Jumat, 13 Januari 2012

Menengok Perspektif Oksidental dalam Memaknai Cinta (dan Seks)

Movie Review

Vicky Cristina Barcelona (2008)

"Perspektif Kontradiktif tentang Nilai Estetika Cinta dalam Kultur Barat"



Bukankah sebuah ide yang sangat menarik jika kita membayangkan premis melancong ke suatu negara di belahan Eropa pada satu musim panas yang hangat dan tak dinyana bertemu manusia-manusia lokal yang indah – cantik dan tampan – dengan suka hati, bebas, dan tanpa malu-malu mengutarakan keinginan mereka untuk bercinta dengan kita? Hmm, (sungguh) tawaran yang sulit ditolak.

Adalah Vicky (Rebecca Hall) dan Cristina (Scarlett Johansson), dua sahabat yang berlibur ke Barcelona untuk mengisi waktu senggang selama musim panas. Sementara Cristina murni ingin bersenang-senang, sebagai mahasiswi S2 jurusan sosiologi yang mempersiapkan observasi terhadap kultur masyarakat Spanyol, Vicky punya agenda tersendiri – selain mempelajari strata dan keunikan budaya Catalan, rupanya dia juga sedang “bermeditasi” menjelang hari H pernikahan dengan tunangannya Doug (Chris Messina) yang tinggal hitungan minggu. Dengan menumpang tinggal di rumah kerabat jauh Vicky yang tinggal di Barcelona, suami-istri Mark (Kevin Dunn) dan Judy Nash (Patricia Clarkson), keduanya memulai petualangan “tamasya” di kota eksotis tersebut. Tak hanya sekedar mengabadikan bangunan-bangunan karya arsitek fenomenal seperti Gaudi dan peninggalan raja Miro lewat jepretan kamera, mereka berdua juga kemudian terlibat jaring romantika yang rumit dengan seorang pelukis bohemian berkarisma dengan pembawaan tenang dan penuh percaya diri, Juan Antonio Gonzalo (Javier Bardem).

Berada di Oviedo, mulanya si impulsif Cristina yang begitu menggebu-gebu ingin segera merasakan gairah percintaan penuh gelora dengan Juan Antonio, beda halnya dengan si skeptis Vicky  yang berusaha mempertahankan rasionalitas lantas mentah-mentah menolak ajakan threesome yang ditawarkan oleh sang Casanova ­yang meskipun tampan dan memiliki sorot mata membius – namun bagi Vicky,  dia tetaplah orang asing yang baru mereka kenal. Akan tetapi keadaan berubah 180 derajat saat Cristina sekonyong-konyong jatuh sakit dan tinggallah Vicky sendirian bersama Juan Antonio dan terjadilah sebuah “insiden”. Vicky dan Juan Antonio lalu bersepakat untuk merahasiakan cinta terlarang tersebut dari Cristina – dan terutama dari tunangan Vicky, Doug. Polemik lucu hadir ketika ternyata Vicky menyadari bahwa dia tidak bisa melupakan Juan Antonio meskipun telah menikahi Doug yang menyusul ke Barcelona tak berselang lama kemudian. Keadaan bahkan bertambah runyam kala mantan istri Juan Antonio, Maria Elena (Penélope Cruz) yang cantik sekaligus sinis, kasar, dan destruktif tiba-tiba muncul di saat hubungan asmara antara Cristina dengan Juan Antonio tengah berada di puncak.

Jangan buru-buru menyimpulkan film ini sebagai kisah petualangan dua turis Amerika mencari kepuasan seks yang berujung pada tontonan erotis semata. Tampil dalam dwi bahasa (Inggris dan Latin), secara menarik, film ini menyoroti perspektif Barat dalam memandang prinsip estetika tentang cinta, kesetiaan, dan perkawinan. Sebagai sentra film, Vicky dan Cristina menjadi dua karakter utama yang sengaja diciptakan untuk mewakili sudut pandang penonton yang secara garis besar terbagi dalam dua haluan: konservatif dan liberal. Vicky yang percaya pada komitmen, norma, dan nilai-nilai dalam struktur kemasyarakatan yang teratur jelas bertolak belakang dengan Cristina yang mengagungkan kebebasan berekspresi individu apapun bentuknya terlebih menyangkut perihal asmara. Oposisi sudut pandang antara Vicky dan Cristina lebih lanjut terepresentasi melalui cara masing-masing mendefinisikan kepentingan dalam urusan ranjang dan memilih pria. Doug dalam kacamata Vicky adalah pria berkomitmen; seorang pegawai kantoran yang ganteng, pintar, resik, necis dengan bonus tahunan dan pendapatan tetap – dengan kata lain, tipikal sosok pria Amerika modern – kemudian memunculkan mimesis harafiah1 sebagai imitasi corpus tipe lelaki idaman para perempuan modern di dunia nyata. Berdasarkan teori tersebut, kita dapat memahami mengapa Vicky yang berhaluan konservatif dan percaya pada sistem kemasyarakatan terstruktur memilih menikah dengan Doug yang tak lain adalah produk dari sistem itu sendiri karena kemudian kesimpulan yang muncul mengindikasikan bahwa penggabungan karakter antara Vicky dan Doug yang memiliki kongruensi secara ideologi lebih mudah dilakukan ketimbang jika Vicky harus berpasangan dengan karakter yang secara konkret berlawanan dengan dirinya, Juan Antonio. Di pihak lain, mengusung pemberontakan terhadap etika dan norma-norma sosial yang dianggap sebagai bentuk kemunafikan tidak berguna dan justru membatasi ruang gerak kebebasan manusia seutuhnya, Cristina yang diam-diam membenci tipe laki-laki model Doug yang disebutnya sebagai factory-made zombies dan cookie-cutter mold menemukan kecocokan persepsi dengan Juan Antonio yang menjunjung tinggi toleransi dan tidak membatasi diri dalam pemaknaan seluas-luasnya cinta hingga menjadi lumrahlah urusan semen-leven, lalu tidak lagi menabukan gaya bercinta hetero-biseksual antara mantan suami dan kekasih baru; mantan suami dan mantan istri; dan mantan istri dan kekasih baru. Dua perempuan yang berseberangan karakter ini awalnya saling membanggakan hierarki perspektif masing-masing, namun pada akhirnya, keduanya menyadari batasan-batasan atas standar yang mereka percayai selama ini ternyata semakin bias seiring makin jauh waktu berlalu – bahkan menjurus ke arah kontradiktif. Benarkah Vicky akan hidup bahagia dengan laki-laki yang berasal dari dunia yang sama dengannya? Atau seperti apakah klimaks kepuasan batiniah yang Cristina rasakan atas kehidupan berbagi ranjang dengan Juan Antonio dan Maria Elena? Benarkah semudah itu kita dapat mengumbar seks pada orang asing? Ragam pertanyaan moril seperti inilah yang kemudian dilemparkan kepada audiens yang secara denotatif hanya duduk di kursi, menonton, dan tidak terlibat langsung di dalam layar namun mampu menangkap esensi pemahaman yang sama dengan bahasa yang berbeda.

Vicky Cristina Barcelona merupakan film comeback sang sutradara multi-talenta berwajah geek Woody Allen paska pasang-surut karir sepanjang dekade 2000an setelah menelurkan komedi-komedi yang unik dan memorable seperti Annie Hall (1977), Manhattan (1979), Hannah and Her Sisters (1986), Mighty Aphrodite (1995), dan Sweet and Lowdown (1999). Dengan menggunakan teknik penggambaran karakter yang dinarasikan oleh seorang narator, film ini kemudian merangkai cerita dari sudut pandang orang ketiga (serba-tahu). Berpusat pada pengalaman wisata diwarnai kisah cinta yang seru di suatu negeri asing, Vicky Cristina Barcelona bagai sebuah dokumentasi jurnal yang dituturkan dalam ragam bahasa yang lugas dan santai – hampir menyerupai diari atau memoir (secara meyakinkan). Alur dan dialog mengalir (seperti) tanpa paksaan. Alamiah dan tanpa beban. Di atas semua itu, film ini segar dan ceria. Dibantu oleh music scoring tematik bertajuk “Barcelona” berupa perpaduan antara ketukan perkusi, oboe, dan ritme dinamis gitar Spanyol dibalut vokal feminis yang whispery hingga nyaris sesempurna lagu ninabobo, prahara yang rapat dan adegan-adegan seserius apapun dirangkul dengan aksentuasi yang mencairkan emosi, bukan sebaliknya. Anda akan diajak tersenyum dan tertawa melalui dialog-dialog yang muncul antar pemain serta gurat kompleksitas emosi manusia yang terbaca dan ditampilkan dengan apik oleh para aktor di sini (terutama oleh Penélope Cruz) dan asyiknya, tanpa membuat dahi berkerut. Namun demikian, bukan berarti anda bisa mengesampingkan komedi ini sebagai pepesan kosong berbumbu romantis. Percayalah, pesan yang terselip dalam film ini memang “ringan” tapi akan tetap anda ingat kala malam menjelang tidur.


-          F. Fajaryanto Suhardi

Catatan kaki:
1 Mimesis: the Representation of Reality in Western Literature (1953) oleh Erich Auerbach (Princeton University Press).

Sedikit anekdot:
Saya punya pengalaman lucu ketika pergi ke sebuah penyewaan video sehubungan dengan film ini sekitar dua tahun lalu. Karena penasaran sementara lupa-lupa ingat dengan judulnya, begitu ditanyai oleh seorang pegawai, spontan saya berceletuk:
“Ada film Britney Christina Madonna ga?” (teringat insiden MTV VMA 2003)
Sang petugas rental: ????


(17 September 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar