Jumat, 27 Januari 2012

Top 10 Best Films by Coen Brothers

Let's Learn How to Spell A-B-C.

A-trocity? Coen Brothers.
B-rutality? Coen Brothers.
C-onsumerism? Coen Brothers.

I CAN'T hardly help myself to STOP admiring their works. Here it is my Coen Brothers' top ten films list. Check it out.

1. Blood Simple [1984]


2. Miller's Crossing [1990]


3. Fargo [1995]


4. The Big Lebowski [1998]


5. No Country for Old Men [2007]


6. Barton Fink [1991]


7. O Brother Where Art Thou? [2000]


8. The Hudsucker Proxy [1994]


9. The Man Who Wasn't There [2001]


10. Burn after Reading [2008]

So, folks, what do you think??

Jumat, 13 Januari 2012

You Surely Haven't Heard Before: Foreign Films which Briefly yet Hospitably Helps Promoting Indonesian Culture


Don't bother yourself to have the idea of including anything about Julia Roberts' Eat Pray Love to this. Simple rejection: baby, it's too damn cliche.

You'd better check this out.


The Bucket List (2007)


Kopi Luwak Sumatra

Believe me, in the middle of first three-minute run, three-time Oscar winning actor Jack Nicholson clearly said:

"Kopi Luwak. The rarest beverage in the world."



Drunken Angel (1948)

Wayang Kulit

Widely considered by many as the Japanese greatest director of alltime and one of the world's bests, Akira Kurosawa, made such impressive approach to incorporate the culture of Javanese into one of his classic film features, Drunken Angel.

The film was released three years after Japan's ex-colony, Indonesia declared its national independence - soon after Hiroshima and Nagasaki bombing.


The Fall (2006)

Tari Kecak

Sikh-American film and music director, Tarsem Singh has his second feature film visually transformed into a magical-adventure fairytale which crosses over the cultures of the world - assimilating both Western and Eastern.

From the exoticness of Africa to the beauty of solemn Sufi whirling from Turkey to the cultural richness of India to Oriental sense of China and to, yes, Balinese mystical dance of spirit from Indonesia.

The Most Anticipated Film of 2012



Wajar saja jika "The Dark Knight Rises" disebut2 sebagai film paling layak dinanti tahun ini mengingat ekspektasi publik begitu besar sejak prekuelnya "The Dark Knight" pada medio 2008 lalu sukses menjadi salah satu film tercepat yg menembus angka US$500 juta hanya dalam tempo minggu pertama pembukaan box-office. menurut rumor yg berhembus kencang, sekuel ini digambarkan ber-tone lembut, lebih estetik, cenderung poetic dan menunjukkan sisi manusiawi si manusia kelelawar Batman yg kurang terkupas mendalam sebelumnya - tapi tentu saja bagian yg paling dinanti: film ini akan penuh kejutan yg menegangkan dan.... brutal.

selamat penasaran.



(C) 2012 WarnerBros Studio/IMDb.com. No copyrights infringement intended.

Coffee-Break Corner

Merangkum Musik Tahun 2011: ADELE

Mengukir Sejarah pada Usia 21




Jika diminta menyebutkan sebuah keajaiban terhebat yang terjadi tahun 2011 kemarin barangkali saya akan menyebut nama Adele. Mengapa Adele? Hingga sebelum awal 2011 silam – orang masih banyak yang jengah ketika ditanya siapa Adele. Bintang film kah? Penyanyi kah? Sampai kemudian keadaan berubah dalam sekejap ketika 21 dirilis, semenjak itulah album itu diburu orang dan terus terjual, menggembung dan tak terhentikan – bahkan hingga dua kali lipat dari total penjualan album sensasional Lady Gaga Born This Way – dan secara fantastis berhasil menembus angka 13 juta kopi di seluruh dunia hanya dalam tempo 12 bulan. Bukan Britney Spears. Bukan Katy Perry. Bukan Rihanna. Tak ada yang menyangka seorang perempuan muda bertubuh subur yang sebelumnya nyaris sama sekali tak dikenal sekonyong-konyong berhasil mengalahkan perempuan terkuat di jagat musik dunia saat ini, Lady Gaga, dan berhasil merebut hati jutaan manusia dari seluruh penjuru dunia.

Sekilas tentang Adele, penyanyi blue-eyed soul bervokal contralto kelahiran Tottenham, Inggris, 5 Mei 1988 ini sebetulnya bukan pemain baru di jagat musik tapi baru sekarang publik dunia membuka mata akan eksistensinya. Padahal tahun 2009 lalu dia telah sukses mendulang dua penghargaan Grammy untuk ‘Best New Artist’ dan ‘Best Female Pop Performance’ untuk lagu Chasing Pavements dari album debutnya 19 yang rilis pada tahun 2008. Namun hingga saat itu, namanya kurang bergaung dan masih berada di bawah bayang-bayang sesama penyanyi pop soul Inggris yang jauh lebih populer seperti Amy Winehouse dan Duffy. Cukup kental mengakar pada genre Celtic-folk, modern blues, jazz, dan Brit-soul – meskipun mendapat apresiasi dari banyak kritikus atas selera musik yang dewasa dan serius untuk gadis muda seusianya, banyak yang masih memandang Adele sebelah mata sekedar sebagai “gadis kulit putih yang mencoba bernyanyi lagu kaum kulit hitam”. Maka album sophomore-nya ini lantas menjadi jawaban atas segala kesangsian publik. Persis seperti yang dilakukan oleh penyanyi perempuan dalam negeri yang sempat populer sirka 2002-2005 namun kini entah kemana rimbanya, Audy, Adele pun memberi judul setiap albumnya sesuai dengan angka usianya saat album itu diproduksi – menunjukkan kematangan perspektif dan kepekaan bermusiknya yang semakin terasah dari waktu ke waktu.

Apa yang membuat 21 spesial? Dua singel andalannya, “Rolling in the Deep” dan “Someone Like You” berbicara banyak dan dapat dikatakan mewakili seluruh isi album yang digambarkan sebagai prosa apik yang menceritakan tentang seorang perempuan dan segala kegalauan hatinya. Dipengaruhi kuat oleh cita rasa Motown-girl group tahun 60an serta seloroh lirik ber-tone agresif, cenderung impulsif dalam balutan beat yang steady dan solid layaknya “Son of a Preacher Man” Dusty Springfield atau “You Know I’m No Good” Amy Winehouse, sebagai singel pembuka “Rolling in the Deep” menjadi penjabaran argumentatif akan pilihan harmoni yang lebih berani untuk seorang Adele jika dibandingkan dengan predesesornya, “Chasing Pavements”. Dengan pola ritmisasi bass elektrik bernuansa rock-blues yang mengingatkan pada nomor Jimi Hendrix dan Tom Waits, kemudian disambut dentuman bass drum pada pembukaan lagu – untuk kategori pop, nomor yang digarap bareng Paul Epworth ini langsung mengena bahkan di hati penggemar Bruce Springsteen sekalipun dan dengan mudah mampu memalingkan telinga dari pop gimmick dengan sensasi rock yang corny seperti “Born This Way” Gaga atau “What the Hell” so-called punk princess Avril Lavigne – meski agak segan mengakui, kaum rock fanatics juga setuju kalau Adele memanglah more than just a pop chick who can sing.

“Someone Like You” adalah satu-satunya balada berformat murni vokal plus piano yang berhasil menduduki puncak tangga lagu Billboard Hot 100 – dibantu musisi indie Dan Wilson, Adele tampaknya ingin menandaskan citra yang sejajar dengan Aretha Franklin, Whitney Houston, Celine Dion, dan Christina Aguilera sebagai pengumandang lagu berkarakter lembut namun tetap mampu memamerkan vokal yang prima. Vokal dramatis Adele yang bercirikan vintage alias jadul tapi lantang dan dalam – hasil adaptasi dari para idolanya, kampiun biduanita klasik Ella Fitzgerald dan Etta James – memang menjadi mesin utama dalam membakar emosi dalam setiap lagu yang dibawakannya. Balada semi-folk feminis yang memiliki sense serupa “Bizarre Love Triangle” Frente ini sukses mengobrak-abrik perasaan terutama untuk anda yang sedang melankolis karena patah hati – namun sebagai katalog dalam teritori simfoni sensitif bercorak kewanitaan, ketimbang merujuk pada “Halo” milik Beyoncé, saya lebih suka menyandingkannya dengan balada terkuat dekade lalu yang menjadi salah satu terbaik sepanjang masa, “Beautiful” gubahan mantan vokalis 4 Non Blondes, Linda Perry, yang dinyanyikan penuh penjiwaan oleh prime-ballader yang sedang menjadi bulan-bulanan media dan publik saat ini, Christina Aguilera.

Album terlaris tahun ini, 21, menjadi tonggak sejarah musik Inggris, menurut catatan Guinness World Book of Records edisi tahun 2011, dimana untuk pertama kalinya sejak era The Beatles, seorang artis asal Inggris sukses menjual album terbanyak dan tercepat sepanjang sejarah. Di usia sangat muda, dengan gaya berpakaian konservatif, Adele yang konsisten tampil di setiap undangan dan acara live dengan dandanan seperti ibu-ibu rumah tangga paruh baya membuat siapapun terkejut dengan berhasil membuktikan bahwa jika anda memiliki talenta, seorang gadis sederhana dan biasa saja pun bisa menjadi berita utama di seluruh dunia. Para kritikus musik pun menyadari bahwa 21 bisa dikatakan sebuah album klasik modern yang berhasil menghantarkan musik tergolong tradisionil dan non-mainstream untuk masuk ke kalangan penikmat musik yang lebih luas. Adele pun barangkali akan menjadi pelopor generasi bintang pop perempuan berbakat dekade ini yang ‘tidak seksi’, ‘tidak buka-bukaan’, tak perlu tampil nyeleneh sekedar untuk menarik perhatian, dan tidak menjual sex appeal demi menggaet penggemar – sebagaimana Norah Jones. Pada ajang Grammy mendatang, dia menjadi calon paling diunggulkan yang diprediksi tanpa kesulitan akan menyapu bersih setiap piala dari enam nominasi yang diterimanya tahun ini, termasuk ‘Album of the Year’. Excellent job. Terus berkarya, Adele. *


©2012 F. Fajaryanto Suhardi

27 Best Albums of the Decade (2000-2010)

Setiap satu dekade, majalah-majalah/situs-situs musik/film tersohor di dunia merilis daftar film/ musik terbaik sepanjang sepuluh tahun terakhir. Tapi cita rasa dan kecintaan terhadap musik tentu saja bukanlah sebuah komoditi dagangan. Itu adalah teritori yang paling sakral dalam batin manusia karena menyangkut integritas diri sehingga tidak dapat dipaksakan. Setiap orang berhak menentukan pilihannya masing-masing. Dan berikut ini adalah persembahan dari saya untuk anda: 27 album favorit saya sepanjang satu dekade 2000-2010.



1. All That You Leave Behind – U2 (©2000 Universal/Island UK)
“Stuck in a Moment You Can’t Get Out of”, “Beautiful Day”, “Elevation”, “Walk On”. 

2. A Rush of Blood to the Head – Coldplay (©2002 EMI-Parlophone)
“Clocks”, The Scientist”, “In My Place”, “God Put a Smile upon Your Face”, “Warning Sign”.


3. Back to Black – Amy Winehouse (©2006 Universal-Republic/Island UK)
“Rehab”, “Love Is a Losing Game”, “Back to Black”, “You Know I’m No Good”, “Wake Up Alone”.

4. American Idiot – Green Day (©2004 Reprise/Warner Music)
“American Idiot”, “Wake Me Up When September Ends”, “Boulevard of a Broken Dream”, “Holiday”, “Jesus of Suburbia”.

5. The Rising – Bruce Springsteen (©2002 Sony-Columbia)
“The Rising”, “Waitin’ on a Sunny Day”, “Lonesome Day”, “My City of Ruins”.

6. Come Away with Me – Norah Jones (©2002 EMI-Capitol)
“Don’t Know Why”, “Come Away with Me”, “Turn Me On”, “Cold Cold Heart”, “The Nearness of You”.

7. Raising Sand – Robert Plant & Alison Krauss (©2007 Universal/Rounder)
“Please Read the Letter”, “Killing the Blues”, “Nothing”, “Rich Woman”, “Sister Rosetta Goes Before Us”, “Gone Gone Gone (Done Moved On)”.

8. Retropolis – Naif (©2005 Bulletin Musik Indonesia)
“Uang”, “Benci untuk Mencinta”, “Pujaan Hati”, “Nanar”, “Takkan Pernah Melupakanmu”, “Tak Mampu Mendua”, “Senyum yang Hilang”.

9. River: The Joni Letters – Herbie Hancock (©2007 Universal/Verve)
“Court and Speak” (with Norah Jones), “River” (with Corinne Bailey Rae), “Edith and the Kingpin” (with Tina Turner).

10. Songs in A-minor – Alicia Keys (©2001 BMG/J)
“Fallin’”, “How Come You Don’t Call Me”, “A Woman’s Worth”.

11. Parachutes – Coldplay (©2000 EMI-Parlophone)
 “Yellow”, “Trouble”, “Shiver”, “Don’t Panic”.

12. Get Lifted – John Legend (©2004 Sony-GOOD Music)
“Ordinary People”, “Number One” (feat. Kanye West), “Sun Comes Up”, “Used to Love U”, “So High” (feat. Lauryn Hill).

13. Continuum – John Mayer (©2006 Sony-Columbia)
“Waiting on the World to Change”, “Gravity”, “Belief”, “The Heart of Life”.

14. College Drop Out – Kanye West (©2004 Universal/Roc-A-Fella/Def-Jam)
“All Falls Down” (feat. Syleena Johnson), “Jesus Walks”,  “I’ll Fly Away”.

15. Late Registration – Kanye West (©2005 Universal/Roc-A-Fella/Def-Jam)
“Diamonds from Sierra Leone”, “Gold Digger”, “Touch the Sky”, “Heard ‘em Say”.

16. Mad Season – Matchbox Twenty (©2000 Atlantic/Warner Music)
“If You’re Gone”, “Bent”, “Mad Season”, “Last Beautiful Girl”.

17. Standing on the Shoulder of Giants – Oasis (©2000 Sony/Epic/Big Brother)
“Go Let It Out”, Who Feels Love?”, “Sunday Morning Call”.

18. Padi – Padi (©2005 Sony Music Indonesia)
“Ternyata Cinta”, “Elok”, “Siapa Gerangan Dirinya”, “Tak Hanya Diam”, “Masih Tetap Tersenyum”.

19. Viva La Vida or death with All His Friends – Coldplay (©2008 EMI-Parlophone)
“Violet Hill”, “Viva La Vida”, “Life in Technicolor”, “Lost!”, “42”.

20. Speakerboxxx/The Love Below – Outkast (©2003 BMG/LaFace-Arista)
“Hey Ya!”, “Roses”, “GhettoMusick”, “Prototype”.

21. Eye to the Telescope – KT Tunstall (©2004 Emi-Virgin/Relentless)
“Other Side of the World”, “Big Black Horse and a Cherry Tree”, “False Alarm”, “Suddenly I See”.

22. The Breakthrough – Mary J. Blige (©2005 Universal-Geffen)
“Be Without You”, “One” (with U2), “Enough Cryin’”, “Take Me As I Am”.

23. Heavier Things – John Mayer (©2003 Sony-Columbia)
“Clarity”, “Daughters”, “Bigger than My Body”, “Something’s Missing”.

24. Taking the Long Way – Dixie Chicks (©2006 Sony- Columbia Nashville)
“Not Ready to Make Nice”, “The Long Way Round”, “Everybody Knows”.

25. In Rainbows – Radiohead (©2007 (self-released with no major label))
“Jigsaw Falling into Place”, “Nude”, “Reckoner”, “House of Cards”.

26. No Line on the Horizon – U2 (©2009 Universal/Island UK)
“White as Snow”, “Moment of Surrender”, “No Line on the Horizon”.

27. Fearless – Taylor Swift (©2008 Universal/Big Machine)
“Love Story”, “White Horse”, “You Belong with Me”, “Fifteen”.

A Washed-Up Used-to-Be Teen Pop Idol

Bionic by Christina Aguilera
Album Review



by F. Fajaryanto Suhardi

Released on June 8, 2010, Bionic is the fourth studio-album of American pop-singer Christina Aguilera at the same time marks the first year of her second decade of pop-throne conquest. Recently it has become a big controversy in the internet and media when they began to diss, accussing Aguilera for ripping off Lady Gaga’s music and most notably – her freaky outerworld fashion style. Most laughing at her effort for doing an electronic album, even our socialite-pal Perez Hilton on his twitter blog mocking: “Very Gaga-ish!”. Yet after all this long dramatic quarrel, the payback price is clearly quite sore for miss Aguilera: FLOP SALES.

Bombed with critics, this album spent its first week of release in Billboard Hot 200 Albums at #3 with only 110,000 copies sold. This much distressing refers to the fact that Bionic’s first-week sales is not even a half of the first week sales of Aguilera’s first album back then in August 1999 of which sold more than 255,000, Stripped sales shipped more than 330,000 (October 2002), with Back to Basics holds her best first-week selling record with more than 346,000 copies sold (August 2006). And although spending its first week at #1’s in UK, it became the worst selling number one album in the country in the last eigth-year with only 24,000 copies sold. Ouch! Pity Aguilera. Chop-up chop-down rude reviews drive most people’s belief, in other words, converting them into Antichrist-ina religion. Nonetheless there is only one true question left: is the album that bad?

For much fair assessment, let’s talk about it track-by-track. Since Stripped, Aguilera always put a short – not-more-than-two-minute opening theme for each album she released afterwards. While Stripped convinced, “no hype, no glass, no pretense, just me, stripped”, Back to Basics urged, “we’re goin’ back to basics to where it all began”, but Bionic is an exception: a full-opening appetizer. The 3:23 “Bionic” gives the clear perspective of new music direction Aguilera embracing now by how ambitiously she wants some ‘electronic supersonic rocket’. The tune not as nice as “Back to Basics-Intro” though, but it’s hot. “Not Myself Tonight” is one of the strongest elements of the album. Funny, the song is not that well when heard on the airplay but bizarrely makes sense when assimilating with the rest of the songs. But still the screeching part on its bridge-part is rather annoying. Chance of another Grammy for the diva: quite skeptical. “Woohoo” is Beyoncé add-on composition with Nicki Minaj doing the rap verse precisely like what ‘Lil Kim did eight years ago in “Can’t Hold Us Down”. It was magic but shortly lost its spark as the fading chant is absolutely damn too long. “Prima Donna” is neo “Fighter” pushing up with Usher’s “Yeah!” masculine muscle and typical gruff yell a la ‘Lil Jon’s – remarking Aguilera still has the ambition for ruling pop kingdom – after the prime Madonna of course. Linda Perry-balladry “Lift Me Up” is fail recurrence of “Hurt” or perhaps it was deliberately written to remind us to “Beautiful”. Nice try, Linda, but sorry, it’s a miss – in addition, it feels like Aguilera’s vocal needs some proper rest somehow. Immature, childish, and offensive “I Hate Boys” dismisses mood on the dancefloor, provokes jealousy to the golden-haired party-fetishes: Paris Hilton, Miley Cyrus, Ke$ha, Lady Gaga, Lindsay Lohan, P!nk, and Mariah Carey – apart from bringing out classic pop-divas war to the only archenemy: Britney Spears – with this fake “Toxic” and remember Spears’ similar titled song “Boys” back in summer 2002? Suspicious. Did Aguilera do it consciously?

Notwithstanding Aguilera pushes aside her non-compromise powerhouse voice, the loveable highlight “Elastic Love” co-worked by M.I.A is the real strength of Björk-sonic nibble as she agrees to loosen the tight seatbelt. Unity of “Morning Desert”/“Sex for Breakfast” is seducing for staying in bed much longer and enjoying coitus before you go to work. Its theme and tone-formula resembles to of “Loves Embrace”/“Loving Me 4 Me” – offers nothing new but graceful vocal-decorated that sways you in the cradle. Don’t forget “My Girl” is a groundbreaking party and Aguilera brings her new lesbian sisters, radical feminine gangsta to the house: Peaches, JD Samsons and Johanna Fateman of Le Tigre. And Shakira is not alone, “Desnudate” is a triumph of Aguilera’s hereditary root for once again doing a Latin mix after “Infatuation”. It reflects sexiness, erotica, and bravery in stylish European-club pounding pulse, jazzy trumpet blow, and chic Spanish guitar display. In short, an A+ work. “My Heart” is maternal-sensitivity as Max has his voice recorded for the first-time on Aguilera’s song and “All I Need” is probably the most beautiful lullaby sung by a beautiful mommy. “I Am” is an accomplished indie pop of self-describing ode with soft strings arrangement composed by the extraordinary Australian songstress, Sia and her boy Sam Dixon. “You Lost Me” is fresh air to inhale with breathy vocal of Aguilera talking about love deceit – or probably she reveals her very personal sorrow of being betrayed as people slowly forget about her, “she has won, now it’s no fun... we had magic and this is tragic” : was it Lady Gaga? Or Beyoncé? Will this ballad consolidate her hegemony escorting her way to steal back the Grammy’s Best Female Pop Performance with Vocals from “Halo”?

However this album still spotlights Aguilera’s indelible taint so far: cliché. After a number of missing tunes, such as “Soar” in Stripped and tracks from Back to Basics like “On Our Way”, F.U.S.S”, Here To Stay”, and Slow Down Baby”, she never learns. “Vanity” is embarassing narcissism of the headstrong lady Aguilera, extreme minus poin “Stronger Than Ever” for unnecessarily trying Kelly Clarkson’s hard-rock suit and ain’t no other morron rapid-speed jabber sillier than “Bobblehead” (two latter mentioned are the deluxe edition’s bonus tracks). Nevertheless, other bonus tracks like “Birds of Prey”, “Little Dreamer”, and “Monday Morning” exemplify simply good elaboration of synthetic sounds meet the nature-made vocal-cord.

Famously known for her ever-changing image and music-style, Aguilera said she was interested in the concept of making an album with sense of electronic and futuristic noise when one of her fans asked about her future music direction after doing classic brassy jazzy throwback on Back to Basics during the Asia-Pacific tour leg in Shanghai, June 2007. She did a try-out – auto-tune sound when releasing poor-selling greatest hits: Keeps Gettin’ Better (2008) with the same-titled single yet the signal of her descending era has shown – most people weren’t impressed with the song. Recklessly – whether it’s coincidence or allegedly there is attempt to bring on another diva-to-diva comparison – she is back with an inaugural rated ‘R’ full-length modern-ultrasonic album with tonic injections of genius electro-dance ingredients: British DJ Switch, Ladytron, Le Tigre, Santigold, M.I.A, Polow Da Don, Esther Dean, Claude Kelly, and beat-divas specialist Tricky Stewart. Despite of more than 14 million Facebookers claim themselves as the little monsters of today’s pop sensation, Lady Gagajandro, the naїve aging princess doesn’t care, overtly declaring: “the old me is gone I feel brand new but if you don’t like it, f**k you”. Well, so far Aguilera has proved her words. Sex-retort chanting come-ons, theatrical BDSM, dominatrix ring, a dance-troupe of stupid muscular men, hungry sex-kitten in latex, and shallow lesbianic scene. Is she now infected worse than Britney-Madonna’s “Me Against the Music” and their 2003s VMA threesome Kiss of Death?

Something to learn for making bloody stupid video like Not Myself Tonight”: whyd mama-Aguilera immitate the mama-Madonna so obviously? It’d be better if she got rid off Human Nature”/“Bad Romance” idea. More robotic theme with showing wires and cables in her body would be more acceptable than drawing tiresome inspirations from Madonna or Marilyn Monroe over and over again. Though tragic, Bionic is once again not an accident. Joanne Germanotta’s “Pokerface” is super-cool indeed but you can’t deny “Glam” is bold proof of the superiority of the fiercest vocal-belting diva on the planet. No matter what others say, it deserves praise and credit. There is love, revolution, strength, and achievement. Ain’t no Britney nor Beyoncé brave enough to do this chameleon outfit. On this entertainment rollercoaster, the wheel is spinning around and apparently not golden talent what people want right now but wonder of fame/sensation/plastic: Gaga.

Track-by-track  Rates
BIONIC – Deluxe Edition/iTunes
1. Bionic                                              + + +
– –
2. Not Myself Tonight                          + +
– –
3. Woohoo (feat. Nicki Minaj)            + +
– –
4. Elastic Love                                    + + + +
5. Desnudate                                       + + + +
6. Love & Glamour (intro)                  + + + – –
7. Glam                                               + + + + +
8. Prima Donna                                   + +
– –
9. Morning Dessert (intro)                  + + + – –
10. Sex for Breakfast                          + + + – –
11. Lift Me Up                                    + + – –
12. My Heart (intro)                            + + + +

13. All I Need                                     + + + + +
14. I Am                                              + + + + +
15. You Lost Me                                 + + + + +
16. I Hate Boys                                   + +
– –
17. My Girls (feat. Peaches)               + + + +

18. Vanity                                           + – – –
Bonus tracks:
19. Monday Morning        
                  + + + +
20. Bobblehead                                   + – – –
21. Birds of Prey                                 + + + – –
22. Stronger than Ever                        +
– – –
23. I Am (Stripped)                            + + + +
24. Little Dreamer                               + + + +
Benchmark
Total average score :  76/24 = 3.17

                                                   Top of FAlbum Score : + + + – –

SETAN Berwujud Manusia itu Ada

Movie Review

No Country for Old Men (2007)

"Syair Ratapan Sang Sheriff Tua tentang Sebuah Negeri dimana Hukum Tak Lagi Dihormati: Eksploitasi Ketamakan Atas Uang Berpacu di Antara Deru Peluru, Obat Bius, dan Bangkai Manusia"



Diangkat dari novel berjudul sama karangan Cormac McCarthy, No Country for Old Men merupakan gambaran kelam tentang manusia dan perangai jahatnya. Nihilisme rupanya menjadi sajian utama pilihan Coen Bersaudara dalam membangun kisah film yang dibuka dengan prolog yang amat menggugah berikut:

“Aku telah menjadi sheriff di county ini ketika berumur 25 tahun. Sulit dipercaya. Kakekku seorang polisi, demikian pula ayahku. Aku dan dia bahkan menjabat sheriff pada saat yang bersamaan. Dia di Plano dan aku di sini. Kupikir dia cukup bangga dengan hal itu. Aku tau aku bangga.
Dulu kabarnya sheriff tak pernah pakai senjata api. Banyak orang yang tidak percaya, tapi itulah kenyataannya. Jim Scarborough tidak pernah mengantungi pistol. Tapi itu Jim semasa muda. Gaston Boykins pun tak pernah membawanya semasa bertugas di Commanche County.  Aku selalu suka dengan cerita orang jaman dulu. Tak pernah melewatkan kesempatan itu. Kemudian kamu tidak bisa menahan diri untuk tidak membandingkan dirimu dengan mereka. Penasaran bagaimana mereka melakukan tugas mereka. Aku mengirim satu anak ke kamar gas di Huntsville. Aku yang menangkapnya dan jadi saksinya. Dia membunuh seorang gadis 14 tahun. Koran-koran bilang itu kejahatan nafsu tapi dia bilang padaku tidak ada nafsu dalam perbuatannya itu. Dia bilang padaku kalau dia sudah merencanakan untuk membunuh orang selama yang dia ingat. Katanya jika aku mengeluarkannya, dia akan membunuh lagi. Dia bahkan tau dia akan masuk neraka. Dalam lima belas menit, dia akan melihat neraka. Aku tidak tau apa yang membuatnya begitu atau manusia jenis apakah dia itu. Aku benar-benar tidak tau.Kau tau kejahatan sekarang ini menjadi semakin sulit dikendalikan. Bukannya aku takut terhadap hal itu. Aku tau kita mesti rela mempertaruhkan nyawa demi melakukan tugas ini. Tapi aku tidak ingin menempatkan orang-orangku dalam bahaya dan menyuruh mereka mendatangi sesuatu yang aku sendiri tidak tau itu apa. Seorang pria harus bersedia mempertaruhkan jiwanya dalam bahaya. Dia hanya perlu bilang: Baiklah, aku bersedia ambil  bagian di dalamnya.”


Berseting di West Texas tahun 1980, adalah Sheriff Ed Tom Bell (Tommy Lee Jones) menjelang masa pensiun namun justru menghadapi hari-hari terberat dalam karirnya. Di wilayah hukumnya, kita akan disuguhi mayat-mayat penyelundup narkotik dari Meksiko yang mati ditembaki dan mulai membusuk berserakan seperti sampah, warga sipil dieksekusi di pinggir jalan, bahkan polisi dibantai tanpa basa-basi.

Ed Tom Bell bukan jagoan tapi dia bukan pria lemah. Dia hanya seorang polisi tua yang berharap dapat mengatasi penjahat tanpa perlu memakai kekerasan. Dia tahu orang jahat semakin nekat. Beberapa di antaranya tak segan menceburkan diri ke dalam lumpur dosa demi uang, obat bius, atau apapun itu dan baku tembak bebas di jalanan pun jadi tak terelakkan lagi. Kalau sudah begini, penegakan hukum tak lagi bergigi. Polisi jarang bertindak keras dan cenderung tak mau ambil resiko. Tunggu dan tinggal lihat hasilnya, siapa yang berhasil kabur dan siapa yang mati konyol. Tapi ketika Ed Tom Bell melihat bangkai-bangkai mafia kartel obat bius yang mati oleh kebiadabannya sendiri di kaldera gurun Texas yang gersang, peristiwa itu kemudian menghantarnya pada kejahatan keji tak berujung yang membuatnya ngeri.

Benang merah itu bermula dari seorang pemuda bernama Llewellyn Moss (Josh Brolin) yang sedang berburu rusa bertanduk di dataran rendah saat tengah hari yang terik. Bidikannya kena, tapi sayang rusa itu berhasil kabur bersama kawanannya. Saat menelusuri jejak darah si rusa, tiba-tiba dia menemukan seekor anjing hitam yang terluka dan berjalan pincang. Jejak darah anjing itu menghantarnya pada kaldera sunyi dengan truk-truk yang lengang, tubuh-tubuh bersimbah darah yang tergeletak di tanah, anjing mati, satu bak muatan penuh heroin, dan seorang Meksiko sekarat dengan luka tembak parah di perutnya yang meminta air. Agua, cuate. Agua, por dios.

Moss kemudian menyisir daerah sekitar dan menemukan seorang pelarian lain dari peristiwa berdarah itu tergeletak di bawah sebatang pohon rindang. Laki-laki itu mati pula karena kehabisan darah akibat luka tembak di lambungnya. Tapi laki-laki malang itu mati tak sia-sia dengan meninggalkan tas kopor berisi uang dua juta dolar terdiri dari pecahan 100 dolar yang kemudian dibawa pergi oleh Moss.

Dari sini, cerita kemudian berkembang menjadi teror yang bergerak sangat cepat ketika si pemilik uang darah tersebut menyuruh seorang pembunuh bayaran bernama Carson Wells (Woody Harrelson) untuk menemukan orang yang membawa kabur uang itu. Namun sayangnya, dia tak memperhitungkan resiko karena telah terlanjur melepaskan seekor anjing ganas tak bertuan, Anton Chigurh (Javier Bardem), ke jalanan.

Anda perlu waspada, Chigurh bukan pembunuh yang nature kesadisannya dibuat-buat. Saya memuji karakter ini sebagai “individualitas total tanpa setitik nila sensibilitas”. Tanpa kompromi, dia akan melenyapkan siapa saja yang berdiri di jalan yang dilaluinya, mereka yang pernah melihat wajahnya dan bahkan yang sekedar pernah mendengar namanya. Dalam novel, dia disebut sebagai “nabi perusak” bersenjatakan senapan shotgun berdimensi dua belas dengan peredam sebesar kaleng bir yang mampu membuat lubang sedalam tiga inci di dinding. Bayangkan jika muntahan peluru senjata itu menembus tengkorak kepala manusia atau tepat mengenai dada anda.

Sebagai penjahat sosiopatik yang senang bermain-main dengan pikiran korbannya, kadang-kadang dia memberikan pilihan pada mereka untuk dapat tetap mempertahankan nyawa dengan satu lemparan koin. Bagi kita, mungkin hal itu gila dan sangat tidak masuk akal untuk mempertaruhkan nyawa dalam lemparan koin. Tapi bagi Chigurh, hidup anda adalah keberuntungan. Anda tidak pernah memilih untuk dilahirkan di dunia. Anda juga tidak memilih jenis kelamin yang anda miliki. Jadi, jika anda bisa hidup lebih lama lagi, itu sebuah keberuntungan bukan? Namun jika untuk mati sekarang atau nanti, apa itu sebuah pilihan?

Scene favorit saya adalah ketika Carla Jean Moss (Kelly MacDonald) memilih untuk menolak melakukan negosiasi bodoh serupa yang Chigurh tawarkan pada orang-orang di luar sana – lemparan koin.

“Aku tahu kau itu gila begitu aku melihatmu duduk di situ. Aku tau pasti apa yang akan terjadi padaku. Aku tidak akan menebaknya. Koin itu tidak bisa apa-apa. Kau membuatnya seolah-olah koin itu yang menentukan. Padahal sebenarnya kau.”

Joel dan Ethan Coen loyal dengan tema-tema yang mengeksploitasi keserakahan, nafsu, kesadisan, ironi, dan kefanaan hidup manusia. No Country for Old Men segera mengingatkan kita pada karya-karya mengagumkan mereka sebelumnya, Blood Simple (1984) dan Fargo (1995). Coen Bersaudara tidak menampilkan efek dan teknik penyutradaraan yang baru. Tidak ada pernak-pernik atau polesan atau gincu atau pemerah pipi dalam film garapan mereka tapi hasil yang mengejutkan dan menghentak emosi anda adalah tujuan final mereka.

Secara pribadi, saya memilih No Country for Old Men sebagai film terbaik dekade lalu karena film ini mempertanyakan moralitas manusia pada titik nadir terendah. Tanpa bumbu konspirasi yang muluk-muluk, inilah sketsa kasar tentang ambisi-ambisi kosong manusia dan akhir yang berupa ketiadaan harapan. Moss hanyalah sekedar kepingan contoh wajah orang yang tidak beruntung. Barangkali keinginan Moss seperti lazimnya orang-orang kebanyakan: kemewahan. Seumur hidup tak pernah menyentuh uang sebanyak itu dan pastinya tidak ada seorangpun yang bersedia memberikannya dengan cuma-cuma – dengan dua juta dolar di tangan – mimpi Moss cuma ingin memperbaiki hidup bersama istrinya, Carla Jean. Sementara itu, hasrat Ed Tom Bell hanya ingin menolong Moss, si bocah malang veteran perang Vietnam yang miskin, keluar dari kesulitan akibat uang panas itu. Namun, Moss menolak dan Ed Tom Bell gagal melindunginya. Terlebih istri Moss yang tak bersalah, tak lama kemudian ikut menyusul menjadi korban serentetan pembunuhan berdarah itu. Sang sheriff tua kemudian bangun dan tersadar. Lalu duduk dan mulai meratap. Betapa sebuah kenaifan yang harus dibayar mahal.

No Country for Old Men menjadi cermin refleksi bagi kita semua bahwa tidak pernah ada jalan keluar yang manis dari akumulasi ketamakan yang senantiasa dipupuk dan dipelihara oleh anak-anak manusia.


-          F. Fajaryanto Suhardi

(20 Februari 2011)

Faut Bien Jouer avec Quelque Chose = What’s Life without Risk?

Movie Review

La Vie en Rose (La Môme) (2007)

"Sang Diva: Panggung Kehidupan dan Eksistensi Seorang Feminis Sejati"




P
erempuan bagai sebutir apel. Merah. Ranum. Manis nan menggoda dengan lekuk sempurna. Ya. Wanita piawai menampilkan sisi sensualitasnya yang menggiurkan hingga mampu membuat mata siapa saja terpana. Sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh musisi pria manapun.

“Panggung musik kini dijajah perempuan.”

Barangkali ucapan Bryan Adams 15 tahun silam itu ada benarnya. Musik kini bukan hanya hegemoni kaum laki-laki saja. Setelah era Elvis Prestley, Stevie Wonder, Sting, Elton John, dan Michael Jackson, lihatlah siapa solois yang mampu bertahan menjual album paling banyak di tengah gempuran pembajakan oleh internet dan teknologi abad ini yang semakin canggih. Kecuali Eminem, hampir tak ada satupun nama laki-laki di sana. Mereka yang terus menggenjot popularitasnya dan mampu mencatatkan angka penjualan album fantastis puluhan bahkan hingga ratusan juta keping di antaranya setelah Madonna, Barbra Streisand, Mariah Carey, Celine Dion, Janet Jackson, Whitney Houston, kita akan mendengar nama-nama generasi baru yang telah mendunia digawangi pop princesses Britney Spears dan Lady Gaga juga barisan biduanita R&B kontemporer sebutlah Beyoncé dan Rihanna. Di negeri sendiri, kita sering mendengar nama-nama seperti Krisdayanti, Ruth Sahanaya, Titi DJ, Mulan Jameela, atau Agnes Monica dielu-elukan sebagai “DIVA”. Namun apakah dengan Britney Spears sukses menjual lebih dari 100 juta keping album di seluruh dunia hanya dalam tempo satu dekade, atau Mariah Carey yang bervokal akrobatik itu berhasil mencetak hits no.1 di tangga lagu Billboard lebih banyak dari penyanyi solo manapun, atau Beyoncé dielu-elukan sebagai ratu musik sejagat saat ini, atau si penyanyi-sirkus Lady Gaga berhasil memecahkan rekor dengan menghimpun penggemar hingga lebih dari 40 juta akun hanya di jejaring sosial Facebook saja – lantas membuat mereka layak menyandang gelar “DIVA”? Apakah dia (she: singular person, female) yang begitu populer, molek, seksi, stylish, dan telah sukses menjual album hingga berjuta-juta keping akan serta-merta dilabeli sebagai “DIVA”? Lalu apa definisi “DIVA” menurut anda?

Bagi kita – lazimnya penikmat awam – musik menjadi senandung irama pengusir penat. Tapi bagi seorang manusia yang mengabdikan hidupnya total sebagai pelakon seni (baca: artis bukan selebriti) seperti Édith Piaf, musik adalah nafas hidupnya. Berani bertaruh – di atas konteks sebagai sesama orang Indonesia yang terlalu sering mendengar musik pop mainstream – sebagian besar dari anda tentu asing mendengar nama itu sama halnya saya sebelum menonton film ini – padahal setengah abad jauh sebelum tren biduanita pop kulit putih ber-timbre kuat seperti Celine Dion muncul, Édith Piaf telah lebih dulu menjadi pionir. Isenglah bertanya pada orang Perancis, mereka tak akan segan mengakui Édith Piaf sebagai penyanyi kebanggaan negara mereka. Tak percaya? Coba ketik dan klik nama tersebut pada search engine semisal Google, anda akan menemukan banyak sumber referensi yang menyebutkan Édith Piaf sebagai salah seorang artis Perancis terbesar sepanjang masa (Wikipedia: regarded as France’s greatest popular singer; a cultural symbol.).
Diambil dari judul salah satu simfoni chanson klasik Madame Piaf yang paling mashyur, La Vie en Rose (di negara asalnya dirilis dengan judul La Môme) merupakan film berbahasa Perancis berdurasi 140 menit arahan sutradara Olivier Dahan yang menuturkan perjalanan hidup sang biduanita berdasarkan biografinya. Piaf yang terlahir dengan nama Édith Giovanna Gassion menjalani masa kecil sangat sulit dimana kedua orangtuanya yang miskin berpisah. Édith kecil nyaris mati kelaparan ketika diurus sang ibu yang seorang penyanyi jalanan. Kala berusia lima tahun, kemudian oleh sang ayah, Louis Gassion, dia dititipkan pada ibunya yang menjalankan bisnis rumah bordil. Selama dalam pengasuhan neneknya, dia disayangi dan dirawat oleh para pelacur yang bekerja di situ – terutama oleh Titine (diperani Emanuelle Seigner – istri sutradara Roman Polansky). Tak berapa lama kemudian, dia ditarik lagi oleh ayahnya lalu menjalani hidup berpindah-pindah mengikuti pekerjaan sang ayah yang seorang pemain sirkus. Kehidupan jalanan sesungguhnya yang luar biasa kejam dan keras mulai dia rasakan begitu menginjak usia 10 tahun ketika ayahnya memutuskan meninggalkan sirkus dan mulai bekerja sendiri. Bersama sahabatnya Momone (Sylvie Testud), setiap hari sebelum bisa makan semangkuk sup dan sepotong roti, dia harus mencari uang dulu dengan mengamen di pinggir jalan.

Pada usia 20 tahun, nasibnya mulai berubah ketika bertemu dengan Louis Leplée (dengan santai dilakonkan oleh aktor veteran Perancis berhidung belah, Gerard Depardieu) seorang manajer kafe bernama Gerny’s yang amat terkesan pada suara indahnya. Dia kemudian diorbitkan menjadi bintang pertunjukan namun sayang, Leplée tewas dalam sebuah insiden keributan yang melibatkan orang-orang dari jaringan kriminal prostitusi bawah tanah yang selama ini mencengkeram Édith. Hidup dan karir Édith sempat terpuruk sesaat namun berkat uluran tangan dan gemblengan komposer Raymond Asso dan pianis Marguerite Monnot, karirnya kembali bersinar bahkan semakin cemerlang hingga namanya dikenal di seluruh penjuru Perancis. Berangkat dari penyanyi kabaret di klub kecil kemudian beralih menjadi biduanita di arena teater megah nan mewah, Édith semakin melebarkan sayap dan tetap bernyanyi di tengah kecamuk Perang Dunia II – bahkan sampai ke Negeri Paman Sam. Menurut catatan sejarah, meskipun selama pendudukan Jerman di Perancis karirnya tidak dicekal, Piaf dikenal sebagai artis yang tetap loyal mendukung perjuangan rakyat di negaranya melawan agresi Nazi. Salah satu tembang terkemukanya, “L’Accordeoniste” merupakan gubahan seorang kopral kompatriot bernama Michel Emer.
Ketenaran dan kekayaan mulai menghampiri. Namun, jangan bersukacita dulu karena dalam film ini, kisah hidup Édith Piaf senantiasa haru-biru adanya. Sepanjang hayatnya, ratu balada yang berperangai kasar dan gusar tersebut bergulat dengan kebangkrutan finansial, fisik, mental, dan emosional: luka dan trauma kehilangan buah hati juga kekasih tercinta, narkotika, alkohol, cacat seumur hidup setelah tulang rusuknya patah akibat kecelakaan fatal yang hampir merenggut nyawanya sampai kanker hati.

Selain film-film yang diangkat dari novel  berbobot, sudah jadi rahasia umum kalau Academy Awards menggandrungi genre biopik, salah satunya La Vie en Rose dari sekian banyak yang sukses mencuri perhatian; yang belakangan muncul antara lain Ray! (2004) (biopik penyanyi-pianis soul legendaris Ray Charles), Capote (2005) (biopik penulis buku dan naskah film sensasional Truman Capote), lalu Milk (2008) (biopik Harvey Milk, politikus Amerika pertama yang secara terbuka mengakui dirinya homoseks). Berbicara tentang La Vie en Rose, sebetulnya tidak ada yang terlalu istimewa dari plot ceritanya – secara tipikal menampilkan fase kesedihan-kegembiraan dan jatuh-bangun, kisah yang dibangun cenderung hiper-melankolis sehingga cerita model begini amatlah lumrah dijumpai, walhasil rentan berakhir menjadi sebuah drama banalitas – untungnya, tertolong oleh penerapan alur maju-mundur yang apik dan atmosfer psikologis yang kontras antar sekuens yang berlompatan – kedua elemen tersebut menjadi nilai plus utama film ini. Inilah kelemahan utama film biopik. Karena dibangun dengan berkiblat pada sebuah tuturan biografi, amatlah sulit bagi si sutradara untuk mengkreasi adegan-adegan ‘menantang’ dan kalaupun ada sedikit perubahan demi kepentingan dramatisasi, ‘manuver’ yang muncul harus tetap berpatokan pada pakem-pakem yang ‘sah’ alias tekstual. Hal ini disebabkan karena adanya konteks perbedaan yang jelas antara fakta dan fiksi yang saya sebut sebagai “beban fakta”. Fiksi boleh saja masuk akal tapi itu tidak terjadi, tapi fakta bisa saja aneh bahkan irasional tapi itulah yang terjadi. Dalam novel yang notabene fiksi, si pengarang boleh saja mereka-reka kisah senatural mungkin atau sebaliknya menambahkan adegan sensasional yang mungkin jarang dijumpai (walau bisa saja terjadi) dalam kehidupan nyata. Bagaimanapun sebuah biografi haruslah menyertakan data-data yang faktual dan bisa dibuktikan karena adegan yang dikisahkan di dalamnya riil alias benar-benar terjadi – tidak peduli apakah itu masuk akal atau tidak. Tapi masalahnya jika di dalam sebuah biografi dituliskan seorang manusia setiap pagi bangun lalu mandi lalu sarapan lalu pergi bekerja lalu pulang lalu makan lalu malamnya kembali tidur dan siklus itu terus berulang setiap hari sampai dia mati – dengan kata lain – tidak terdapat sesuatu yang ‘lebih’, lantas bagaimana bisa kita membuat cerita seperti itu menarik? Namun biografi yang bagaikan sup dengan bumbu dramatisasi terselip satu paket di dalamnya lalu dipermanis lagi dengan efek-efek “penyedap tambahan” sebagai penguat citra ketika divisualisasikan ke dalam layar perak, lalu, tidakkah fakta kemudian berubah jadi abu-abu? Menjadi fakta semi fiksi atau fakta fiksional? Hati-hati. Kesan fakta bercampur fiksi yang terliat begitu nyata inilah yang kerap menjebak orang-orang untuk cenderung mempercayainya sebagai fakta sebagaimana adanya.

Sekalipun melibatkan massa serta detil properti dan seting sehingga menimbulkan efek magnitude yang cukup wah, ibarat sebuah bahtera besar yang dibangun dari kayu kategori rapuh, film ini relatif goyah, dengan semata-mata mengandalkan adegan-adegan dramatis yang kental nuansa emosional secara intens. Namun demikian, film ini kemudian sepenuhnya terangkat naik berkat kepiawaian menakjubkan sang nahkoda – yaitu pelakon utama. One (wo)man show. Saya adalah orang awam yang secara sederhana menikmati film sebagai tontonan, kalau boleh memuji, penampilan Marion Cotillard dalam La Vie en Rose merupakan salah satu akting oleh pemeran utama wanita paling berkesan yang pernah saya lihat dalam satu dasawarsa terakhir. Analogi saya: Marion Cotillard adalah Édith Piaf dan Édith Piaf adalah Marion Cotillard. Anda pasti tau apa yang saya maksudkan: penjiwaan dengan tingkat kesulitan tinggi. Tak ada kata lain yang bisa mewakili reaksi terperangah saya menyaksikan totalitas performanya kecuali: LUAR  BIASA. Cotillard secara tak biasa melebur dalam sosok Édith Piaf tak hanya secara psikologis namun juga fisik, mimik, dan vokal dengan sangat sempurna. Sebagai Édith dua puluh tahunan, dia begitu canggung, penuh semangat dan emosional; Édith tiga puluh tahunan, Cotillard tumbuh menjadi wanita anggun yang dilanda cinta; Édith empat puluh tahunan, tubuhnya yang cacat, bungkuk, dan menyusut berjalan tertatih-tatih dan kepayahan. Terlepas dari efek make-up, anda pasti pangling menyaksikan penampilannya di sini bila membandingkannya dengan Mal yang repulsif dan sensual dalam Inception (2010) bersama Leonardo di Caprio atau sebagai Luisa Contini yang jelita mempesona dalam drama musikal Nine (2009) bersama serombongan aktor dan aktris kelas Oscar seperti Daniel Day-Lewis, Nicole Kidman, Penelope Cruz, Judi Dench, dan Sophia Loren. Anda akan terkejut melihat Cotillard dapat berubah bak bunglon – dari titisan dewi Venus yang aduhai kemudian menjelma menjadi seorang penyanyi perempuan paling tidak menarik secara seksual yang pernah anda lihat. Melalui film ini, anda akan segera lupa bahwa seorang diva sejati adalah secantik dan seseksi Britney Spears atau Beyoncé yang glamor atau bergaya funky dan cool seperti Katy Perry atau yang mengutamakan penampilan fisik ketimbang kualitas hingga rela berkali-kali naik ke meja operasi demi secercah kecantikan hasil rombakan bedah plastik perihalnya Krisdayanti. Cotillard membawa anda memasuki dunia Édith Piaf dan memahami bahwa ternyata eksistensi abadi seorang penyanyi besar yang dihormati tidak berkorelasi linier dengan kemolekan tubuh atau tingkat kepopuleran atau seberapa trendi anda berpakaian atau kuantitas penjualan album gila-gilaan yang senantiasa diagung-agungkan oleh kapitalisme industri musik komersil yang rakus. Édith Piaf menjadi DIVA karena menyanyi adalah pilihan hidupnya.

Reporter              : Et si vous ne pouviez plus chanter? (If you were unable to sing anymore?)
Édith Piaf             : Je ne vivrais pas. (Then I could no longer live.)

Perempuan berjuluk “the little sparrow” yang namanya menjadi referensi tajuk lagu “Edith and the Kingpin” terakhir muncul di album pemenang Grammy milik pianis jazz veteran Herbie Hancock, River: The Joni Letters (2007) ini membangun hidup dan kepercayaan dirinya dari panggung ke panggung untuk sebuah manifestasi tujuan yang melebihi sekedar uang atau ketenaran. Sang diva memaknai hidupnya yang penuh kesengsaraan dengan tepat dan indah. Ibarat kapal yang karam tinggal menunggu waktu, Édith mengenang kembali seluruh hidupnya dalam segenggam kenangan masa lalu yang getir dan meremukkan batin. Dan apakah seorang Édith Piaf sebagai perempuan seutuhnya menyesali itu semua? Dengan lantang dia menjawab, “Non je ne regrette rien.” (No, I regret nothing at all.)


-          F. Fajaryanto Suhardi



Sebuah persembahan untuk Amy Winehouse (14 September 1983 – 23 Juli 2011)
“Votre voix est comme l’âme de mon cœur. Je t’aime, Amy.”

(2 September 2011)