Jumat, 13 Januari 2012

MARRIAGE R.I.P.

Movie Review


Blue Valentine (2010)

“(Cinta) Sampai Maut Memisahkan?”
                                                                                                                                                          


For you I was a flame, love is a losing game
A five-story fired as you came, love is a losing game
One I wish I never played, oh, what a mess we made
And now the final frame, love is a losing game

J
angan terkecoh dengan embel-embel kata “valentine” layaknya kebanyakan film percintaan yang menyajikan manisnya gula-gula romantisme hingga membikin perut mual. Sebaliknya, seperti penggalan lirik balada Amy Winehouse berjudul Love is a Losing Game di atas, drama post-romanticism ini menyajikan premis cerita tentang mahligai perkawinan yang sulit dan kenyataan resiko kegagalan berumah tangga yang (ternyata) memanglah pahit.

Sebelum bertemu Dean (Ryan Gosling), Cindy (Michelle Williams) adalah mahasiswi jurusan kedokteran yang kemudian mengambil spesialisasi obstetri. Lazimnya perempuan Amerika masa kini yang hidup di tengah keluarga yang kaku dan acuh tak acuh – telah belajar mengenali dorongan seksualitas sejak berusia 13 tahun – Cindy tumbuh menjadi gadis yang mencari kesenangan di luaran, salah satunya dengan sang kekasih Bobby Ontario (Mike Vogel) yang sesama mahasiswa sekaligus atlet gulat.

Tak berapa lama kemudian, di sebuah panti jompo Cindy dan Dean bertemu – Cindy tengah mengunjungi neneknya dan Dean yang bekerja di biro jasa angkut barang membantu menata kamar seorang pria tua – tumbuhlah percikan api asmara di antara keduanya. Masalahnya kemudian adalah mencocokkan karakter keduanya. Cindy tadinya gadis yang murah tawa dan penuh letupan spontanitas lalu berubah menjadi wanita kaku dan dingin yang sehari-harinya disibukkan dengan tetek-bengek peran ibu yang mengurusi anak setelah menikah. Dean pasca menikah tetaplah Dean pra menikah: lucu, hangat, penuh perhatian, apa adanya – pria yang kadang temperamental tapi tetap menomorsatukan keluarga. Cindy yang kompulsif dan cenderung berhati-hati terbiasa hidup teratur sedangkan Dean yang impulsif lebih suka hidup tanpa aturan. Cindy seorang obstetrician dengan penghasilan yang lebih dari memadai tentulah tak sebanding dengan pendapatan Dean yang sebetulnya penuh talenta ini tapi justru bahagia dengan profesinya yang (hanya) sebagai seorang tukang cat. Meskipun ketimpangan kemapanan finansial tidak pernah disinggung sebagai masalah besar sampai-sampai menyulut pertengkaran hebat di antara keduanya, tapi sulit disangkal ini telah menjadi salah satu benturan keras yang menimbulkan memar yang terus membayangi kehidupan rumah tangga mereka sebagai pasangan muda. Namun beban terberat sesungguhnya adalah memikirkan bagaimana menjelaskan arti kata “perceraian” pada buah hati mereka yang masih kecil, Frankie, yang selanjutnya akan kehilangan gambaran orangtua secara utuh.
CindyYou’re so good at so many things, you could do anything you wanted to do. You’re good at everything that you do, isn’t there something else you wanna do?
DeanThan what? Than be your husband, to be Frankie’s dad? What do you want me to do? In your dream scenario of me doing what I’m good at, what would that be?
CindyI don’t know. You’re so good at so many things, you can do so many things. You have such capacity.
DeanFor what?
CindyI don’t know. You can sing, you can draw, you can… dance.
DeanListen, I didn’t wanna be a somebody’s husband and I didn’t wanna be somebody’s dad. That wasn’t my goal in life. For some guys it is… wasn’t mine. But somehow, it was what I wanted and now it’s all I wanna do. I don’t want to do anything else. It’s what I want to do.


Film ini kaya adegan-adegan dengan naturalitas seting dan akting yang cantik. Selain konsisten menyuguhkan permainan fokus lensa, Derek Cianfrance sengaja memanfaatkan perspektif penonton dan menjadikannya keuntungan sinematografis untuk melibatkan emosi audiens secara efektif dan mendalam. Seperti saat recital di sekolah Frankie, kamera menyorot Dean dari kursi barisan belakang dan Cindy dari samping kanan seolah berada di antara para orangtua yang hadir menyaksikan putra-putri mereka tampil. Lalu pengambilan adegan Dean dan Cindy bertengkar di pelataran parkir, angle kamera seperti tersembunyi dari balik kaca mobil atau di balik rerumputan. Cahaya matahari sore yang memperindah bias warna juga mempertegas penekanan aksentuasi adegan. Secara keseluruhan, film yang menerapkan alur maju-mundur ini menampilkan kepaduan cerita yang kuat dan drama yang tidak melulu membombardir adegan-adegan bertangis-tangisan – kecuali di penghujung cerita – namun pada akhirnya tetap mampu memancing simpati penonton.

Jangan katakan anda tidak tersentuh menyaksikan rentetan sajian visual berikut: dengarkan komposisi “You and Me” milik grup soul indie Penny and the Quarters pada adegan hangat saat Dean masuk dan berbaring di kamar Cindy – tapi tunggu saja sampai closing part dimana Cianfrance menggamit musisi Grizzly Bear memainkan komposisi glam rock dengan suguhan slideshow portofolio foto-foto manis yang berhasil diabadikan demi kepentingan publisitas film muncul dari latar gelap mengikuti blitz cahaya kembang api – sebagai selebrasi yang “merayakan” matinya perkawinan sebagai simbol keabadian cinta. Namun, momen tak terlupakan dari Blue Valentine adalah ketika Dean menyanyikan repertoir “You Always Hurt the One You Love” dengan suara sengau diiringi uke (gitar kecil) di depan sebuah butik dan Cindy dengan canggung dan malu-malu menari tap – cantik sekali – benar-benar sebuah adegan romantis paling orisinil yang pernah saya saksikan. Dilengkapi memori-memori bagaimana keduanya saling menjajaki kemungkinan mengenal apa itu “cinta” dalam serangkaian “tur” kencan dalam bis, kereta subway, lalu di pinggiran jalan yang sama sekali jauh dari kesan wah – hanya bermodal banyolan “garing” dan es krim – tapi sangat, sangat indah. Betapa dua orang anak manusia belajar mencintai dalam perbedaan, menggelandang dan bercinta di sembarang tempat tanpa peduli tentang atribut kemunafikan kesantunan atau apapun pendapat orang. Sungguh pilihan screenplay yang amat jitu - sukses memerah emosi penonton sampai (saya pun hampir) menitikkan airmata ketika memantau potongan-potongan gambar yang mengharu biru ini.

Dengan keduanya turut memproduseri film ini, baik Michelle Williams maupun Ryan Gosling dua-duanya menjadi magnet utama yang berhasil menyedot seluruh perhatian saya sepanjang memantau film tersebut. Williams yang janda Heath Ledger rupanya mengikuti jejak almarhum mantan suami (tunangan). Setelah sebelumnya unjuk gigi dalam Brokeback Mountain (2005), I’m Not There (2007), dan Synecdoche, New York (2008), kemampuan aktingnya terbukti semakin terasah. Bisa diasumsikan bila penampilan memikat kaya ekspresi Williams dalam film ini merupakan refleksi kegagalan hubungannya dengan Ledger yang bubar tahun 2005 silam. Dua tahun back-to-back dinominasikan dalam Oscar sebagai “Aktris Terbaik” setelah secara otentik menghidupkan kembali simbol seks Hollywood sepanjang masa, Marilyn Monroe dalam memoir My Week with Marilyn akhir 2011 lalu dan sebagai perempuan yang frustasi dengan pernikahannya lewat film ini setaun sebelumnya – Williams menorehkan catatan karir yang sangat cemerlang sebagai bintang muda bermasa depan cerah dan semakin menandaskan kelasnya di jajaran aktris unggulan setaraf Meryl Streep, Viola Davis, Nicole Kidman, dan Natalie Portman. Ini membuktikan Williams telah melampaui pencapaian sesama aktris serial remaja dekade 90-an sebayanya seperti Jennifer Love Hewitt, Sarah Michelle Gellar, dan Katie Holmes yang sepertinya malah tenggelam dalam kisah cinta-cintaan dangkal dan film-film horor yang menampilkan hantu-hantu perempuan berambut hitam panjang serupa Sadako dari saga The Ring. Cenderung selektif dalam memilih dan memainkan peran, Ryan Gosling adalah salah satu pelakon muda Hollywood paling brilian yang saya tahu. Sadar diri memiliki paket fisik dari ujung rambut sampai ujung kaki bernilai plus, tapi dia mampu menyajikannya sesuai dengan porsi dan kapasitas yang dibutuhkan, sesuai tuntutan peran – sehingga ketampanannya itu tak sempat menutupi kedahsyatan talenta aktingnya. Saya hampir selalu terkesan dengan setiap penampilannya dalam film-film yang semakin lama semakin menunjukkan berkelasnya selera aktor muda itu, antara lain ketika berperan sebagai guru drug addict dalam Half Nelson (2006), stuntman tanpa nama dalam Drive (2011), dan suami “sakit” Kristen Dunst dalam All Good Things (2010). Dengan jejak rekam aneka peran yang berdinamika dan kaya tantangan seperti ini – lalu, aktor muda mana yang bisa menandingi Gosling? Ryan Reynolds? Chris Evans? Daniel Radcliffe? Robert Pattinson? Biarkan Gosling dan sorot mata sendunya yang misterius itu “bertutur” kepada anda – tanpa lagak narsistik cengar-cengir atau mesam-mesem – dia selalu saja berhasil menguasai seluruh fokus kamera dan fokus anda.

“Sedikit” bocoran, berakhir dengan kesan yang secara eksplisit seolah pro perceraian, namun film ini justru menghadirkan suatu renungan remedial – proses pendewasaan dan mawas diri bagi Dean dan Cindy bahwa seiring berjalan waktu yang mana kehidupan pernikahan keduanya menjadi semakin dingin dan hambar, untuk mengakhiri keterpurukan atas klimaks perbedaan yang sudah tak dapat dipersatukan lagi itu, keduanya menyadari bahwa perpisahan adalah “rekonsiliasi” sempurna – satu-satunya jalan damai yang harus ditempuh. Scene paling kuat muncul di akhir film dimana terdapat sekelumit kenangan flashback dari bersatunya Cindy dan Dean dalam janji suci pernikahan kemudian dalam sekejap berubah menjadi badai perpisahan yang menghancurkan segala jerih-payah yang telah dibangun bersama. Sebuah ironi.

Cindy, Dean, dan saya sepakat dengan pesan utama film ini. Ketika madu cinta semerah anggur itu telah habis dan tinggallah sepah-sepah membiru yang tersisa – jangan pernah memimpikan segalanya akan sempurna sebagaimana sensasi valentine merah jambu merona yang kian hari kian komersil karena propaganda cinta semanis kembang gula itu – rasanya – hanya ada di layar kaca.

-          F. Fajaryanto Suhardi

(4 Maret 2011)
(Revisi: 13 Juli 2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar