Jumat, 13 Januari 2012

Haruskah Kesempurnaan Sebuah Dongeng Anak Selalu Ditutup dengan "Happy Ending"?

Movie Review

Pan’s Labyrinth (El Laberinto del Fauno) (2006)

"Lembar Putih yang Terkoyak dalam Lumpur: Tawa Ceria Anak-anak yang Terenggut oleh Kegelapgulitaan Dunia yang Menyesakkan dan Menggelisahkan"



Apakah (dulu) anda seorang pecinta dongeng? Puluhan tahun lalu, masih terekam jelas dalam ingatan betapa saya semasa kecil dulu adalah satu di antara jutaan anak-anak yang amat menggemari bacaan terutama dongeng. Mulai dari cerita tokoh-tokoh besar dalam kitab suci seperti Nuh, Musa, Daud, atau Samson dan Delilah; epos kepahlawanan dari India seperti Ramayana dan Mahabarata; mitos populer dan dongeng klasik dunia seperti Cinderella, Abu Nawas, Hercules, Romus & Romulus, Son Go Kong si Kera Sakti; sampai fabel lokal seperti Si Kancil yang nakal, legenda Jaka Tingkir dan 7 Bidadari, Sangkuriang, juga kisah Petruk yang unik dan menyentil. Jika kita kesampingkan epos Alkitabiah dan legenda heroik bermuatan ideologi dan filosofi yang sudah barang tentu terlalu rumit untuk dimengerti oleh anak-anak, maka kita masih punya sederet dongeng populer “ringan” yang mayoritas cerita tradisional kumpulan Grimms Bersaudara seperti Puteri Salju, Rapunzel, Hans dan Gretel, Si Tudung Merah; juga karya-karya Bapak Dongeng Dunia, Hans Christian Andersen, sebutlah Anak Itik Buruk Rupa, Thumbelina, Gadis Penjual Korek Api, Sepatu Merah, dan masih banyak lagi. Namun, sementara anak-anak lain menyukai kisah-kisah protagonis yang pada awal cerita didera kemalangan bertubi-tubi namun kemudian mendapatkan “upah tertinggi” yaitu “living happily ever after” pada lembar penutupan buku, tidak demikian halnya saya. Cenderung agak selektif, dari sekian banyak dongeng populer Barat, jujur, barangkali dua kisah favorit saya (dan sampai sekarang masih saya gemari) adalah Pinokio dan Puteri Duyung. Lalu sejumlah teman pernah bertanya: Alasannya? Karena sejatinya menurut konsep sudut pandang yang rasional, keduanya tidak menawarkan akhir yang “happy ending.”

Hmm, apa yang terjadi di Spanyol era Perang Dunia II barangkali bukan kecemasan kita karena pada saat itu negara kita juga sedang berada terjepit dalam situasi panas perang Asia Pasifik; di antara tekanan Jepang dan ancaman serangan Sekutu – lagipula antara Indonesia-Spanyol terbentang jarak sejauh puluhan ribu mil, akan tetapi (peristiwa) itu menjadi rel landasan yang kuat bagi alur film ini. Bertepatan dengan gonjang-ganjing Perang Eropa yang dimotori Jerman plus Italia melawan Inggris, Perancis, dan sekutunya, pecah Perang Sipil di Spanyol menjelang akhir dekade 1930an dan berlangsung selama lebih dari lima tahun.[1] Spanyol tahun 1944, Perang Sipil baru usai, dikisahkan seorang protagonis cilik bernama Ofelia, seorang gadis yatim yang hidup berdua saja dengan ibunya yang baru dinikahi oleh seorang perwira militer, Kapten Vidal. Bermaksud menumpas sisa-sisa kaum pemberontak terhadap rezim fasisme yang bersembunyi di hutan-hutan di  pinggiran Spanyol, Kapten Vidal bersiaga sebagai kepala sebuah pos militer yang dibangun untuk menghancurkan lokasi di sebuah hutan yang diperkirakan kuat menjadi titik persembunyian para gerilyawan. Di tengah situasi politik yang kacau dan persiapan perang gerilya yang memanas, sang kapten kemudian memboyong istrinya yang tengah hamil besar dan Ofelia untuk tinggal bersamanya di hutan tersebut. Sebagai anak pendiam dan tak punya teman, Ofelia yang selalu diliputi ketakutan pada ayah tiri barunya yang berwatak dingin dan kejam itu, kemudian lebih memilih membaca buku-buku dongeng kesukaannya atau menghabiskan waktu bermain di luar sendirian.

Suatu ketika, Ofelia menjumpai serangga aneh sejenis belalang yang membawanya masuk ke dalam sebuah labirin tak jauh dari pos militer. Di sana, secara gaib dia ditemui sesosok mahluk serupa monster separuh manusia separuh kambing bernama Faun (mengacu pada mitologi Yunani, Pan, sang dewa penggembala). Disambut sebagai titisan Puteri Moanna dari Kerajaan Bawah Tanah yang selama ini dinantikan oleh Faun, gadis cilik itu kemudian diceritakan kembali tentang dunia masa lalunya. Untuk dapat mewujudkan masa depan yang tenteram dan kembali bersatu dengan “keluarga”-nya di kehidupan lampau, Ofelia kemudian diberikan sebuah buku kuno berisi tiga teka-teki yang harus diselesaikannya sebelum bulan purnama berikutnya tiba. Buku itu hanya boleh dibuka ketika Ofelia sendirian dan tulisan petunjuk akan muncul dalam lembar buku itu hanya ketika waktunya telah tepat. Dari sinilah petualangan magis nan mistis Ofelia dimulai namun mulai dari situ jugalah nasib Ofelia dan orang-orang yang dicintainya ditentukan.

Jika anda kecewa dengan Hellboy (2004) dan sekuel Hellboy II: The Golden Army (2008) yang barangkali memuaskan secara detil efek visual dan teknik manipulasi gambar tapi lemah dalam segi pewatakan karakter dan kualitas plot, hadir full dalam bahasa Spanyol (Latin), Pan’s Labyrinth (El Laberinto del Fauno) merupakan karya sutradara Guillermo del Toro yang secara signifikan menebus “dosa” del Toro atas segala “kelalaian”-nya dan menjadi jawaban atas ketidakpuasan para kritikus dan masyarakat pecinta film akan kehadiran film fantasi yang memiliki bobot cerita yang tidak klise. Jika anda cerdik mencermati, melalui karya-karyanya, del Toro dikenal sebagai sutradara yang menyukai kecenderungan untuk merekam gambar dalam tampilan layar yang gelap dan muram. Kebanyakan sekuens yang ada dalam film-filmnya menunjukkan kekuatan sinematografis del Toro yang sesungguhnya bertumpu pada siluet dan background bernuansa hitam dan absurd. Selain itu, del Toro juga identik dengan kisah-kisah imajinasi yang berkenaan dengan mitos, dongeng, dan komik lalu untuk mewujudkan cerita yang tak lazim dan lebih menggugah, dia sengaja menciptakan twist dengan mengaitkannya dengan kejadian nyata yang tercatat di dalam sejarah. Semisal bocah iblis bertubuh kera, Hellboy, diceritakan merupakan mahluk dari neraka yang berhasil dipungut oleh para ahli nujum nomor satu Hitler pada masa Nazi; atau bagaimana del Toro sukses menyelipkan fantasi petualangan seorang gadis kecil bersama monster Faun di tengah polemik Perang Sipil yang sempat melanda Spanyol. Memicu reaksi pro maupun kontra dari penonton, sang sutradara juga kerap melakukan pembalikan penanaman ideologi terhadap penokohan karakter yang muncul dalam film-filmnya dimana tokoh yang secara “normal” biasanya dianggap jahat dan mengerikan justru menjadi sosok protagonis (semisal Hellboy dan Faun) sementara yang tampak sempurna dan indah justru dijadikan tokoh antagonis (contoh teraktual, Kapten Vidal).

Belakangan generasi kita seolah dininabobokan oleh ide-ide khayalan tentang sihir dan mantera-mantera dan betapa kerennya bersekolah di sebuah sekolah sihir bersama sekumpulan penyihir tampan dan cantik atau indahnya impian untuk hidup abadi dikelilingi klan vampir yang bak jelmaan dewa-dewi dari nirwana. Tak dapat disalahkan. Dan memang tak dapat disangkal bahwa kehadiran film fantasi turut mendongkrak penjualan tiket bioskop meningkat puluhan bahkan sampai ratusan kali lipat, seperti fenomena membludaknya penonton dan pesatnya angka pemesanan tiket bioskop yang gila-gilaan pada pemutaran perdana seri terakhir Harry Potter: The Deathly Hallows part II pada pertengahan tahun ini. Satu alasan pasti mengapa film fantasi cenderung lebih menarik untuk ditonton ketimbang film drama atau film genre lain: EFEK VISUAL YANG CANGGIH. Dan mungkin untuk alasan ini pulalah plus iming-iming sokongan dana dari pihak studio film dalam jumlah luar biasa menggiurkan, seperti halnya sutradara Hollywood spesialis film bergenre serupa lain, orang seidealis del Toro yang tahun lalu sempat ikut memproduseri drama apik Biutiful dibintangi Javier Bardem pun tak kuasa menolak dan kemudian memutuskan mengangkat Hellboy dari komik ke dalam layar lebar. Memilih tenggat rilis pada waktu liburan seperti musim panas atau musim dingin untuk membidik lebih banyak moviegoers, alasan pihak studio tak segan-segan menggelontorkan dana besar untuk menelurkan film fantasi yang fantastis sudah barang tentu jelas: dengan bermodal tipuan efek CGI yang memanjakan mata dan telinga, film fantasi pastilah menguntungkan secara finansial karena lebih “menjual”. Kejelian produser Barat menebak hasil survei hingga menjadi resep kelanggengan kesuksesan industri perfilman Hollywood sama sekali bukanlah barang baru. Hal semacam ini telah terjadi terus-menerus dan turun-temurun. Itu artinya minat penonton begitu mudah ditebak. Ya, Hollywood mengetahui keinginan anda dan menjadikannya mesin pencetak uang. Masalahnya apa kita ini terlalu bodoh untuk menyadari atau sudah terlanjur “terjebak” terlalu dalam hingga susah untuk berpaling?

Anda mungkin menyangka bahwa Pan’s Labyrinth tak ubahnya seperti film fantasi lainnya yang beredar di bioskop beberapa tahun belakangan ini, seperti halnya saga Harry Potter, Twilight, Clash of Titans, Eragon, The Last Airbender, The Sorcerer’s Apprentice, Thor, atau Green Lantern, tapi saya di sini memastikan kekeliruan anda. Meski dibungkus dalam kemasan bergenre “FANTASI”, dalam Pan’s Labyrinth, anda bahkan akan menemukan cerita yang jauh lebih gelap dan lebih misterius ketimbang dalam film The Golden Compass (2007) yang diangkat dari novel Phillip Pullman bertajuk Northern Lights walaupun dua-duanya sama-sama bersentral pada petualangan fantasi seorang gadis cilik. Anda akan melihat para monster yang divisualisasikan di sini terlihat cukup menjijikkan dan tak sedap dipandang mata – sama sekali kontras dengan beruang daemon yang ditunggangi Lyra dalam The Golden Compass atau singa Aslan dari saga Chronicle of Narnia yang tampak cemerlang dan gagah. Pan’s Labyrinth mengedepankan tema pelanggaran dan konsekuensi serta hukuman terhadap dosa-dosa manusia. Bahkan sebagai orang dewasa, pembunuhan dan kematian yang digambarkan begitu suram di dalamnya akan terasa menyesakkan jika anda bayangkan terjadi di dunia nyata. Seperti adegan yang menggambarkan metode penyiksaan tubuh dengan palu lalu pemotongan jari menggunakan tang oleh Kapten Vidal terhadap salah seorang anggota gerilyawan yang tertangkap atau adegan ketika para bawahan Kapten Vidal menangkap seorang laki-laki tua dan anak laki-lakinya yang dikira penyusup, sang kapten kemudian meremukkan tengkorak lelaki itu dengan botol anggur dan menembak mati si bapak. Sungguh bukan cerita yang layak untuk disuguhkan pada anak-anak. Disebut-sebut sebagai Film Terbaik 2006 oleh koran Inggris The Observer dan kritikus film terkenal Roger Ebert, Pan’s Labyrinth adalah sebuah perenungan yang menggelisahkan.

Ofelia menjadi bukti penjembatanan psikologi yang kuat antara harapan dan realita. Kehilangan ayah, kemudian ibu meninggal pula di saat melahirkan, kesepian yang dirasakan Ofelia terasa begitu menyeluruh. Di tengah kecamuk pertempuran, satu-satunya kesempatan yang dimiliki oleh Ofelia adalah pergi dan menyelamatkan adik laki-lakinya yang baru lahir dengan memohon pertolongan Faun tapi sang monster justru mengisyaratkan bayi mungil itu dibunuh sebagai penebusan atas “kesalahan”-nya dalam menjalankan tugas untuk bisa kembali ke kerajaannya dulu. Dengan rumitnya dunia ini yang seperti lumpur nista dipenuhi kebencian, melalui Ofelia, kita lalu menyadari bahwa dalam skema sebenar-benarnya, perang tidak akan berhenti sebelum ada darah orang yang tidak bersalah ditumpahkan. Untuk dapat mengakhiri pertumpahan darah dibutuhkan pengorbanan. Nah, pesan moral abadi seperti inilah yang ditawarkan oleh “dongeng” ini kepada anda. Pinokio, pada kenyataannya hanyalah seonggok boneka kayu, mungkinkah dia bisa berubah menjadi seorang bocah manusia sungguhan? Bukankah Pinokio hanya bisa selamanya bermimpi? Dan Puteri Duyung, wujud sesungguhnya seekor monster ikan yang mengerikan, masuk akalkah jika seorang pangeran tampan lebih memilihnya daripada seorang puteri cantik yang sempurna fisiknya? Sehingga kemudian, tidakkah kematian menjadi resolusi yang indah demi kebahagiaan sang pangeran beserta wanita pilihannya? Lalu, masihkah anda berpikir bahwa sebuah dongeng yang sempurna harus ajeg dibungkus dengan pengakhiran bernama HAPPY ENDING? Pikirkan lagi.


-          F. Fajaryanto Suhardi

Catatan kaki:
[1] Orwell, George. 1938. Homage to Catalonia (republished in 1977). London: Penguin Books.


(11 November 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar