yang mengerikan, masuk akalkah jika seorang pangeran tampan lebih memilihnya daripada seorang puteri cantik yang sempurna fisiknya? Sehingga kemudian, tidakkah kematian menjadi resolusi yang indah demi kebahagiaan sang pangeran beserta wanita pilihannya? Lalu, masihkah anda berpikir bahwa sebuah dongeng yang sempurna harus ajeg dibungkus dengan pengakhiran bernama HAPPY ENDING? Pikirkan lagi.


-          F. Fajaryanto Suhardi

Catatan kaki:
[1] Orwell, George. 1938. Homage to Catalonia (republished in 1977). London: Penguin Books.


(11 November 2011)

Pahlawan (Tidak) Selalu Orang Baik

Movie Review


The Dark Knight (2008)



“Dekonstruksi Archetype Sosok Pahlawan: Tuntutan untuk Menjadi Bengis, Kejam, dan Tak Kenal Kompromi di Tengah Kemelut Politik, Pemerintahan yang Korup, Kejahatan Mafia yang Tak Terkendali, dan Kepercayaan Masyarakat yang Luntur terhadap Hukum”







S
aya tidak pernah membayangkan sebelumnya jika Christopher Nolan berhasil menciptakan film yang notabene diangkat dari komik anak-anak karangan Bob Kane menjadi tontonan dewasa penuh sensasi dan secara intens menegangkan. Dan o-la-la! – walhasil, The Dark Knight menjadi satu dari dua film superhero terbaik yang pernah saya tonton selama ini – satu lagi Watchmen (2009).


Bagi anda yang mengikuti cerita sang manusia kelelawar dari reboot Batman versi Nolan pada warsa 2005, seolah meretas jeda tiga tahun dari installment pertama --- satu tahun setelah Letnan Gordon menunjukkan kartu bergambar joker kepada Batman pada ending Batman Begins, film ini melanjutkan perjuangan milyuner Bruce Wayne memerangi kejahatan di sebuah kota megapolitan fiktif bernama Gotham City. Mengambil kepingan dari dunia nyata, Gotham City merupakan representasi kehidupan sosial-ekonomi-politik kota-kota besar dunia seperti New York, London, Paris – dan Jakarta – yang identik dengan hiruk pikuk dan kekisruhan seputar masalah keadilan, carut-marut politik, brutalisme mafia, transaksi obat bius, dan kejahatan yang merajalela dimana-mana. Masyarakat terabaikan dan pemerintah menutup mata tidak peduli sementara hukum dikebiri dan dibiarkan menggantung tak berdaya.


Dalam situasi penuh ketidakpastian ini, muncullah Bruce Wayne di balik topeng yang gelap dan misterius – identitas barunya sebagai Batman – pada momen ini bertindak bukan sebagai seorang pahlawan kesiangan yang sedang mencari ketenaran atau superhero bersenjata modern yang arogan dan haus pujian tapi anggota masyarakat yang pernah mengalami kekejaman dan ketidakberuntungan dimana ketika masih kecil kedua orangtuanya dibunuh oleh seorang miskin-papa yang hanya ingin segenggam receh dan secuil roti. Menyaksikan orang-orang yang harusnya peduli dan tegas menegakkan kebijakan publik yang melindungi masyarakat justru "loyo”, tak mampu berbuat banyak – malah “main aman” dengan membiarkan mafia berkeliaran di jalan sembari sibuk menjajakan citra diri sebagai elit politik yang pintar – beginilah kiranya Nolan menyampaikan kritiknya pada dunia melalui sosok Bruce Wayne: pria penyendiri yang terus dihantui trauma pahit itu lantas memutuskan menggunakan apa yang ia miliki untuk menumpas kejahatan – dengan caranya sendiri, dengan tangannya sendiri. Nolan pun membangkitkan kesadaran Wayne sepenuhnya akan konsekuensi bahwa di luar sana tidak ada yang bisa dia percayai dan orang-orang pun tidak mudah begitu saja percaya padanya.


Menurut perspektif film ini, Batman lebih diterima dalam sebagai vigilante, yaitu pelaku penumpasan kejahatan di luar dalam sistem penegakan hukum yang berwenang dan diakui secara legal yaitu kepolisian. Jika boleh diasumsikan dalam kehidupan riil – menurut telaah studi perilaku sosial sesuai hukum penyelenggaraan ketatanegaraan sekuler sebagaimana dipaparkan John Locke dan J.J. Rousseau[1] – kelompok atau orang-orang (mengingat status Batman adalah pelaku tunggal) semacam ini dapat dianggap sebagai pelaku non-kejahatan (pihak ke-4) namun mengganggu proses penegakan hukum karena melakukan tindakan keras terhadap pelaku kejahatan (pihak ke-2) berdasarkan evaluasi pribadi yang lemah, rentan subyektivitas, dan tidak berlandaskan peraturan perundangan yang sah. Mereka bisa disamakan dalam kategori sebagai penjahat pula. Meskipun akhirnya diketahui bukan seorang pemburu hadiah (renegade), motivasi Batman sesungguhnya melakukan tindakan radikal semacam ini masih menjadi tanda tanya besar publik dan terutama kepolisian. Sehingga tidak mengherankan jika kemudian dalam setiap menjalankan aksinya, meskipun kedua belah pihak merupakan benda cair – memiliki misi yang sama – oleh karena perbedaan prinsipil yang saling bertentangan, maka secara kongkret Batman dan pihak kepolisian ibarat air dan minyak.


Kadang saya suka ngakak sendiri membaca komik-komik superhero yang serba khayal, otomatis ajaib – tapi Batman berbeda dari Superman atau Spiderman. Batman bukan manusia super dengan kekuatan supranatural yang mematikan. Dia tidak bisa terbang atau mengeluarkan sinar laser dari matanya atau memunculkan jaring dari dalam pori-pori. Dengan cermat memperhitungkan kekuatan, kecepatan, dan ketepatan – dia hanya manusia biasa yang diperlengkapi alat-alat dan senjata dalam memerangi musuh – maka kemudian citra Batman cenderung lebih alami dan dapat berterima di mata orang awam.


“Why so serious?”


Kalimah sakti yang muncul saban kali Joker mulai mendemonstrasikan atraksi biadab dalam aksi badutnya. Sebetulnya itu semacam sindiran pedas penuh kemarahan. Wahai manusia, kenapa kita mesti begitu serius menghadapi problema hidup?


Tanpa membuang waktu bertele-tele menceritakan masa lalu Joker dan penyebab kegilaannya, Nolan mempersiapkan karakter Joker dengan sangat matang untuk tampil sebagai pemain kunci dalam permainan jahat ini. Joker menciptakan teror bukan dari eksploitasi kemahadayaan iblis dalam dirinya, tapi dia membaca ketakutan orang lain dan mewujudkannya. Joker tidak membabi-buta mengeluarkan senjata dan mulai menembaki di keramaian – hanya sekedar memperkenalkan “sedikit” anarki bak melempar bola api ke dalam kilangan minyak – tanpa diduga-duga, dia merangkai perangkap yang mengerikan bagai seorang jenius memainkan bidak catur. Dia akan membuat anda menyerahkan ratu demi keselamatan raja. Jika anda tidak ingin mati, maka akan ada orang lain yang mati untuk menggantikan anda.


Lupakan Bruce Wayne yang bergaya parlente dan charming ala James Bond sebelum era Daniel Craig. Tak perlu didebat, Christian Bale memang bukan aktor yang berwajah jelek tapi di sini anda akan lupa siapa Bale dan pesonanya sebagai bintang papan atas Hollywood. Meskipun memang terlihat resik, Bale membiarkan penampilannya natural sehingga tidak sepantasnya kita membandingkannya dengan Brad Pitt atau Tom Cruise. Sebagai Bruce Wayne baru dengan meniadakan imej lama yang dibawa Michael Keaton, Val Kilmer, dan George Clooney; Bale yang terbiasa berakting dalam film-film bagus dan bermutu non-box office tidak berusaha merebut simpati penonton dengan sikap manis atau kegenitan memainkan sex appeal terhadap lawan jenis. Di tangannya, Batman menjadi figur yang benar-benar berbeda dari Bruce Wayne. Kita akan menemukan karakter yang kompleks di sini. Karakter yang berperang dengan batinnya sendiri – diperhadapkan diskrepansi etik antara kebaikan dengan kebenaran. Untuk kamuflase di depan publik, Bruce Wayne tak ubahnya seperti kebanyakan konglomerat muda – mata keranjang, brengsek, dan apatis. Namun dalam balutan kostum Batman, dia berubah menjadi sosok yang kejam, bengis, dan tak kenal ampun memerangi kejahatan – namun demikian, tampaknya dialah satu-satunya orang yang sensitif dan satu-satunya harapan yang dimiliki oleh masyarakat kota itu di tengah keputusasaan akan keadilan.


Untung saja, Katie Holmes tidak lagi memerankan Rachel Dawes dan digantikan oleh aktris berwajah sayu, Maggie Gyllenhaal – kalau tidak, mungkin itu akan menjadi nila setitik dalam susu sebelanga. Gyllenhaal tidaklah cantik – saya heran jika ada yang bilang demikian – tapi dia jelas berkarakter (sudah pernah nonton Secretary (2002)?) sehingga sosok Rachel versinya jauh terliat lebih menarik ketimbang yang dibawakan Holmes dalam Batman Begins yang malah membuat saya selalu terbayang-bayang pada karakter Joey dalam Dawson’s Creek. Oke, siapa yang bisa menyangkal kalau Holmes memanglah ayu – tapi memerankan sosok perempuan intelek (dengan meyakinkan)? Sayangnya, sejauh ini nona Holmes tidak (belum) berhasil membuat audiens percaya. Jajaran cast pendukung lain juga patut dipuji. Tidak bergantung pada nama besar aktor/aktris tertentu. Sementara Morgan Freeman dan Michael Caine tetap terpelihara statusnya sebagai aktor legendaris, Nolan tidak takut memasang aktor yang biasa bermain di film kelas C seperti Eric Roberts dan Michael Jai White atau yang karirnya kala itu sedang redup-redupnya seperti Gary Oldman. Kredit tertinggi selayaknya diberikan kepada mendiang Heath Ledger. Dianugerahi Oscar sebagai Aktor Pendukung Terbaik (Best Supporting Actor), ia telah dengan begitu cemerlang menghidupkan karakter Joker sehingga di dalam ingatan kita, Joker versi Ledger menjadi salah satu karakter penjahat paling menakutkan yang pernah ada. Ini menandai selama tiga tahun berturut-turut (2007-2009) Oscar “Best Supporting Actor” disematkan pada tiga penjahat paling mematikan yang pernah muncul dalam film: Anton Chigurh (Bardem), Joker (Ledger), dan Hans Landa (Waltz). Ironisnya, tanpa pernah sekalipun menominasikan aktor yang berperan sebagai superhero, Academy Awards yang dikenal demikian “santun”, bermartabat, dan mengagungkan falsafah humanisme justru (diam-diam) malah “mengidolakan” karakter-karakter super villain – menurut anda, sinyal apakah ini?


Saya menyukai konsep realistis yang ditawarkan The Dark Knight. Sosok Batman seolah-olah terasa begitu nyata dan dekat (saya tidak sedang mencontek slogan salah satu provider seluler Tanah Air) dengan kawasan kumuh, saluran pembuangan air atau gang-gang kecil yang gelap dan berbau busuk di pinggiran kota tempat para gembel berteduh dan bermalam. Kehadiran superhero tidak digambarkan sebagai dewa penolong turun dari khayangan dengan kemilau keindahan yang mempesona. Batman tidak dibalut dalam kostum warna-warni atau yang terlalu memusingkan detail tapi justru malah merusak imej suram dan kelam yang sengaja ingin diciptakan. Jika anda dulu sempat menganggap Batman and Robin-nya Michael Bay dan Jerry Bruckheimer keren, maka setelah menonton The Dark Knight, saya yakin anda akan tertawa geli dan memuntahkan ludah yang sudah anda telan. Kostum glossy berbahan lateks lengkap dengan puting palsu, set megah dan sensasional yang menghabiskan dana jutaan dolar, naskah asal jadi dan dialog kacangan – ada lagi yang lebih buruk dari semua itu?


Pun ide Nolan menggunakan Chicago sebagai seting film ini jadi nilai plus tersendiri karena kota tersebut memiliki sense yang misterius dan muram. Tidak seperti New York yang bising dan ramai hingar-bingar atau Los Angeles yang kelewat glamor dan colorful – Chicago adalah kota Midwestern didominasi gedung-gedung tua warna abu-abu – kota tua yang kaya warisan budaya Amerika modern klasik abad 20 seperti musik jazz dan blues serta kisah-kisah detektif misteri dengan semaraknya pemandangan malam kota dan karakter-karakter bermantel gelap, bertopi fedora – sangat cocok dengan gambaran kota Gotham dalam versi komiknya.


Christopher Nolan yang keranjingan merekam film dengan kamera IMAX – membangun adegan emosional dan cinta dalam film ini bukan seperti kebanyakan film Hollywood yang penuh dramatisasi dan romantika hiperbolis tapi melalui pertanyaan-pertanyaan retoris yang getir: Mengapa kematian? Mengapa kehilangan? Mengapa pukulan emosi bertubi-tubi? Tanpa ba-bi-bu basa-basi, Nolan membawa sudut pandang laki-laki dalam menggambarkan kerumitan hubungan antara dua orang kekasih – laki-laki dan perempuan – ketika cinta itu terpenuhi tidak ada bahasa yang lebih indah dari cium mesra dan sisanya adalah kepala yang terangkat – sikap yang tegar dan tidak cengeng menghadapi kehidupan yang keras karena kenyataan yang kita hadapi seringkali teramat pahit dan tragis – terasa begitu sulit untuk dilalui tapi Nolan menepuk pundak kita agar bangkit dari keterpurukan, meluruskan kaki, dan melangkah lagi.


Namun dengan sanjungan tinggi-tinggi, apakah lantas film ini tak bercela? Saya punya argumen tersendiri. Menengok lebih dalam, niscaya kritik terbesar yang patut dilayangkan pada Nolan adalah ideologi EGOSENTRIS yang sengaja ditonjolkannya. Tak ubahnya film-film super materialis yang pol-polan pamer mekanika progresif dan kecanggihan mesin seperti Transformers dan sejenisnya – melulu menjual: SEN-SA-SI – menitikberatkan skema penuh eksplosif, teknik beladiri “tak terkalahkan”, aksi stunt yang sungguh (kelewat) spektakuler seperti melompat dari gedung pencakar langit atau jatuh dari ketinggian super ekstrem tanpa luka berarti, jujur saja, The Dark Knight tetap tak bisa menghilangkan kesan “gagah-gagahan” dan “besar kepala” di mata saya. Namun apa yang bisa anda harapkan dari sebuah film pop dengan gelontoran biaya produksi mencapai 180 juta dolar AS? Warner Bros tentu saja emoh rugi. Meskipun tiap akhir taun studio-studio besar rajin pula merilis film-film berbobot sebagai partisipator dalam perhelatan Oscar, namun tak dapat dipungkiri bahwa dana pembuatannya banyak “dipinjam” dari surplus laba atas pesatnya total pemasukan pada barometer box-office berkat film-film komersil semacam ini – bukan dari film-film nominator bahkan pemenang Oscar yang justru banyak bikin studio film nombok karena drama-drama “sederhana” yang mengangkat tema-tema berat dan susah dicerna, genre model begini umumnya minim sekali dilirik moviegoers. Mayoritas orang engga doyan jamu, lebih suka minum softdrinks. Tak perlu memaksakan selera karena memang demikianlah faktanya. Lagipula, film superhero mana lagi sih yang dapat menggabungkan skrip yang matang, suspense yang rapi, dan akting jahat yang ikonik dikemas sedemikian “cantik” hingga menjadi produk komersil yang berkualitas tinggi? Dalam hal ini, Nolan telah menunjukkan hasil kerja yang sangat baik – lalu, haruskah kita tetap ngotot menyalahkan Nolan?


Sekejap, mitos dan olok-olok bahwa film superhero tidak dewasa dan kekanakan diberangus oleh The Dark Knight yang nyatanya sukses menembus nominasi Oscar untuk “Film Terbaik” bersaing dengan Slumdog Millionaire Danny Boyle yang demikian kuat memancarkan pesona Asia lewat kecantikan orientalisme. Walau secara pribadi lebih menjagokan The Curious Case of Benjamin Button dari seluruh kandidat “Film Terbaik” Oscar taun tersebut, saya tidak keberatan jika The Dark Knight yang memenanginya – sebab rasanya kita tidak akan pernah menjumpai lagi film yang mampu me-“manusia”-kan jagoan kartun sebaik ini – meskipun akhirnya dipupuskan oleh Slumdog Millionaire yang berhasil menyabet gelar tersebut sebagai imbas dari gelombang euforia politik global saat itu pasca terpilihnya Barack Obama menjadi Presiden kulit hitam AS pertama dengan mengedepankan promosi: “Amerika lebih dekat dengan Dunia Ketiga”. Meski seperti yang kita telah ketahui bersama bagaimana Oscar tumbuh besar sebagai ajang penghargaan yang penuh pertimbangan dan tak jarang penuh kejutan – jadi, jangan patah arang bagi anda pecinta film komik, karena ini justru jadi modal kuat bagi sekuel terbaru garapan Nolan untuk menggenggam dan mengobarkan panji tema taunan selanjutnya. Mungkin taun ini jika kiranya AMPAS sudi untuk melirik eksistensi superhero – dan bila memang berkenan, mungkin The Dark Knight Rises yang sekaligus penutup trilogi manusia kelelawar ini akan memperoleh kehormatan itu (Film Terbaik). (Walau terdengar bagai mimpi di siang bolong tapi ini bukan mustahil,) Semoga.

Pesan terkuat dari sekuel ini adalah ketika anda berada di tengah kubangan lumpur, mustahil rasanya untuk menjaga tubuh anda tetap bersih tapi ada hal penting yang harus anda perhatikan agar anda tidak menjadi sama seperti babi. Bermain-main dengan kejahatan, anda tidak dapat bermain dengan lembut dan lunak, tapi anda harus sadar di titik mana anda memutuskan berdiri karena itu akan menjadi satu-satunya hakikat yang menentukan apakah anda berbeda atau tak ubahnya seorang kriminal.

-       F. Fajaryanto Suhardi

(26 Desember 2010)
(Revisi: 10 Juli 2012)


[1] Meskipun Rousseau dan Locke menyiratkan kepercayaannya bahwa manusia adalah mahluk “suci” dan “baik adanya” ketika dilahirkan sebelum terkontaminasi oleh substansi luar, tapi dia tetap menekankan bahwa ketika manusia beranjak dewasa lalu mulai menyadari dan menentukan tujuan-tujuan hidupnya, diperlukan instrumen-instrumen sah berkekuasaan yang berfungsi membatasi manusia dari tindakan sewenang-wenang yang dapat membahayakan keseimbangan kehidupan bermasyarakat, yaitu meliputi negara, hukum, dan aparatur-aparaturnya. 

Selamat Datang di Dunia “American Dream”: Membongkar Kebusukan di Balik Topeng “KELUARGA AMERIKA YANG IDEAL”


Movie Review
American Beauty (1999)

“INIKAH SISI ‘INDAH’ DARI POTRET KEBOBROKAN MORAL KELUARGA AMERIKA?”




Apa yang anda pikirkan ketika diminta membayangkan premis tentang keluarga Amerika yang ideal?

Sepasang suami-istri rupawan ala Tom Cruise dan Katie Holmes dianugerahi anak yang cantik dan menggemaskan seperti Suri Cruise. Tinggal di rumah idaman dengan fasilitas semewah istana raja dilengkapi kolam renang, jacuzzi, lift, taman tropis, lapangan tenis dan lapangan golf. Karir mapan dengan bayaran tinggi sehingga uang bukan lagi persoalan berarti – terlebih sekedar untuk memanjakan diri dengan bedah kosmetik dan botox agar terliat forever young dan memenuhi isi lemari dan koleksi sepatu buah hati yang mencapai nilai tiga juta dolar. Oh, apalagi? Keluarga panutan. Keluarga kristiani yang taat. Rumah tangga yang harmonis dimana para anggota keluarga satu sama lain saling mendukung. Tak ada percekcokan. Jauh dari ancaman perceraian (?). Yang ada hanyalah wajah-wajah ceria dengan senyum menawan seperti yang biasa kita temui di talkshow Oprah atau di sampul depan majalah People atau dalam iklan komersil di TV. Jika memang demikian persepsi anda, maaf, sayangnya kali ini ANDA SALAH BESAR.

Bagaimana kalau “wajah cantik” keluarga Amerika sebenarnya adalah sebuah ironi moral yang paradoksikal?

Dua puluh tahun menikah, Lester (Kevin Spacey) dan Carolyn Burnham (Annette Bening) adalah pasutri yang dihantui stres akibat fase midlife crisis (transisi paruh baya) berimbas pada suasana rumah tangga mereka yang lebih mirip “Perang Dingin” antara lain meliputi kejenuhan pernikahan, karir yang monoton dan tidak berkembang, persoalan ranjang, dan seorang putri dalam masa pubertas bernama Jane (Thora Birch) yang sinis dan acuh tak acuh. Dirundung bosan selama 14 tahun bekerja di perusahaan periklanan tanpa kenaikan karir, Lester malah memperburuk keadaan – berseteru dengan atasan barunya. Ujung-ujungnya, dia dipecat. Lain lagi Carolyn. Gagal menjadi agen real estate sukses, ia malah “terobsesi” dengan saingannya, Buddy “King” Kane (Peter Gallagher). Carolyn yang merasakan kegersangan dalam mahligai perkawinannya dan menganggap Lester seorang pecundang kemudian menemukan pelampiasan gairah dan nafsu pada Kane yang sekonyong-konyong mengajaknya bermitra bersama. Sementara itu, lewat “perkenalan” aneh dan tak biasa, Jane yang pemurung tiba-tiba berjumpa dengan Ricky Fitts (Wes Bentley), tetangga sebelah yang barusan pindah rumah. Ricky, pemuda freak berwajah serius itu diketahui mempunyai kebiasaan misterius yang cukup menakutkan: memata-matai kegiatan orang lain dengan handycam. Hal ini tentu membuat Jane gelisah dan merasa tidak aman. Setelah sekian lama merana akibat “ditelantarkan” oleh sang istri, kehadiran Angela (Mena Suvari), teman sekolah Jane – si pemandu sorak cantik berambut pirang dan bertubuh sintal nan menggoda – kontan menggugah jiwa laki-laki Lester “bangkit” kembali dari “mati suri”. Buruk baginya, perlahan Lester beralih menjadi pria menyedihkan yang hidup dalam fantasi-fantasi seks di bawah sihir aura kemudabeliaan Angela yang magis. Tradisi makan malam keluarga rupanya menjadi ajang pertarungan ego antara si suami dan si istri, tanpa sungkan-sungkan apatah malu lagi untuk saling melempar makian di hadapan sang anak – baik Lester maupun Carolyn, meski merasa muak satu sama lain namun dua-duanya tidak berani mengumbar kata “cerai” karena memikirkan ribetnya proses dan mahalnya ongkos perceraian di Amerika. Betul, sayang – dalam hal ini kita sedang berbicara soal uang.

Sering dengar selentingan berita yang mengabarkan tentang selebriti Hollywood yang bangkrut dan jatuh miskin? Jika ada gurauan pedas yang menyindir bahwasanya orang Amerika adalah bangsa yang manja, malas, suka berleha-leha, menyukai service dan segala yang berbau kemewahan, dan amat konsumtif – kiranya itu benar. Studi survei abad ini membuktikan bahwa 8 dari setiap 10 orang pekerja aktif di Amerika memiliki lebih dari satu kartu kedit. Tapi jangan pernah berpikir hidup di Amerika itu enak dan menyenangkan. Tak perlu kerja susah-susah, bisa sambil ongkang-ongkang kaki, duit datang. Anda keliru. Kehidupan dunia kapitalis Amerika ibarat rimba yang buas. Hukum seleksi alam berlaku di sana. Jika anda gagal, maka anda akan disingkirkan dan dibuang ke jalanan. Tak tahan tekanan manajer, Lester yang semula staf editor kemudian “turun pangkat” menjadi penjual burger. Faktanya, sangat banyak orang Amerika harus menjalani profesi ganda untuk menutup pengeluaran bulanan dan membayar tagihan hipotek dan tunggakan kartu kredit. Pada menit 12:52, adegan dimana Carolyn menangisi kegagalan karirnya – akan membantu anda untuk memahami kerasnya persaingan bisnis dan pekerjaan di Amerika. Dan sekali lagi, American Beauty mengajak kita menyaksikan betapa bagi masyarakat materialis Barat, dalam segala hal, uang “berbicara” paling powerful dari apapun. Walau kenyataannya pahit dan getir, dengan segala keramahan tata karma, American Beauty mengucapkan: selamat datang di dunia “Impian Amerika”.

Buka kembali kitab sejarah perfilman anda – masih ingat genre apa yang mendominasi film Hollywood akhir dekade ‘90an? Yup. Horor, komedi, dan kisah percintaan remaja. Pokoknya, all about teen. Sembari layar MTV kala itu diguncang joget-ria boyband pop seperti Backstreet Boys dan N Sync didampingi puteri-puteri bubblegum pop usia belasan taun, Britney Spears, Christina Aguilera, Jessica Simpson, dan Mandy Moore – di kolom serial remaja populer, setelah gemerlap Beverly Hills 90210 milik Aaron Spelling yang muncul awal ‘90an pudar, masih segar di ingatan bagaimana Dawson’s Creek yang secara reguler dibintangi kuartet James van der Beek, Katie Holmes, Michelle Williams, dan Joshua Jackson menjadi salah satu mata rantai simulasi kesuksesan serial remaja dekade 90an yang cukup digandrungi kalangan ABG dari seluruh dunia. Anda pasti belum lupa dengan film-film box office akhir 90an – selain dominasi tema-tema disaster seperti Armageddon (1998), Independence Day (1996), dan Titanic (1997) – melulu dibombardir film-film penebar pesona romantic comedy (romcom) khas remaja. Anda tentu masih ingat bagaimana Drew Barrymoore segera mengakhiri keterpurukan “tragedi bintang cilik” lewat Everafter: A Cinderella Story (1998) dan Never Been Kissed (1999), bukan? Atau sensasionalnya kemunculan Julia Stiles bersama (alm.) Heath Ledger dan Joseph Gordon-Levitt dalam 10 Things I Hate about You (1999) disusul She’s All That (1999) dan segudang lagi kisah romcom sejenis lainnya? Lalu komedi puber dengan sentilan-sentilan “jorok” seperti There’s Something about Mary (1998) dan American Pie (1999)? Di dunia horor dan thriller remaja – seakan meneruskan tongkat estafet seri petualangan horor mistis Louise Robey (yang sekilas mirip Julia Roberts itu) dalam Friday the 13th akhir ‘80an, kemudian pertengahan ‘90an muncul seri Buffy the Vampire Slayer yang menjadikan nama Sarah Michelle Gellar begitu lekat dengan tema-tema horor remaja. Kemudian muncul film-film remaja berbumbu misteri seperti Urban Legend (1998), The Faculty (1998), Disturbing Behavior (1998), Idle Hands (1999), The Wild Things (1998) plus trilogi Scream yang menghantarkan bintang seri Party of Five, Neve Campbell memperoleh julukan “The New Queen of Slasher Movie” menggantikan Jamie Lee Curtis yang dua dekade sebelumnya memperoleh predikat tersebut berkat horor waralaba serupa yang melegendaris hingga kini: Halloween. Tak mau ketinggalan, sesama rekan mainnya dalam Party of Five, Juminten Love Duit – ups! maksud saya, Jennifer Love Hewitt – juga ikut-ikutan menjajal archetype horor bunuh-bunuhan semacamnya dalam I Know What You Did Last Summer (1997) dan sekuelnya.

Lantas apa hubungannya? Well, saya tidak akan membahas film-film coming age di atas tapi American Beauty agaknya bisa dikatakan “memanfaatkan” booming momentum tersebut untuk mencuri perhatian kalangan penikmat film dari generasi yang lebih muda, yakni para remaja. Bagaimana tidak – bayangkan dengan memasang tiga bintang utama (Birch, Suvari, dan Bentley) yang adalah aktor-aktris remaja cute di eranya yang menjadi simbol “kemudaan, kebebasan, pemberontakan, dan aktualisasi jati diri” kemudian dikisahkan “berselisih” dengan aktor-aktris senior (Spacey, Bening, Cooper, Janney) pemeran orangtua mereka yang seolah mewakili citra “tua, kolot, jadul, dan konservatif” (bila ditengok dari kacamata remaja) – maka serta-merta pola ini seolah merujuk pada arch-story film-film ABG bertema serupa di masanya sebutlahThe Faculty dimana sekelompok murid bersatu melawan para guru atau Disturbing Behavior yang mengargumentasi tindakan disipliner pihak sekolah terhadap anak badung sebagai bentuk perampasan integritas individu oleh suatu otoritas berkekuasaan. Ini merupakan simbolisme pemberontakan jiwa remaja yang demikian kuat merefleksikan kenaifan generasi muda yang senantiasa ingin tumbuh dewasa tanpa kekangan, cambukan, dan intimidasi. Tapi The Faculty dan muluk-muluknya konspirasi alien? Disturbing Behavior yang memperumit ide antara sikap bertanggung jawab dengan eksesifnya paranoia program cuci otak tersembunyi? Tentu saja dalam aspek kematangan cerita dan perkembangan plot, level American Beauty tidaklah serendah dua film remaja tersebut.

Jangan lengah, begitu adegan film dibuka, anda tentu akan sungguh-sungguh “tertipu” mengira American Beauty semurahan flick film teen-thriller lazimnya – mengambil induk tema besar: juvenile delinquency alias kenakalan remaja. Perhatikanlah – saat disorot handycam, Thora Birch yang bermalas-malasan di atas tempat tidur berceloteh dengan lagak lancang dan sok cool khas ABG, menantang: “Ayahku benar-benar tidak bisa dijadikan contoh. Tua bangka yang tidak bisa menyembunyikan nafsu di balik celana pendeknya saat aku pulang membawa teman cewek dari sekolah. Sungguh memalukan. Aku ingin orangtua semenyedihkan itu dilenyapkan saja dari dunia ini. Bersediakah kau membunuhnya untukku?” Prolog sensasional tersebut jelas me-resemble formula “jahat” Leigh Ann (Katie Holmes) ketika menyajikan premis film Teaching Mrs. Tingle (1999): “Bu Tingle. Guru sialan itu telah menghancurkan impianku menjadi lulusan terbaik di sekolah. Kini saatnya penyihir wanita itu menerima balasan setimpal atas perbuatannya.” Atau Cruel Intentions (1999) dengan perangkap-perangkap busuk dari dua belia kakak-beradik tiri (Ryan Phillipe dan Sarah Michelle Gellar) yang sama-sama berhati serigala – saking sugih-gemugihnya gara-gara keturunan aristocrat dan saking engga ada kerjaan dan saking haus dengan permainan-permainan gila penuh tantangan sampai-sampai memelihara hobi se-“sakit”: “merusak para perawan yang menjadi simbol kebanggaan sekolah mereka”.

Belum lagi kehadiran Angela sebagai tipikalisasi ABG centil yang banyak oceh dan sok gaul “menambah kuat” kesan kalau ini benar-benar sebuah film remaja. Lalu partner in crime Jane, Ricky Fitts – walau tidak hebat tapi diperani cukup meyakinkan oleh Wes Bentley – menjadi cerminan remaja laki-laki pemberontak yang dingin dan apatis. Figurnya yang kalem dan tak banyak cingcong bagaimanapun tetap menjadi sosok dream prince yang sempurna bagi ABG perempuan pemuja musik grunge dan punk seperti Kurt Cobain dan Sid Vicious. Mengapa bisa? Ricky menjadi karakter impian remaja yang berpenampilan nerd, culun, dan pendiam tapi diam-diam perilakunya bagai api dalam sekam. Sungguh ironis – dengan jurus selihai tupai, ia kerap menggobloki orang yang lebih tua. Pada awal-awal film, kita tidak akan menyadari betapa Ricky “sukses” menipu orangtuanya, termasuk kita semua – di balik wajah manis dan senyum simpatik – ternyata adalah seorang pengedar narkoba mumpuni. Istilah anak jaman sekarang menyebut Ricky sebagai “cowok yang kickin’ ass.” Namun agaknya, bagi para ABG yang demikian tergila-gila dengan predikat “gaul” dan seloroh senyinyis “masalah buat elo?”, American Beauty akan menjadi tontonan yang bikin kepala mumet dan otak salto ria. Karena twist remaja terbukti hanya menjadi pemanis saja dalam film ini, karena sesudah opening scene yang “gegayaan” itu, cerita dari awal sampai penutupan film ternyata diporsikan dari sudut pandang Lester, si bapak. (A-ha! Anda tertipu.)

Berangkat dari sineas pertelevisian, drama-drama besutan Sam Mendes yang baru bercerai dari si cantik Kate Winslet dua tahun lalu dikenal menyerempet ke arah non-mainstream sehingga banyak memuat adegan yang terkesan berani bahkan cenderung seronok bagi sebagian penonton – salah satu buktinya American Beauty yang menjadi gebrakan debut layar lebarnya dan langsung memboyong Oscar 1999 untuk “Film Terbaik” dan “Sutradara Terbaik” untuk Mendes sendiri. Dalam konteks imajinasi - ketika Lester berfantasi tentang mandi kembang mawar merah darah menyimbolkan kebeliaan dan kesegarceriaan Angel si dara jelita yang masih bau kencur - dengan “meminjam” inspirasi sensualitas dan eksotisme dari magical-realism Gabriel Garcia-Marquez lewat sejumlah karyanya, yaitu kumpulan cerpen La Hojarasca (Leaf Storm) (1955) disusul novel solid One Hundred Year of Solitude (1967) yang mempopulerkan keberadaan desa fiktif bernama Macondo yang diliputi aura mistis, film ini disajikan dengan penuh penjiwaan oleh Mendes sebagaimana ia memanglah seorang sutradara yang dekat dengan tema-tema yang bermuara pada keluarga, seks, dan konflik pertentangan terhadap nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat – bisa anda tengok dari salah satu drama besutan terakhirnya yang mengadaptasi novel Richard Yates, Revolutionary Road (2008) mereunikan dua mega-bintang Titanic (1997) Leonardo DiCaprio dan mantan istrinya, Kate Winslet – seraya merangkul pula tema besar film-film romantis dan drama keluarga yang membanjiri sepanjang dekade 90an.

American Beauty merupakan kritik satir yang tajam dengan “legowo” mengumbar sisi gelap dan buruk dari keluarga Amerika yang dipenuhi intrik, kemunafikan, kepura-puraan, tipu-daya, dan perselingkuhan dirangkum dalam sebuah drama surealis-impulsif tapi tetap setia menaati pakem – saya lebih suka menyebutnya sebagai dark comedy – berdurasi dua jam penuh. Menyajikan isu perzinahan dan pedofilia (sadarkah anda bahwa nama Lester Burnham adalah anagram dari “Humbert learns” mengacu pada novel Lolita Vladimir Nabokov yang demikian kontroversial karena tema obsesi pedofilia yang panas?) – film ini akan membikin anda miris, tertawa sinis, bahkan tak jarang (dalam hati) mengutuki karakter-karakter bejat yang ditampilkan dengan penuh kepiawaian berkat jajaran cast yang tepat. Namun, setelah kesucian pernikahan dan esensi maknawiah keluarga sebagai lembaga paling inti dalam strata sosial dibombardir, diobrak-abrik, ditelanjangi, dan dipermalukan –  secara mengejutkan, film ini memunculkan suatu energi positif yang tak terbantahkan – yaitu sebuah pesan hangat yang menutup segala luka: CINTA. Awalnya penuh percekcokan dan goncangan hebat, namun American Beauty menjadi ruang meditasi yang hangat bagi jiwa anda untuk menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan terbesar dalam hidup anda – tentang siapa anda dan (terutama) bagaimana anda menjalankan peran sebagai orangtua.

Siapa bilang lelaki akan dibilang cengeng dan banci bila menonton drama? Tengoklah American Beauty. Beginilah cara Mendes menyajikan drama maskulin yang sensitif – berbeda dari drama-drama Scorsese yang lazimnya menjanjikan maskulinitas “garang”.  Dengan tiga tema besar:
Heteroseksual Eksklusif (Lester- Carolyn, Jane-Ricky, Buddy-Carolyn, Lester-Angela)
Heteroseksual Abu-abu (Lester-Ricky)
Heteroseksual Palsu (Kolonel Fitts-Nyonya Fitts)
Film ini menggali queer theory (istilah yang lazim dipakai dalam diskusi mengenai homoseksualitas dan seksualitas non-hetero lainnya) secara efektif mengungkapkan apa yang terjadi pada manusia yang sejatinya adalah gay-in-denial [1] perihalnya Kolonel Frank Fitts (Chris Cooper) yang malu mengungkap jati dirinya yang sebenarnya karena kebanggaan dirinya seorang purnawirawan tentara: lalu kawinlah dia dengan seorang perempuan, beranak, berlaku kaku, keras, dan otoriter, dan ikut-ikutan mengejek pasangan homo tetangganya mengimitasi lingkungan sosialnya yang homofobik.  Lalu apa hasil akhir dari semua sandiwara ini? Nyonya Fitts (Allison Janney) menjadi contoh istri – perempuan malang – yang terganggu mentalnya akibat menjadi korban potret “keluarga Amerika ideal” yang palsu. Sementara Kolonel Fitts sendiri di balik topeng kemunafikan yang terus dipeliharanya, dalam batin dia tersiksa ketika harus mengkhianati perasaannya sendiri demi menjaga citra agar tidak dicemooh dan dihina masyarakat bahwa sesungguhnya dia juga seorang gay – sama seperti kaum homo yang dia cemooh dan dia anggap menjijikkan selama ini.

Ricky mungkin sosok rebellious tapi dapat dikatakan dia adalah pelurusan dari karakter Kolonel Fitts, ayahnya, yang penuh kepura-puraan. Sebagai karakter maskulin yang menjembatani emosi penonton, Bentley membantu kita mengerti arti keindahan dari kesederhanaan – dari obyek-obyek yang ia tangkap melalui lensa handycam. Saya tidak pernah begitu bersimpatik pada Kevin Spacey: Se7en (1995)? The Usual Suspects (1995)? Superman Returns (2006)? 21 (2008)? Karakter-karakter antagonis yang berlagak sok cool? Meehh… (-_-)  – tapi lewat karakter Lester Burnham yang dia mainkan dengan luar biasa – dia benar-benar layak mendapatkan Oscar kali ini. Bertepatan dengan peringatan kemerdekaan AS, Spacey mengajak kita menyelami sebuah keindahan bernama “American Reality” yang tersembunyi di balik permukaan “American Dream” yang cantik hanya tampilan luarnya saja.  Memang, awalnya karakter Lester begitu menjengkelkan: korup, egois, maniak seks yang berusaha mengambil keuntungan dari kebingungan seorang gadis muda yang jiwanya tersesat – namun Spacey mengajarkan kepada kita bagaimana menekan tombol yang benar di saat kesempatan untuk berbuat jahat itu ada dan tiba-tiba semuanya berbalik arah hingga di akhir cerita, anda akan memutuskan Lester sebagai seorang pahlawan keluarga. Ayah yang hebat. Suami yang hebat. (Saya tau ini sudah terlambat tapi bagaimanapun) Selamat hari ayah.

-   F. Fajaryanto Suhardi

(31 Desember 2010)
(Revisi: 3 Juli 2012)

Catatan kaki:

[1] The American Psychology Association secara resmi menyatakan:
“Homosexuality is not a mental disorder and thus there is no need for a cure.”