Movie Review
Blue Valentine (2010)
“(Cinta) Sampai Maut Memisahkan?”
For you I was a flame, love is a losing game
A five-story fired as you came, love is a
losing game
One I wish I never played, oh, what a mess
we made
And now the final
frame, love is a losing game
J
|
Sebelum bertemu Dean (Ryan Gosling), Cindy (Michelle
Williams) adalah mahasiswi jurusan kedokteran yang kemudian mengambil
spesialisasi obstetri. Lazimnya perempuan Amerika masa kini yang hidup di
tengah keluarga yang kaku dan acuh tak acuh – telah belajar mengenali dorongan
seksualitas sejak berusia 13 tahun – Cindy tumbuh menjadi gadis yang mencari
kesenangan di luaran, salah satunya dengan sang kekasih Bobby Ontario (Mike
Vogel) yang sesama mahasiswa sekaligus atlet gulat.
Tak berapa lama kemudian, di sebuah panti jompo Cindy dan
Dean bertemu – Cindy tengah mengunjungi neneknya dan Dean yang bekerja di biro
jasa angkut barang membantu menata kamar seorang pria tua – tumbuhlah percikan api
asmara di antara keduanya. Masalahnya kemudian adalah mencocokkan karakter
keduanya. Cindy tadinya gadis yang murah tawa dan penuh letupan spontanitas
lalu berubah menjadi wanita kaku dan dingin yang sehari-harinya disibukkan
dengan tetek-bengek peran ibu yang mengurusi anak setelah menikah. Dean pasca
menikah tetaplah Dean pra menikah: lucu, hangat, penuh perhatian, apa adanya –
pria yang kadang temperamental tapi tetap menomorsatukan keluarga. Cindy yang kompulsif
dan cenderung berhati-hati terbiasa hidup teratur sedangkan Dean yang impulsif
lebih suka hidup tanpa aturan. Cindy seorang obstetrician dengan penghasilan yang lebih dari memadai tentulah
tak sebanding dengan pendapatan Dean yang sebetulnya penuh talenta ini tapi justru
bahagia dengan profesinya yang (hanya) sebagai seorang tukang cat. Meskipun ketimpangan
kemapanan finansial tidak pernah disinggung sebagai masalah besar sampai-sampai
menyulut pertengkaran hebat di antara keduanya, tapi sulit disangkal ini telah menjadi
salah satu benturan keras yang menimbulkan memar yang terus membayangi kehidupan
rumah tangga mereka sebagai pasangan muda. Namun beban terberat sesungguhnya
adalah memikirkan bagaimana menjelaskan arti kata “perceraian” pada buah hati
mereka yang masih kecil, Frankie, yang selanjutnya akan kehilangan gambaran
orangtua secara utuh.
Cindy: You’re so good at so many things, you could do anything you wanted to do. You’re good at everything that you do, isn’t there something else you wanna do?
Dean: Than what? Than be your husband, to be Frankie’s dad? What do you want me to do? In your dream scenario of me doing what I’m good at, what would that be?
Cindy: I don’t know. You’re so good at so many things, you can do so many things. You have such capacity.
Dean: For what?
Cindy: I don’t know. You can sing, you can draw, you can… dance.
Dean: Listen, I didn’t wanna be a somebody’s husband and I didn’t wanna be somebody’s dad. That wasn’t my goal in life. For some guys it is… wasn’t mine. But somehow, it was what I wanted and now it’s all I wanna do. I don’t want to do anything else. It’s what I want to do.
Jangan katakan anda tidak tersentuh menyaksikan rentetan
sajian visual berikut: dengarkan komposisi “You and Me” milik grup soul indie Penny and the Quarters pada
adegan hangat saat Dean masuk dan berbaring di kamar Cindy – tapi tunggu saja sampai
closing part dimana Cianfrance
menggamit musisi Grizzly Bear memainkan komposisi glam rock dengan suguhan slideshow
portofolio foto-foto manis yang berhasil diabadikan demi kepentingan
publisitas film muncul dari latar gelap mengikuti blitz cahaya kembang api – sebagai selebrasi yang “merayakan”
matinya perkawinan sebagai simbol keabadian cinta. Namun, momen tak terlupakan
dari Blue Valentine adalah ketika
Dean menyanyikan repertoir “You Always Hurt the One You Love” dengan suara sengau diiringi uke (gitar
kecil) di depan sebuah butik dan Cindy dengan canggung dan malu-malu menari tap – cantik sekali – benar-benar sebuah
adegan romantis paling orisinil yang pernah saya saksikan. Dilengkapi
memori-memori bagaimana keduanya saling menjajaki kemungkinan mengenal apa itu
“cinta” dalam serangkaian “tur” kencan dalam bis, kereta subway, lalu di pinggiran jalan yang sama sekali jauh dari kesan
wah – hanya bermodal banyolan “garing” dan es krim – tapi sangat, sangat indah.
Betapa dua orang anak manusia belajar mencintai dalam perbedaan, menggelandang
dan bercinta di sembarang tempat tanpa peduli tentang atribut kemunafikan
kesantunan atau apapun pendapat orang. Sungguh pilihan screenplay yang amat jitu - sukses memerah emosi
penonton sampai (saya pun hampir) menitikkan airmata ketika memantau
potongan-potongan gambar yang mengharu biru ini.
Dengan keduanya turut memproduseri film ini, baik Michelle
Williams maupun Ryan Gosling dua-duanya menjadi magnet utama yang berhasil
menyedot seluruh perhatian saya sepanjang memantau film tersebut. Williams yang
janda Heath Ledger rupanya mengikuti jejak almarhum mantan suami (tunangan).
Setelah sebelumnya unjuk gigi dalam Brokeback
Mountain (2005), I’m Not There (2007),
dan Synecdoche, New York (2008), kemampuan
aktingnya terbukti semakin terasah. Bisa diasumsikan bila penampilan memikat
kaya ekspresi Williams dalam film ini merupakan refleksi kegagalan hubungannya
dengan Ledger yang bubar tahun 2005 silam. Dua tahun back-to-back dinominasikan dalam Oscar sebagai “Aktris Terbaik”
setelah secara otentik menghidupkan kembali simbol seks Hollywood sepanjang
masa, Marilyn Monroe dalam memoir My Week
with Marilyn akhir 2011 lalu dan sebagai perempuan yang frustasi dengan
pernikahannya lewat film ini setaun sebelumnya – Williams menorehkan catatan
karir yang sangat cemerlang sebagai bintang muda bermasa depan cerah dan
semakin menandaskan kelasnya di jajaran aktris unggulan setaraf Meryl Streep,
Viola Davis, Nicole Kidman, dan Natalie Portman. Ini membuktikan Williams telah
melampaui pencapaian sesama aktris serial remaja dekade 90-an sebayanya seperti
Jennifer Love Hewitt, Sarah Michelle Gellar, dan Katie Holmes yang sepertinya
malah tenggelam dalam kisah cinta-cintaan dangkal dan film-film horor yang
menampilkan hantu-hantu perempuan berambut hitam panjang serupa Sadako dari
saga The Ring. Cenderung selektif
dalam memilih dan memainkan peran, Ryan Gosling adalah salah satu pelakon muda
Hollywood paling brilian yang saya tahu. Sadar diri memiliki paket fisik dari
ujung rambut sampai ujung kaki bernilai plus, tapi dia mampu menyajikannya
sesuai dengan porsi dan kapasitas yang dibutuhkan, sesuai tuntutan peran –
sehingga ketampanannya itu tak sempat menutupi kedahsyatan talenta aktingnya. Saya
hampir selalu terkesan dengan setiap penampilannya dalam film-film yang semakin
lama semakin menunjukkan berkelasnya selera aktor muda itu, antara lain ketika berperan
sebagai guru drug addict dalam Half Nelson (2006), stuntman tanpa nama dalam Drive
(2011), dan suami “sakit” Kristen Dunst dalam All Good Things (2010). Dengan jejak rekam aneka peran yang
berdinamika dan kaya tantangan seperti ini – lalu, aktor muda mana yang bisa
menandingi Gosling? Ryan Reynolds? Chris Evans? Daniel Radcliffe? Robert
Pattinson? Biarkan Gosling dan sorot mata sendunya yang misterius itu
“bertutur” kepada anda – tanpa lagak narsistik cengar-cengir atau mesam-mesem –
dia selalu saja berhasil menguasai seluruh fokus kamera dan fokus anda.
“Sedikit” bocoran, berakhir dengan kesan yang secara
eksplisit seolah pro perceraian, namun film ini justru menghadirkan suatu
renungan remedial – proses pendewasaan dan mawas diri bagi Dean dan Cindy bahwa
seiring berjalan waktu yang mana kehidupan pernikahan keduanya menjadi semakin
dingin dan hambar, untuk mengakhiri keterpurukan atas klimaks perbedaan yang
sudah tak dapat dipersatukan lagi itu, keduanya menyadari bahwa perpisahan
adalah “rekonsiliasi” sempurna – satu-satunya jalan damai yang harus ditempuh. Scene paling kuat muncul di akhir film
dimana terdapat sekelumit kenangan flashback
dari bersatunya Cindy dan Dean dalam janji suci pernikahan kemudian dalam
sekejap berubah menjadi badai perpisahan yang menghancurkan segala jerih-payah
yang telah dibangun bersama. Sebuah ironi.
- F. Fajaryanto Suhardi
(4 Maret 2011)
(Revisi: 13 Juli 2012)
(Revisi: 13 Juli 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar