Jumat, 13 Januari 2012

Tuhan Menakdirkan Manusia sebagai Makhluk yang Saling Membenci (?)

Movie Review

Babel (2006)

"Distopia Imperium Global: Jurang Diskriminasi Manusia di Tengah Konflik Peradaban akibat Ketakmafhuman Antar-Budaya, Islamophobia & Xenophobia sebagai Manifestasi Arogansi Ras Kaukasoid, dan Stigma Ambivalen terhadap Orientalisme Dunia Ketiga"



B : Bangsa
A : Agama
B : Budaya
E : Etnisitas
L : Linguistika

Lima faktor besar yang memicu terjadinya konflik dan perpecahan di muka bumi ini pada umumnya.  Anda boleh saja membantahnya tapi mari kita uji bersama lewat sebuah pertanyaan sederhana: Apakah di dalam hati yang paling jujur, anda memiliki kecurigaan/sentimen negatif/kebencian terhadap ras atau suku atau orang-orang dari latar belakang agama tertentu? Bila iya, maka kisah yang satu ini memang tepat untuk anda.

Meksiko-Amerika Serikat-Maroko-Jepang.

Ada apa dengan keempat negara tersebut?

Mulanya sepasang turis suami istri Richard (Brad Pitt) dan Susan Jones (Cate Blanchett) dari San Diego yang bergabung berlibur ke Maroko bersama  bis rombongan turis bule lainnya. Lumrahnya turis Amerika angkuh yang menganggap dirinya sebagai bagian masyarakat kulit putih yang ‘beradab’ dan well-educated, Susan yang sebetulnya enggan menghabiskan liburan di negeri antah-berantah sunyi, gersang dan tak ada indah-indahnya itu lantas menolak minuman kaleng bersoda pesanannya ditambahkan es dari gubuk makan setempat – buru-buru mengoleskan hand-sanitizer, dia bahkan tak sudi memakai perkakas makan mereka. “Buang esnya dari gelasmu. Kita tak tau es itu dibikin dari air apa,” hardiknya seraya menyambar dan membuang coke bercampur es dari gelas sang suami.

Tak jauh di situ ada dua bocah lokal kakak-beradik Ahmed (Said Tarchini) dan Yussef (Boubker Ait El Caid) sedang menggembalakan ternak di dataran tinggi berbatu. Mereka baru saja memperoleh sebuah senapan laras panjang jenis Winchester M70 kaliber 270 pemberian ayah Abdullah (Mustapha Rachidi) mereka yang dibeli dari seorang kerabat dekat bernama Hassan (Abdelkader Bara), untuk membunuh dan mengusir kawanan serigala yang kerap memangsa kambing-kambing mereka. Senapan berburu tentu bukanlah barang berbahaya jika ada di tangan orang dewasa yang dianggap mengerti akan tanggung jawab, namun bila diberikan pada anak-anak maka akan lain ceritanya. Layaknya bocah polos yang masih senang bermain-main dan tak faham resiko, keduanya kemudian tak sabar mengetes jarak tembak senjata itu. Mengira senapan itu tak mampu menjangkau jarak tiga kilometer sebagaimana yang dikatakan oleh Hassan, dengan sembrono mereka mulai main tembak-tembakan dengan “sasaran tembak” jarak jauh. Mulanya batu kecil lalu batu besar kemudian beralih ke mobil jip sampai bis turis yang sedang melintasi jalan raya pun tak ayal menjadi sasaran tembak mereka.

Di Jepang, seorang gadis belia tuna rungu (Rinko Kikuchi) Chieko Wataya yang baru saja ditinggal ibunya yang tewas bunuh diri mengalami frustasi secara seksual karena tak ada satupun lelaki yang mau menjadi pacarnya. Kebanyakan laki-laki yang didekatinya kabur menjauh karena  ketidaksempurnaan fisiknya itu. Bersama sahabatnya yang juga bisu-tuli, dia pergi dari satu tempat ke tempat lain, dari taman kota sampai ke kelab malam berpetualang mencari pelampiasan seks. Dengan hampa, dia kembali ke apartemen dan bertemu dua orang detektif polisi yang ingin bertemu dengan ayahnya. Dirundung kecemasan dan tanda tanya atas perkara delik yang tengah menjerat sang ayah, gadis itu tiba-tiba merasa tertarik pada salah seorang polisi yang masih muda dan tampan. Mengira polisi memburu ayahnya atas sangkaan keterlibatan di balik kematian ibunya, sendirian, dia pun mengundang polisi muda (Satoshi Nikaido) itu kembali ke sana kemudian seraya merangkai jaring erotika yang nelangsa, dia memberikan keterangan palsu. Tapi ternyata polisi itu hanya ingin menginterogasi ayahnya atas status kepemilikan sebuah senapan laras panjang yang digunakan untuk “kegiatan terorisme” oleh dua orang bocah Maroko yang masih ingusan.

Di San Diego, Amelia (Adriana Barraza) yang mengasuh Mike (Nathan Gamble) dan Debbie Jones (Elle Fanning) sejak bayi dilanda kebingungan karena keinginannya mudik ke Meksiko untuk menghadiri pernikahan putranya tidak direstui oleh majikannya, Richard yang tengah panik berada dalam situasi genting di Maroko. Setelah meminta pertolongan teman-teman sesama PRT untuk menitipkan mereka berdua sementara waktu tidak membuahkan hasil, dia pun akhirnya menghubungi keponakannya yang begundal, Santiago (Gael Garcia Bernal), lalu nekat memboyong kedua bocah itu melakukan perjalanan lintas negara penuh resiko menuju Meksiko yang terkenal di seluruh dunia sebagai sarang mafia narkotik, kejahatan penyelundupan manusia, perdagangan wanita dan anak-anak, dan maraknya aksi pembantaian ala gangster.

Pertama kali menyaksikan film ini, saya terhenyak oleh refleksi visional sang sutradara dalam konteks cerdas namun tak terikat berhasil menyajikan tayangan yang sanggup memompa emosi secara frontal melalui tutur cerita sehari-hari yang dinyana amatlah sederhana dan lumrah menjadi sebuah alur yang disatukan dari kepingan-kepingan cerita yang demikian kompleks dan menyentuh. Film ini unggul sebagai sebuah tontonan yang sarat muatan rasial-politis multidimensional. Ada banyak hal yang bisa kupas di sini seperti kegagalan dunia Barat memahami budaya non-Barat yang tercermin melalui sikap arogan ras Kaukasoid terhadap teritori lingkungan Islamis dan nuansa orientalis penduduk ibukota negara tergolong terbelakang seperti Meksiko dan Maroko yang ramai diwarnai hiruk-pikuk warga lokal, kesemrawutan, dan antusiasme spontan. Sebagai orang Barat yang melek wawasan dan perkembangan informasi terkini, Susan yang mewakili cara pandang puluhan turis bule lainnya dalam rombongan bis tentu sadar dengan kemungkinan ancaman penculikan, pembunuhan, serangan bom bunuh diri terhadap warga kulit putih oleh kaum Muslim radikal dan ekstremis Timur Tengah seperti yang rutin dibesar-besarkan oleh media Barat lantas melihat Maroko – representasi dunia Islam yang lazimnya diwarnai pemandangan warga laki-lakinya berjubah putih dan kaum wanitanya memakai kerudung dan cadar hitam – sebagai lubang sarang serigala yang menakutkan. Sehingga subconsciously mereka pun lantas menginternalisasi fobia terhadap dunia Muslim yang berakibat pada ketakutan orang bule pada setiap orang asing yang dianggap mencurigakan dan terkesan membahayakan (xenophobia). Hal serupa juga berlaku pada masyarakat Kaukasoid Amerika yang notabene memandang rendah imigran miskin dari Meksiko yang dianggap tidak terdidik, bodoh, kumuh, tidak taat aturan, beringas, dan liar. Namun justru ketakutan-ketakutan itu sendiri muncul karena ketidakmafhuman Dunia Barat pada masyarakat dan budaya Islam dan geliat Orientalisme Dunia Ketiga. Seperti sekuens yang sengaja menyorot jajanan Meksiko yang dijajakan di pinggir jalanan berdebu dan penuh dikerubungi lalat untuk tujuan memprovokasi reaksi miris penonton (terutama orang Barat, masyarakat modernis, dan kaum fasis yang demikian mengagungkan kemewahan, kecantikan, dan keresikan) atau sekuens di jalanan perbatasan antar-negara yang memampang rambu-rambu bergambar laki-laki, wanita dan anak-anak yang tampak sedang menyeberang jalan tapi secara semiotik justru menegaskan peringatan keras terhadap kejahatan imigrasi gelap karena dibubuhi kata “WANTED”. Isu-isu politis relijius semacam ini tidak diumbar secara eksplisit dalam Babel namun menjadi ambivalensi psikologis utama dimana karakter Richard dan Susan memang tidak terang-terangan menegaskan kebencian mereka terhadap Islam dan Hispanik yang konon penuh kekerasan, tapi tanpa terbantahkan lagi, stigma itu jelas tercermin dari reaksi dan perilaku mereka. Fobia tersebut bahkan sengaja mereka tularkan pada anak-anak mereka.

“Mama bilang Meksiko adalah negara yang sangat berbahaya.”
-          Mike Jones (Nathan Gamble)

Sebagai sebuah kisah anarki tanpa mengumbar kekerasan membabi-buta, Babel mengajak kita merenungkan kembali makna hakiki jati diri sebuah bangsa. Bagaimana sebuah kecerobohan “ringan” menyulut reaksi yang luar biasa kejam dan mencabik-cabik harga diri. Saya tidak sedang berusaha membenarkan apa yang diperbuat Yussef maupun Amelia, tapi melalui film ini, anda akan disuguhi fakta tentang betapa timpang dan lalimnya perlakuan Dunia Barat terhadap Dunia Ketiga. Kita tak ubahnya seperti keset bagi mereka. Seiring gencarnya politik luar negeri Amerika memerangi isu terorisme paska Tragedi 11 September dan Bom Bali yang berimbas pada pelaksanaan misi penghancuran Taliban di Afghanistan dan operasi militer di Irak, media asing dan para rombongan turis bule yang neurotik hiperbolis dan mudah terpancing kepanikan dengan entengnya menyimpulkan penembakan yang terjadi sebagai serangan teroris. Lalu atas desakan pemerintah federal AS, pemerintah setempat mengirimkan sebuah heli khusus demi untuk menolong Susan yang terkena peluru nyasar secara jelas menunjukkan gambaran eksklusivitas status kewarganegaraan AS yang berbanding terbalik dengan perlakuan yang diterima keluarga Hassan dan si bocah Yussef yang ditangkap dan digebuki seperti maling sementara dia dipaksa “menelan pil pahit” kehilangan abangnya yang terbunuh oleh berondongan peluru polisi internasional Maroko. Atau bagaimana zholim-nya kebijakan regional Amerika dalam upaya membendung gelombang imigran gelap terutama dari Meksiko yang terus bertambah dari tahun ke tahun yang dianggap membahayakan, atas nama penegakan hukum federal yang tegas dan tak pandang bulu, nasib Mike dan Debbie lantas “terselamatkan” berkat jaminan hukum federal yang berpihak pada kepentingan kulit putih sementara Amelia kehilangan hak atas rumah hasil kerja kerasnya selama 16 tahun dan harus merelakan diri dideportasi dari negara adidaya tersebut selamanya. Semua ketidakadilan yang dialami Yussef dan Amelia itu terjadi usai sebuah kesalahan sesaat yang mengubah segalanya. Sebuah keisengan anak-anak dan keinginan sederhana seorang ibu yang harus diganjar hukuman amat berat ketika tiba-tiba memicu sebuah peristiwa antar-manusia antar-keluarga antar-bangsa yang sungguh tragis dan menyesakkan dada.

Anda keliru jika mengira kita beruntung ketika teknologi Barat/Jepang datang dan menyentuh setiap sendi kehidupan masyarakat Dunia Ketiga. Lihat bagaimana si bocah malang Yussef yang tak mengerti apa-apa dan besar oleh didikan alam yang keras tiba-tiba menjadi seorang tersangka utama pelaku terorisme setelah “tanpa sengaja” menembak seorang turis asing. Pistol bukan mainan. Samuel Colt yang menciptakan pistol Revolver paham itu. Tapi anak-anak (termasuk orang dewasa) terutama di negara konsumeris-postkolonialis seperti Maroko dan Indonesia yang dengan mudahnya mencintai barang impor entah itu senjata berbahaya atau gadget canggih jelas tak menyadari atau mempedulikan resikonya. Mereka hanya menginginkan kesenangan. Sehingga tak heran video kamera ponsel beralih fungsi dari alat rekam momen pribadi menjadi moda distribusi cybersex dan pornografi seperti kasus yang menjerat seorang vokalis band ternama Tanah Air yang sangat menghebohkan tahun silam juga ribuan kasus video asusila serupa lainnya yang kini dengan suka hati dan tanpa malu-malu lagi dilakonkan oleh kawula muda dan para pelajar Indonesia. Saya rasa mendiang Steve Jobs pun akan sependapat. Mungkin kegagapan teknologi inilah yang pantas diselorohkan sebagai “ndeso”.

Dan lucunya, film ini seakan menampilkan ironi atas ekspektasi Barat untuk melakukan revolusi modernisasi dunia [1]: SENJATA MAKAN TUAN.
Senjata buatan Amerika Serikat à seorang turis Jepang yang gemar berburu mengapresiasi dan membelinya à senjata itu diberikan sebagai hadiah kepada penduduk lokal Maroko à senjata diuji coba à seorang warga Amerika sekarat setelah tak sengaja tertembak oleh senjata tersebut.

<blah!>

Di luar sutradara ternama Hollywood yang dalam film-filmnya justru menjual rationale du capital et dulce yang terbukti sukses menghipnotis publik dunia – terutama masyarakat di negara-negara Dunia Ketiga yang dengan tabah menelan bulat-bulat brainwashing idea Barat lewat iming-iming keindahan visual dan godaan materi – untuk mengamini superioritas ras kulit putih dan Yahudi melalui penegakan dan pelanggengan budaya sekuler Barat melalui struktur, gambar, komoditi, perilaku, dan sudut pandang; kita masih punya sejumlah nama yang memperlihatkan gairah tak jemu-jemu untuk membedah tema-tema kritis seputar isu global, salah satunya Alejandro Gonzalez Inarritu. Film yang menggabungkan empat lokasi pengambilan gambar yang berbeda di empat negara dengan menerapkan sistem ensemble cast dimana selama proses penyutingan para aktor yang berada dalam scene berbeda tidak bertemu satu sama lain (misalnya meskipun memerankan orangtua dan anak, prakteknya Brad Pitt dan Cate Blanchett tidak pernah satu frame dengan Elle Fanning dan Nathan Gamble) ini merupakan karya sang sutradara berdarah Meksiko yang memperoleh sambutan positif dari kritikus film internasional setelah 21 Grams (2003) dan Amores perros (2000). Secara pribadi, saya menilai film ini berdasarkan ketelitian penggarapan, plot dan naturalitas cerita, dan pewatakan karakter (terutama penampilan bagus aktor anak-anak amatir Maroko pemeran Yussef, Boubker Ait El Caid, serta dua aktris non-Kaukasoid, Adriana Barraza dan Rinko Kikuchi) lebih baik daripada film bertema serupa garapan Paul Haggis yang secara tak terduga berhasil menyabet Oscar untuk “Best Picture” tahun 2005 silam, Crash, setelah berhasil menyingkirkan drama beraroma homoseksualis besutan sutradara Taiwan Ang Lee namun justru banyak dijagokan oleh kalangan kritikus film, Brokeback Mountain. Meskipun berhasil memenangi kategori “Best Drama” dalam ajang Golden Globe awal tahun 2007 silam, konon ketika Babel dirilis, film ini kabarnya mendapat sambutan “dingin” dari publik Amerika sehingga pemasukan dari penjualan tiket bioskop di Amerika Utara cukup rendah jika dibandingkan dengan animo penonton dari luar AS yang justru lebih antusiastis. Hal ini mengindikasikan gairah penonton di Amerika terhadap drama bernuansa rasial-politis yang secara tajam menyindir dunia Barat menurun drastis. Entah bosan atau barangkali masyarakat AS sebal terus-menerus dikritik sehingga juri Oscar pun akhirnya memutuskan kategori Film Terbaik tahun 2006 jatuh pada The Departed yang kemudian menuai kontroversi karena dinilai menjiplak mentah-mentah Internal Affairs (2002), film drama thriller Asia dibintangi Andy Lau dan Tony Leung Chiu-Wai.

Menengok pada judul film ini, anda mungkin bertanya-tanya: apa itu BABEL? Bagi anda umat Nasrani (atau yang pernah memeluk agama tersebut) tentu tak asing lagi dengan istilah tersebut (setidaknya jika ketika kanak-kanak dulu anda rajin mengikuti Sekolah Minggu). Nama “Babel” mengacu pada legenda sebuah kota kuno dimana terdapat suatu menara yang konon pernah dibangun hingga puncaknya mencapai langit di masa Bumi Muda menurut perhitungan Alkitab diperkirakan pada 3000 SM.

Kejadian 11:1-9 (Terjemahan Baru):

11:1 Adapun seluruh bumi, satu bahasanya dan satu logatnya.
11:2 Maka berangkatlah mereka ke sebelah timur dan menjumpai tanah datar di tanah Sinear, lalu menetaplah mereka di sana.
11:3 Mereka berkata seorang kepada yang lain: "Marilah kita membuat batu bata dan membakarnya baik-baik." Lalu bata itulah dipakai mereka sebagai batu dan tér gala-gala sebagai tanah liat.
11:4 Juga kata mereka: "Marilah kita dirikan bagi kita sebuah kota dengan sebuah menara yang puncaknya sampai ke langit, dan marilah kita cari nama, supaya kita jangan terserak ke seluruh bumi."
11:5 Lalu turunlah TUHAN untuk melihat kota dan menara yang didirikan oleh anak-anak manusia itu,
11:6 dan Ia berfirman: "Mereka ini satu bangsa dengan satu bahasa untuk semuanya. Ini barulah permulaan usaha mereka; mulai dari sekarang apa pun juga yang mereka rencanakan, tidak ada yang tidak akan dapat terlaksana.
11:7 Baiklah Kita turun dan mengacaubalaukan di sana bahasa mereka, sehingga mereka tidak mengerti lagi bahasa masing-masing."
11:8 Demikianlah mereka diserakkan TUHAN dari situ ke seluruh bumi, dan mereka berhenti mendirikan kota itu.
11:9 Itulah sebabnya sampai sekarang nama kota itu disebut Babel, karena di situlah dikacaubalaukan TUHAN bahasa seluruh bumi dan dari situlah mereka diserakkan TUHAN ke seluruh bumi.

Jika memang politik global demikian diskriminatif dan tanpa keniscayaan, lalu, apakah perdamaian dunia sebagaimana yang ingin digapai bersama dalam Piagam PBB hanya sekedar cita-cita luhur palsu? Mengamini tagline film tersebut, LISTEN (dengarkan) ….. Di tengah kenestapaan akan saling ketaksepahaman budaya yang cenderung membawa perpecahan, dalam perbedaan yang begitu kontras – barangkali jika untuk dapat saling mencintai dirasa sebuah usaha yang hampir mustahil dan amatlah muluk – maka tanpa berlebihan, setidaknya manusia dapat belajar untuk saling memahami satu sama lain. Barangkali itulah ungkapan sederhana yang secara nyata merangkum segenap kegalauan hati seorang manusia yang hidup di tengah dunia dengan segala perbedaan latar belakang ras, agama, dan budaya. Dan tampaknya, begitulah harapan kita.


Catatan kaki :

[1] Said, E.W. 1978. Orientalism. London: Routledge and Kegan Paul.
Said (hal. 207) mengutip pernyataan John Westlake dalam buku Chapters on the Principles of International Law (1894) yang menganjurkan bahwa masyarakat yang mendiami wilayah di bagian bumi yang dianggap masih “primitif” sebaiknya diambilalih dan dinaungi oleh pemerintahan modern yang lebih “beradab”.(*)

(*) terjemahan penulis



-          F. Fajaryanto Suhardi



(16 Desember 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar